Aku bisa melihat raut wajah ragu itu di Nadya. Kenapa ia mengatakannya padaku?
"Bisakah kamu membantuku?"
Tangan kanan Nadya menarik pelan ujung jaketku. Entah kenapa caranya meminta seperti itu terlihat imut buatku.
"Apa yang bisa ku lakukan?"
Nadya mengeluarkan ponsel dari sakunya, membuka galeri kemudian memperlihatkanku sebuah foto. Itu adalah foto keluarga, ada dia dan orang tuanya.
"Bisa kau ingat-ingat wajah mereka? Mereka adalah orang tuaku. Nanti, aku ingin kamu masuk ke kafe itu, pesanlah sesuatu. Lihatlah orang yang duduk di samping jendela itu, apakah mereka orang tuaku?"
Sepertinya dia memberiku misi yang besar. Aku direkrut dalam acara memata-matai kali ini.
"Baiklah. Masuklah dulu ke mini market dan belilah makan, sepertinya kamu belum makan", aku memberikannya selembar uang 50 ribuan tapi ia menolaknya.
"Aku bawa uang, jadi tidak usah. Terimakasih. Aku sudah bersyukur kamu mau membantuku"
"Oh iya, tadi kamu datang kesini untuk mampir ke minimarket, kan? Kamu mau beli apa? Kamu bisa titipin ke aku". Sebenarnya barang yang mau ku beli tidak banyak, kebanyakan hanya stok untuk jajanan di rumah saja.
Itupun karena Arsen yang sering main ke rumahnya, dan ia tak punya apapun untuk diberikan padanya selain cemilan. Meski terkadang Tony akan memasakkan makan malam, bukan yang ribet pastinya.
"Baiklah, aku akan berikan daftarnya. Tolong nanti dibelikan, ya", aku menyerahkan lembar kertas daftar belanja dan juga uangnya.
Aku selalu menulis daftar belanja jika memang ingin pergi, karena jika aku tidak menuliskannya uangku akan habis untuk berbelanja hal yang tidak perlu.
"Oke. Aku bakal pergi ke kafe sekarang"
***
Sama seperti yang tadi Nadya tunjukkan padaku, lelaki yang duduk di dekat jendela itu adalah ayahnya. Tapi aku sama sekali tak melihat ibunya disini, aku justru melihat seorang wanita yang tampak jauh lebih muda dari ayahnya.
Mungkinkah mereka rekan bisnis? Atau mungkin ayahnya sedang melakukan meeting dengan klien?
Aku masih mencoba berfikir positif tentang mereka, sampai aku melihat ayah Nadya mencium punggung tangan wanita di depannya itu.
Ini gila!!
Dengan masih berdiri di depan kasir aku berusaha melihat ke arah di seberang jendela, tepatnya ke arah minimarket tempat Nadya berada.
Syukurlah, Nadya tampaknya sedang menikmati makanan sambil duduk santai di minimarket itu.
"Ini Capuccino nya, kak". Suara seseorang di depanku membuatku kembali berkonsentrasi.
Setelah mengambil gelas plastik itu, aku langsung keluar dari kafe. Melihat tatapan mesra yang diberikan ayahnya pada gadis itu membuatku ragu untuk menceritakannya pada Nadya.
Nadya melihatku menyerberang dan ia melambaikan tangan, aku sempat bingung apakah harus membalas lambaiannya atau tidak. Karena aku membawa berita yang buruk, ini terasa sedikit canggung.
Begitu aku duduk di kursi yang ada di depannya, ia langsung menatapku dengan mata tajamnya yang tampak begitu yakin.
"Ayahku sedang bersama wanita lain, kan?"
"Ba-bagaimana…?". Aku bahkan masih mengatur nafasku, dan masih memikirkan cara untuk menyampaikan berita ini tanpa menyakitinya.
Meski bagaimanapun halusnya bahasa yang kugunakan, berita yang kusampaikan bukanlah berita baik, jadi takkan ada gunannya.
"Aku sudah beberapa kali tak sengaja melihat ayah bersama wanita itu. Kufikir, mungkin hanya teman kerja. Lalu aku mulai mengikuti mereka seperti penguntit. Aku tau aku salah, tapi aku tak bisa mempercayai apa yang aku lihat. Ayah adalah orang yang baik dan keluarga kami begitu harmonis. Tapi kenapa-"
Setetes air mata jatuh dari matanya. Nadya berekspresi datar, dan air mata itu juga membuatnya terkejut.
"Aku tidak berencana untuk menangis sekarang!", Nadya yang tampak kesal berusaha mengusap air mata dengan telapak tangannya. Aku menawarinya tisu, tapi dia menolaknya.
Pada akhirnya, kami hanya diam di tempat itu selama beberapa menit tanpa membahas hal itu lagi.
POV end
***
Hari ini sudah hari Senin lagi, rasanya kemarin seperti mimpi, entah kenapa berjalan begitu lambat.
Biasanya hari Minggu akan terasa cepat karena hanya ia gunakan untuk bersantai di rumah atau bermain dengan Arsen. Tapi hari Minggu kemarin membuat Tony bahkan masih memikirkannya sampai malam.
Arsen yang biasanya berisik kini hanya makan dalam diam di depan Tony. Pasalnya, Tony berulang kali melirik ke tempat Nadya biasa duduk, tapi hari ini dia tidak ada disana.
"Kamu nggak nanya?"
"Hm?!"
"Kamu nggak nanya kenapa Nadya nggak ada?"
"Kenapa aku harus nanya gitu? Yang mau aku tanyain itu justru kenapa kamu dari tadi ngelihat ke arah itu terus, padahal kamu tau dia nggak ada disana?"
Dan karena ucapanku, seperti diperintah Tony melihat lagi ke meja itu. Entah kenapa pandangannya lebih lesu dari biasanya. Sepertinya memang ada sesuatu antara mereka, tapi dia tak ingin membaginya denganku.
"Kamu… benar-benar tak ingin membaginya denganku?", Arsen memperlihatkan dengan jelas jika dia cemburu. Karena baru kali ini, Tony menutupi sesuatu darinya. Ia merasa seperti dikhianati.
"Maaf, Arsen. Tapi aku tidak bisa memberitahunya tanpa sepengetahuannya". Mendengar jawaban Tony membuat Arsen curiga jika sahabatnya itu sudah berhubungan lebih jauh daripada teman.
"Apa kamu berpacaran dengannya?"
Kesal dengan sikap Arsen yang menyudutkannya, ia pun memukul Arsen dengan sendok di tangannya.
"Aargh! Nasinya!!!"
"Itu akibatnya kalau kamu ngomong sembarangan. Nggak usah mulai gosip! Aku dan Nadya, kami nggak ada hubungan romantis seperti itu. Kami hanya…..teman"
"Ya, itupun jika dia menganggapku teman"
Mendengar kata pesimis itu dari sahabatnya, membuat Arsen sadar bahwa rasa cemburu yang ia khawatirkan tadi tidak beralasan.
***
Arsen berjalan di samping Tony yang masih terlihat seperti memikirkan sesuatu. Entah kenapa kini Tony berjalan ke taman dekat ruang guru.
Tanpa mengatakan apapun Tony berjalan lurus ke taman itu. Berusaha untuk mempercayai kata hatinya.
"Hei, Tony. Kenapa kesini, sih? Jarang banget lho kita kesini"
Taman yang mereka tuju bentuknya sederhana. Hanya ada dua pohon besar, beberapa kursi yang ditata apik di sekitar pohon.dan beberapa bunga yang dibuat seperti pagar.
Beberapa murid senang menghabiskan waktu di taman ini ketika istirahat, entah untuk sekedar mengobrol dengan teman atau belajar.
Karena pohon rindangnya membuat siapapun merasa nyaman.
"Berhenti dulu!". Arsen menarik lengan Tony, mencoba menghentikan langkah kakinya yang semakin lama semakin cepat. Ia bahkan bisa melihat jika Tony terengah-engah.
"Tarik nafas… buang… tarik nafas lagi.. buang. Sudah. Sekarang jelasin kenapa kamu jalan buru-buru tanpa kasih alasan apa tujuan kamu datang kesini".
"Waktu dia mau balikin kunci motorku, dia nunggu aku disini. Jadi kufikir mungkin dia bakal ada disini juga"
Tepat setelah ia menyelesaikan ucapannya, ia kembali berjalan. Dan Arsen mau tak mau mengikuti Tony ke tempat tujuannya itu setelah mendengarkan alasannya.
Langkah Tony tiba-tiba berhenti begitu ia melihat orang yang dicarinya benar-benar ada di taman itu.
"Nadya!"
*******
tbc