Siang itu.
Sebuah mobil hitam mewah, selalu mengkilat di setiap bagiannya berhenti di depan halaman perusahaan menyambut kedatangan seorang wanita yang saat ini tengah berlari dengan sepatu hak tinggi dan rambut yang tergelung rapi dari dalam perusahaan menuju ke arah mobil tersebut.
Saat langkah nya hampir sampai, ia melepas pengikat rambutnya dan membiarkan rambut lurus hitamnya tergerai mempesona.
Dia tersenyum ke arah pria yang ada di belakang kemudi yang sedang menatapnya intens.
"Bagaimana jika kekasihku ini terjatuh dengan sepatu yang menyiksa itu?"
"Maka CEO ku ini akan menangkapku dan tak membiarkan diriku terjatuh!"
Satpam yang mendengar ucapan karyawan bernama Emily Laurent itu sampai tidak bisa menutup mulutnya yang menganga.
Walau seantero perusahaan tahu jika Emily adalah kekasih CEO perusahaan tempat mereka bekerja, namun kelakuan manjanya masih belum bisa membuat karyawan lain percaya bahwa dia adalah kekasih CEO Abigail Andrew yang memiliki sikap dingin dan sulit didekati banyak wanita. Bahkan Hilda, wanita yang pernah menjadi model iklan di perusahaan Abigail pernah merasakan penolakan keras dari Abigail.
Mata satpam itu masih menatap gerak tubuh Emily yang menyelinap masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelah Abigail yang melemparkan senyum manis kepadanya.
Emily adalah gadis manis dengan kulitnya yang sawo matang. Dia masih berusia 25 tahun dan bekerja sebagai karyawan biasa yang tiba-tiba saja menjadi beruntung karena mendapatkan kasih sayang dari sang CEO tertinggi perusahaan.
Banyak karyawan lain yang iri kepadanya, apalagi para wanita yang bekerja dekat dengannya.
Mereka selalu cemberut saat melihat Abigail menggandeng tangan Emily dan mengajaknya keluar dari perusahaan hanya sekedar untuk makan siang.
Siapa yang bisa mendapatkan kesempatan memegang tangan Abigail selain hanya Emily yang bisa melakukannya.
"Dia berhasil menarik perhatian Abigail. Padahal dia hanyalah wanita pekerja biasa, kenapa bisa sangat beruntung begitu?"
"Iya, aku juga heran. Apa dia menggunakan ilmu pelet?"
"Bisa jadi. Memangnya apa yang menarik dari Emily sampai Abigail bisa menjadi kekasihnya?"
Beberapa wanita selalu mengatakan itu setiap kali melihat Abigail dan Emily bersama. Sayangnya Emily tidak peduli dengan ucapan mereka, toh dia memang beruntung bisa mendapatkan Abigail tanpa usaha yang sulit, Abigail sendiri yang mendekatinya sampai akhirnya dia jatuh cinta pada pria itu.
Mobil Abigail berhenti di sebuah restoran mewah dimana mereka sering datang ke tempat itu untuk makan siang, itupun jika Abigail ada waktu untuk makan bersama Emily. Jika tidak mungkin dia lebih memilih jasa antar makanan untuk dia makan siang di kantor.
"Kau mau makan apa?" tanya Abigail sambil membuka buku menu yang berada di atas meja.
"Aku lagi malas makan nasi, aku ingin salad buah saja, dan jus jeruk,"
"Semua buah? Bukannya kau punya penyakit mag?"
"Apa penyakit itu tidak memperbolehkan aku makan buah banyak?"
Abigail mengedikkan bahunya. Ia sendiri tidak tahu menahu masalah penyakit dan apa yang boleh dan tidak boleh untuk di makan. Kemudian ia memanggil pelayan dan memesankan Emily salad buah dan minuman milik Emily dia ganti dengan jus alpukat, yang memiliki tekstur kental dan tidak asam seperti jus jeruk. Dia sendiri memilih nasi sebagai menu makan siangnya dipadukan dengan rendang.
Ia sedang ingin memakan makanan yang memiliki rasa dan aroma rempah yang kuat.
"Aku senang kau meluangkan waktumu untukku. Sudah seminggu lebih aku tidak keluar bersama denganmu."
"Kau tahu kesibukanku dan kau juga membutuhkan istirahat setelah bekerja!" tangan Abigail membelai pipi Emily dan menyisipkan rambut lurus wanita itu ke belakang telinga."
"Selalu saja itu alasanmu!"
Abigail tersenyum." Mau bagaimana lagi, ini aku lakukan juga untuk kita kedepannya nanti!"
Emily tersipu mendengar ucapan Abigail. Ia berharap itu semuanya akan terjadi dan mereka bisa hidup bahagia hingga anak cucu mereka nanti.
**
Leon saat ini masih berada di Amerika. Pria berusia 25 tahun itu telah menyelesaikan sekolah memasaknya beberapa hari yang lalu dan kini ia sedang mempersiapkan kepulangannya ke Indonesia, saat-saat yang sangat dinantikan oleh Leon.
Tiga tahun di Amerika baginya sudah cukup membuatnya menahan rindu kampung halamannya dan apa yang ia pelajari selama tiga tahun ini ia harapkan nantinya bisa merubah kehidupannya menjadi lebih baik.
Tidak mengenal kedua orang tuanya saja sudah cukup menjadi beban hidupnya. Entah siapa orang tuanya dan kenapa mereka membawanya ke panti asuhan?
Itu semua sudah cukup menjadi pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah mendapatkan jawaban, selamanya.
Kembali ke rencana setelah Leon sampai di Indonesia.
Rencananya, pertama ia akan ke panti asuhan, tempat dimana ia dibesarkan. Kedua dia akan menemui Emily yang berada di rumah kontrakan. Dan ketiga ... Leon akan menyewa sebuah bangunan yang akan ia jadikan restoran sebagai ladang bisnisnya.
"Semoga semuanya lancar!" kata Leon pada dirinya sendiri.
Beberapa pakaian ia masukkan ke dalam koper dan sesekali ia mengecek tas kecilnya, memastikan jika sertifikat kelulusannya sudah ada di dalam tas tersebut. Jika sertifikat itu sampai kelupaan, maka semua impiannya akan sia-sia saja bagi seorang Leon.
Dia harus memberikan sertifikat itu sebagai tanda bukti bahwa dia sudah menyelesaikan sekolahnya pada panti asuhan yang telah membiayainya hingga ke jenjang sekolah yang baginya sangat tinggi ini.
Walaupun dia ke Amerika dengan bekal beasiswa dari kampusnya dulu, tapi untuk kesehariannya panti asuhan harus terus menanggung biaya hidupnya dan semua perjuangan panti untuk membesarkan namanya tidak akan pernah ia lupakan.
"Besok aku akan pulang, welcome Indonesia. Aku sangat merindukanmu terutama Emily. Dia pasti akan terkejut melihatku menemui dirinya tiba-tiba!"
Emily sahabatnya sejak masih kecil. Walaupun Emily diadopsi kedua orang tua angkatnya, tapi Emily sering sekali bermain di panti, jadi tidak menutup kemungkinan bagi Leon untuk terus bertemu Emily setiap hari hingga mereka sekolah SD, Menengah Pertama, Menengah ke Atas bersama-sama.
Terkadang kata sahabat baginya begitu menggelitik, karena dia tahu perasaannya pada Emily lebih dari sahabat dan dia sangat menyayangi gadis manis bermata biru itu.
"Hey, are you coming back tomorrow?"
Sapaan teman sekamarnya yang baru masuk telah membuat lamunan Leon tentang Emily buyar seketika. Dia menghentikan aktifitasnya kemudian memeluk sahabat karibnya di Amerika, Aslan.
"Yes, and I am delighted to work with you here, Aslan!" Leon melepas tubuh Aslan dari pelukannya.
"You're welcome, i will definitely miss you!"
"Me too!" Leon kembali meneruskan aktifitasnya sambil berbincang dengan Aslan yang baru saja mengambil air minum di dapur.
Aslan berkata bahwa besok dia akan mengantarnya ke Bandara dan berharap suatu saat mereka bisa bertemu dan bekerja sama kembali.