TONY POV
Aku bisa merasakan bahagia ayah saat membawaku ke kamar, tangannya yang ada di pundakku berulang kali sedikit menekannya kemudian menepuknya. Setiap kali aku menengok untuk melihat reaksi ayah, ia selalu tersenyum, senyum yang lebar sebenarnya.
Kami sudah sampai di lantai dua, terasa begitu luas. Berbeda dengan lantai satu, lantai dua tampak luas karena hanya berisi sebuah kursi baca, rak buku, meja dan sebuah pot bunga tepat di samping jendela. Jangan lupakan karpet lembut yang ada di depannya.
Aku yakin ini sudah mereka persiapkan dengan begitu matang, semua ini adalah hal yang aku suka. Aku tak bisa menghentikan senyumku melihat tempat baca itu, cahaya yang menyinari ruangan membuat tempat ini terasa hidup dan luas.
"Ayah lihat sepertinya kamu menyukai tempat baca ini. Syukurlah, ayah yang memikirkan tempat ini sebelumnya", ayah mengaku seperti itu tapi aku tau hal yang sebenarnya.
Mungkin karena melihat senyumku yang keluar begitu mendengar kalimat terakhir ayah terlihat sedikit kebingungan.
"Ke-kenapa kamu tersenyum seperti itu?"
"Karena aku begitu yakin, ini adalah ide ibu". Ayah menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya sambil tertawa kecil.
Sambil mengacak rambutku ayah kemudian tertawa begitu lepas melihat rambutku yang sudah kacau dibuatnya.
"Bagaimana kau bisa menebak begitu tepat? Apakah aku terlihat tidak begitu mempedulikanmu?"
Aku merasa sedikit geli saat ayah menggelitikiku, "Bukan begitu, itu karena ibu lebih sering merencanakan banyak hal dan ayah lah yang membantu ibu"
Lalu ayah menarikku dan membuatku duduk di sofa empuk itu, sedangkan ayah duduk di karpet sambil melihat ke arahku, kemudian berbaring disana. Entah kenapa, melihat ayah seperti itu rasanya pasti menyenangkan berbaring disana.
"Kau benar. Ibumu itu begitu antusias menunggu kedatanganmu, ia yang memilihkan kursi, meja, karpet, bunga, bahkan semua buku yang ada disini. Dan kau pasti tau, tugasku adalah membelikan semuanya dan mengangkatnya dan menatanya. Terimakasih lah pada ibumu"
Entah kenapa aku justru ingin tertawa. Nada ayah saat berbicara terdengar seperti seseorang yang merajuk, tapi tatapan dan senyuman di akhir kalimat itu terlihat begitu tulus dan rela.
Aku bisa bilang jika ayah bahkan sampai sekarang masih begitu mencintai ibu. Pernah sekali aku mendengar ayah mengatakan akan memberikan dan melakukan apapun yang ibu minta asal sesuai dengan kemampuan ayah, dan ibu benar melakukannya.
Ibu meminta ayah untuk membuatkannya kado untuk semua karyawannya, dan ayah benar-benar melakukannya. Ibu tau ia bisa meminta apapun, tapi ia tak pernah melebihi batas, bahkan terkadang ibu lebih memilih menggunakan uangnya sendiri dan melakukan banyak hal sendiri.
Dan mungkin karena hal tersebut lah yang mendasari ayah membuat permintaan seperti itu. Ayah ingin ibu bergantung padanya, dan tidak menjadi terlalu mandiri. Ayah ingin menjadi orang yang bisa diandalkan untuk ibu. Dan aku salut akan hal itu.
Ayah meregangkan tubuhnya sebentar, duduk kemudian menarik tanganku agar membantunya untuk berdiri. Jika seperti ini ayah jadi terlihat tua, entah kenapa mungkin karena punggungnya yang sakit atau karena berat yang menumpuk di perutnya.
"Baiklah. Ayo kita masuk ke kamarmu. Untuk hal yang satu itu, ayah pastikan ayahlah yang memikirkan dan mengaturnya. Itu karena ibumu yang sudah menyerahkan tugas itu khusus untuk ayah", ayah tertawa karena ucapannya sendiri dan aku ikut tertawa juga, tawa itu menular.
Begitu pintu terbuka aku bisa melihat kamar yang memiliki dominasi warna krem, persis seperti warna karpet dan kursi yang ada di depan kamar.
"Bagaimana? Apakah kau menyukainya?", ayah menunggu jawabanku dengan rasa penasaran yang tinggi, aku bisa melihat harapan di matanya.
"Ya"
Jawaban singkat dan aku juga mengangguk. Kenapa tidak? Ini kamar yang benar-benar cocok untukku, desain yang minimalis tapi tertata rapi. Cahaya yang masuk dari jendela juga menerangi seluruh ruangan, itu akan menghemat listrik tentunya.
Ayah tampak puas dengan jawabanku, tangannya menepuk pundakku sekali lalu mengacak rambutku lagi. Aku memeluk ayah dan mengucapkan terimakasih. Aku bisa merasakan ayah mengangguk sebelum melepaskanku.
"Nikmatilah waktu di kamarmu sebelum waktunya makan tiba. Ayah akan turun untuk membantu ibu memasak di dapur dulu".
Begitu ayah menghilang dari balik pintu entah kenapa aku justru merasa ayah akan mengganggu ibu dengan menjahilinya, yang artinya waktu memasak akan jadi sedikit lebih lama.
Ayah sudah membawa koperku ke sini tadi, tapi aku masih begitu lelah untuk membuka dan merapikan semuanya. Tanpa sadar aku berjalan mendekati jendela, mungkin saja karena aku penasaran dengan lingkungan di sekitar tempatku tinggal sekarang.
Dari balik jendela berukuran 1 x 1 m itu aku bisa melihat banyak hal diluar. Sebuah rumah yang tampak lebih besar dari rumah ayah ada tepat di seberang rumah. Dan sepertinya rumah itu memang ditempati oleh lebih dari 3 orang, mungkin orang tua dan dua anak laki-lakinya yang sedang bermain sepak bola di halaman rumah.
Ah, mungkin lebih tepatnya 5 orang. Dengan tambahan seorang lagi yang sedang menatapku dari jendela kamarnya di lantai 2.
Jujur saja aku cukup terkejut tadi, gadis itu hanya menyilangkan tangannya saat melihatku. Belum sempat aku menyapa, dia sudah menutup jendela dengan gorden itu. Mungkin ia merasa terganggu ataupun risih denganku.
Kufikir sebaiknya aku segera mandi untuk membersihkan diriku, meskipun agak cukup dingin setelah hujan kuharap aku bisa mandi dengan air hangat.
Tapi belum juga aku jauh berbalik, suara sesuatu yang menghantap jendela kamar membuatku terkejut. Dengan cepat aku membuka jendela, mencari tau apa yang terjadi. Dua anak laki-laki yang tadi ada di seberang jalan, yang tadi sedang bermain sepak bola itu kini ada di depan rumahku.
"Hey! Salam kenal! Kau baru datang hari ini, kan?", seorang dari mereka yang tampaknya lebih ceria langsung menyapaku begitu kepalaku muncul.
"Oh, hey! Salam kenal juga!"
Yang ceria itu lalu menarik tangan saudaranya yang tadi sedang mengambil bola. "Namaku Eric dan lelaki tampan di sebelahku ini adalah adikku yang tangguh, namanya Peter"
Anak yang tampak keren itu mengangkat tangannya dan berbicara dengan suara yang agak keras hingga aku bisa mendengarnya, "Peter"
"Namaku Tony"
"Mainlah ke rumah kami!! Bye!"
Mereka termasuk anak yang sangat terbuka dengan orang baru, aku cukup kaget degan keluwesan mereka. Kufikir mereka akan sangat cuek dan jahat padaku ternyata aku salah.
Begitu berpamitan denganku mereka langsung masuk ke rumah mereka, membuat bagian depan kini terasa sepi.
Kuharap hari-hariku disini akan menyenangkan.
****
tbc