Melihat ekspresi itu, Mirza pun mendengus. "Matiin lampu gedung Ibtida' sana!" serunya sembari berbalik. Dia kembali fokus ke donat-donat tadi.
"Eh? Gedung Ibtida'?" bingung Geni.
"He-em. Sebelah utaranya mading itu lho." Jelas Mirza.
"Oh..." desah Geni.
"Ini kan malam sewelas..." kata Mirza. "Jadi lampu disana harus mati lebih cepat. Kan Cuma ada kegiatan manaqib sebelum bebas."
"Oh..." desah Geni lagi.
"Oh-oh terus sebenarnya paham atau ndak kamu itu?!" seru Mirza jengkel.
Geni justru menjawab seadanya. "Paham kok."
Santai dan polos sekali.
"Oh, ya?" tanya Mirza. Dia mengacungkan spatula ke hidung Geni. "Memang apa perintahku?"
"Saya disuruh matiin lampu, kan?" tanya Geni.
"Bukan disuruh, tapi dihukum. Dasar kamu..." omel Mirza.
Geni justru tertawa. "Ahahaha... iya."
"Sudah sana. Jangan sampai keduluan bubar baru kamu datang," kata Mirza. "Bisa-bisa Bunyai dukan kalau aku ndak matiin lampu tepat waktu—"
DEG
Mirza diam.
Geni diam.
Krik-krik
Seolah ada efek jangkrik yang menghina Mirza saat itu juga.
"Eh? Kok jadi kang Mirza yang bertugas?" bingung Geni.
Mirza pun salah tingkah. "I-Iya lah..." katanya. Lalu buang muka. "Aku kan pengurus penerangan di gedung dua. Tapi biasanya kumatiin sendiri, kok... ini kebetulan saja aku kerepotan mengurus donatnya."
"Oh... saya kira memang tugas abdi kanti. Kok sampai disuruh menggantikan—"
"Cih... p-pokoknya begitu lah. Sudah sana!"
Dibentak dan dipunggungi.
Geni justru tertawa merasakan gestur malu tak tertahankan itu.
"Hahaha... siap," katanya jenaka. "Kalau begitu saya pergi dulu, Kang. Assalamualaikum!"
***
Tok-tok
Zaki mengangkat wajah dari layar komputer.
Tok-tok
Tapi, dia langsung tahu siapa yang datang setelahnya. Sebab ketukan itu tanpa salam. Apalagi sempat diulang.
"Masuk," perintahnya singkat.
CKLEK
"P-Permisi..." kata Hanin. Dia menilik ke dalam sejenak sebelum masuk. Matanya mengerjap karena takjub. Sebab ruangan itu sangatlah kacau.
Dimana-mana ada kertas. Mulai yang diremas dan berceceran... hingga yang berserakan di meja panjang.
Zaki tampak sibuk saat itu. Dia mondar-mandir seperti hantu. Kadang ke lemari file. Kadang kembali ke mejanya. Kadang juga ke loker kertas. Tapi kemudian duduk di sofa demi mengisi sebuah jurnal.
"Kau menggantikan tugas Khilmy lagi malam ini?" tanya Zaki. Dia melirik sekilas ke arah Hanin.
Hanin yang berdiri di depannya mengangguk pelan. "Mn."
"Sampai kapan nanti jagamu?"
"M-Mungkin..." gumam Hanin. Matanya jutru mengerjap ke sekitar. "Mungkin jam 11 nanti baru selesai, Kak..." katanya ragu.
"Ho..." kata Zaki. Lalu menutup pulpen hitamnya. "Kalau begitu duduk. Aku harus bicara denganmu sekarang."
"Mn."
Hanin pun duduk di sofa yang berlawanan dengan Zaki. Mereka terpisah meja, namun baru beberapa detik dia disana, Zaki sudah mendecih begitu keras.
"Cih... memangnya aku pernah bilang kau harus duduk disana?" tanya Zaki retoris.
"Eh?" bingung Hanin.
Zaki terlihat jengkel.
"Duduk di pangkuanku, Hanin. Apa kau dengar?"
DEG
"A-Apa?"
Zaki melepas peci ke arah meja. "Benarkah kau tidak paham ucapanku tadi?" tanyanya sembari memijit kening. "Padahal kupikir sudah sangat jelas sekali."
Bagi Hanin, udara dalam ruangan itu mulai terasa dingin perlahan-lahan.
"A-Anu..." gumam Hanin. Dia menoleh ke arah lain. Begitu saja. tanpa sadar. Mungkin karena tatapan itu terlalu tajam untuk dia atasi sendirian. "N-Nanti aku malah ngganggu Kak Zaki, kan?" kilahnya pelan.
"Hmph, memang itu urusanmu?" dengus Zaki.
"Ugh..." keluh Hanin. Sebab kemarahan Zaki adalah satu yang paling dia takuti selama ini.
Jadi kesanalah dia menuju. Menghampiri Zaki perlahan, meski ragu. Hingga tangan itu menariknya tanpa menahu.
BRUGH!
"Ugh..."
Hanin direngkuh dan langsung berpaling. Pecinya jatuh dan menggelinding. Pun dia terpejam gemetaran begitu merasakan kecupan gemas hadir di pipi.
"Kau sudah makan sebelum kesini?" tanya Zaki. Memaksanya terjebak diantara lengan-lengan kokoh itu.
"B-Belum, Kak..." gumam Hanin ketakutan. Dia pucat. Sangat pucat.
"Kenapa belum?" tanya Zaki sembari memandangi wajah cantik itu. Padahal Hanin sendiri terus bertahan mengatur napas. Dia terlihat gelisah dan sungguh-sungguh ingin pergi dari sana. Tapi jika Zaki tak peduli, memang semua itu berarti apa?