"Nadya!"
Suara lantang itu terdengar begitu dekat. Semua orang yang sedang berada di taman itu menoleh pada Tony yang kini sedang berlari mendekat.
Beberapa ada yang merasa risih tapi lebih banyak lagi yang akhirnya mengabaikan. Lelaki culun seperti Tony tentu saja tidak begitu banyak yang mengenal.
Meskipun ada beberapa yang ingin mendekati Arsen, mereka menahan diri. Melihat dari ekspresi Arsen yang tampak sedikit kesal, membuat mereka mengurungkan niatnya.
Mereka faham jika Arsen memang tak bisa jauh dari Tony apapun keadaannya. Arsen lah orang yang akan maju jika ada orang yang mencoba untuk merendahkan Tony.
Nadia yang juga mendengar teriakan Tony ikut menoleh. Ia yang justru memilih untuk duduk di bawah pohon mencoba untuk menandai buku yang tadi sedang ia baca sebelum meletakkan di sampingnya.
Selagi berlari Tony melihat Nadya melambaikan tangan menyambutnya. Sedang Arsen yang melihat itu akhirnya menghentikan larinya dan lebih memilih berjalan saja. Karena ia sudah tau tujuan Tony sekarang, ia akan menghemat tenaga.
"Hei! Kena-pa tadi kam-u nggak ke kan-tin? Aku fikir kamu nggak ke se-kolah?!".
Arsen menghela nafas panjang melihat Tony langsung berbicara setelah berlari. Dengan sopan Arsen meminta air minum yang dibawa Nadya. Dan Nadya yang faham pun memberikannya pada Arsen.
"Hh..Kena-pa…minta air mi-num?"
Arsen menyodorkan air minum itu pada Tony yang masih terengah-engah. Itulah akibatnya jika Tony selalu menolak ajakannya untuk berolahraga.
"Kamu harus tenang dulu, duduk, habis itu minum. Nggak kasihan apa, Nadya yang ngelihatin kamu jadi bingung gini?"
Sadar dengan tingkahnya yang terburu-buru Tony mengikuti ucapan Arsen untuk tenang.
"Mau makan juga?", tawar Nadya yang tiba-tiba menawarkan roti yang tadi ada di sampingnya.
Dengan tegas Tony menolak, ia yakin itu adalah makan siang Nadya karena tadi ia tidak ke kantin sama sekali.
"Kenapa kamu hari ini nggak ke kantin?", tanya Tony setelah akhirnya bisa tenang.
"Nggak apa apa, aku cuma lagi mau makan disini aja, sejuk. Aku juga bisa nyaman sambil baca buku. Nggak ada alasan lain"
Namun jawaban Nadya tidak membuat Tony puas, ia masih mencurigai tingkah laku Nadya. Dengan teliti, ia mencoba untuk membaca raut wajah Nadya.
"Kamu bohong. Apakah karena hal kemarin?"
Nadya sedikit terkejut hingga ia memalingkan matanya dari tatapan Tony. Tony juga tidak salah, hal kemarin cukup membuatnya terguncang.
"Ehm… kurang…lebih.."
"Ekhem!! Sebelumnya aku mau tanya, apakah aku diperbolehkan berada disini?", Arsen sedikit merasa canggung di antara keduanya. Ia merasa sesuatu benar-benar sudah terjadi.
Dengan wajah bingung Tony menatap Arsen, "Kenapa nggak boleh?"
"Ya…kan, kalian sedang membicarakan sesuatu. Dan jika aku ada disini, bolehkan aku mendengar juga apa yang kalian bicarakan?", tanya Arsen ragu.
Tiba-tiba Tony tersadar, Arsen tidak tau apapun masalah Nadya dan ia membawa Arsen saat bertemu Nadya. Dan ia juga bahkan menanyakan tentang hal kemarin?
Meski Tony tak menyebutkan secara jelas apa yang ia maksudkan, bukankah itu akan tetap membuat Arsen penasaran?
Dengan rasa bersalah ia menatap ke arah Nadya yang kini justru tersenyum.
"Nggak masalah, kok. Kamu sahabatnya Tony, kan?"
Pertanyaan Nadya membuat Arsen otomatis mengangguk dan itu membuat Nadya tertawa.
"Kenapa kamu canggung sekali? Kita kan teman"
Teman?
Mendengar ucapan Nadya mau tak mau membuat Tony ikut tersenyum, ternyata Nadya juga menganggapnya teman.
"Syukurlah! Kamu tau, Tony takut kalau kamu ternyata tidak menganggapnya teman". Ucapan Arsen itu tentu saja berbuah cubitan di pahanya. Tony mencubit paha berotot Arsen sambil melotot padanya.
Nadya melihat tindakan Tony dan ekspresi Arsen yang berusaha untuk tidak teriak. Dan Nadya tertawa melihat dua orang di depannya masih beradu satu sama lain.
"Hahahaha!! Tak bisakah kalian berhenti? Aku sampai sakit perut ini!", Tony dan Arsen akhirnya mengakhiri tingkah konyol mereka dan melihat Nadya yang melihat Nadya yang masih tertawa sambil memegang perutnya.
"Rasanya menyenangkan memiliki teman seperti kalian"
Nadya tersenyum tulus melihat keduanya. Sedangkan Arsen yang kini juga di anggap sebagai teman oleh Nadya tampak tertegun, ia merasa bersalah karena sempat kesal padanya sebelumnya.
"Apa kalian tadi belum makan?"
"Kami sudah makan, itu sebabnya aku tidak melihatmu saat di kantin tadi", jelas Tony.
"Ehm, maaf sebelumnya. Bolehkah aku tau, apa yang tadi sedang kalian bicarakan? Sebenarnya apa yang terjadi kemarin?"
Arsen menanyakan pertanyaan itu dengan hati-hati, khawatir jika hal itu akan menyakiti perasaan Nadya. Tony sendiri menutup mulutnya rapat-rapat, ia merasa jika hal ini sama sekali bukanlah haknya untuk menjawab itu.
"Tony membantuku memata-matai ayahku"
Arsen tak bisa menyembunyikan kerutan di dahinya, jelas terlihat jika ia sedang kebingungan sekarang.
"Sebenarnya, aku tidak banyak membantu. Aku hanya masuk ke sebuah kafe untuk memastikan apakah ayahnya ada di kafe itu dengan wanita lain atau tidak", Tony memberi sedikit penjelasan agar Arsen tidak berfikir berlebihan.
"Tapi kemarin malam… aku mengatakannya pada ibuku"
"APAAA?! Kenapa?". Suara mereka terdengar makin lirih, ada rasa takut untuk mendengar kelanjutan ceritanya.
"Aku mengatakannya setelah kami selesai makan. Ibuku tampak terkejut, tapi dia hanya diam menatapku. Kemudian dia hanya menyuruhku untuk masuk ke kamar tanpa mengucapkan kata apapun"
"Paginya, aku tidak melihat siapapun di rumah. Keadaan begitu sepi, dan hanya ada beberapa nota yang di tinggalkan ibuku di pintu kulkas. Bahwa ibu sedang pergi ke pasar, tapi bahkan sampai aku berangkat sekolah… ibu belum pulang"
"Aku juga tidak melihat ayah di rumah"
Terjadi keheningan selama beberapa saat setelah Nadya menjelaskan semuanya. Suasana terasa begitu canggung karena Tony dan Arsen sendiri tidak tau bagaimana harus bereaksi atau bersikap setelah mendengar hal itu.
"Kalian tak perlu merasa canggung, aku baik-baik saja. Dengan adanya kalian disini dan berkumpul denganku saja, aku sudah merasa sangat bahagia. Terimakasih"
Nadya berusaha untuk tidak membuat suasana menjadi canggung. Ia juga tak ingin mengingat-ingat hal apapun itu yang terjadi kemarin.
"Kamu tak perlu berterimakasih, jangan jadikan pertemanan ini seakan beban, oke. Entah kenapa rasanya berat sekali menerima ucapan terimakasihmu, padahal kami tidak melakukan apa-apa"
Arsen mencoba memberi pengertian pada Nadya bahwa mereka tulus untuk berteman dengannya.
"Ah! Bagaimana jika kita menjadi teman belajar juga? Berhubung sebulan lagi sudah ujian"
Seseorang tampak menyukai usul Tony, sedangkan yang satunya tampak begitu menentang usul itu, siapa lagi jika bukan Arsen.
Tapi meskipun membenci usul itu, Arsen tak bisa pergi. Bukan karena ia tak rela jika Tony akan berduaan dengan Nadya, ia bahkan sudah melupakan hal itu.
Tapi karena ia sendiri sadar, berapa nilai yang akan ia peroleh di ujian kali ini jika ia memaksa ingin belajar sendiri. Itupun jika ia belajar.
***
Ujian sudah selesai dilaksanakan. Waktu tiga bulan sama sekali tak terasa karena para siswa sibuk belajar untuk ujian akhir mereka.
Bisa dibilang saat ini adalah masa santainya mereka setelah berjuang berkutat dengan soal-soal selama beberapa bulan.
Dan sejak saat terakhir itu, Nadya tidak pernah sekalipun menceritakan lagi tentang kisahnya. Tampak seperti ingin mengubur sendiri semua.
"Aku pulang duluan ya, bis nya sudah datang". Nadya melambaikan tangannya pada Tony dan Arsen yang menemani Nadya menunggu bis pulangnya.
Nadya menatap Tony dan Arsen cukup lama, seakan esok ia tak akan bertemu dengan mereka lagi. Hatinya terasa berat, mungkin karena ia memikirkan perpisahan sekolah yang sebentar lagi terjadi.
Berteman dengan mereka berdua adalah sebuah anugerah untuk Nadya. Ia tak akan pernah bisa melupakan semua kebaikan mereka, meski pertemanan mereka hanya seumur jagung.
Pintu rumah terbuka dan beberapa koper sudah berada di depan pintu. Panik, Nadya berlari masuk ker rumah, khawatir jika sesuatu terjadi pada ibunya.
Bukan hanya ada ibunya, ayahnya pun ada disana. Mereka semua tampak tergesa-gesa.
Begitu melihat Nadya sudah berdiri di dekatnya, sang ayah langsung meminta Nadya untuk berganti pakaian dan bersiap untuk pergi.
Menuruti apa yang dikatakan ayahnya, ia segera berganti pakaian. Begitu ia selesai, ibu sudah menunggunya di depan pintu.
Menggenggam tangan mungil Nadya yang sedang kebingungan, ibu menatap dalam mata Nadya.
"Nadya, nenek sedang sakit. Kita harus pergi sekarang, nenek membutuhkan kita"
***