Livia yang baru saja masuk bersama dengan Aidan ke dalam rumah merasa heran dengan suara mobil yang baru saja tiba. Mereka berdua pun melihat dari balik jendela samping pintu masuk untuk melihat siapakah pemilik mobil itu. Dan betapa terkejutnya Livia kala mengenalinya, itu tak lain adalah mobil milik kedua orangtuanya.
Dan bukan hanya orang tuanya saja yang ada di sana bahkan Lion, kakaknya pun ada di sana dengan beberapa pengawal yang di datangkan Bima.
"Itu Mama dan Papa, Aidan ... Bagaimana ini aku takut," suara cicit Livia yang langsung meremas tangan Aidan. Jari-jarinya langsung berubah dingin seketika.
"Tenanglah, Vi. Kamu tetaplah di dalam rumah, biar aku yang menghampiri mereka," ucap Aidan melepas genggaman tangan Livia, yang baru beberapa jam sah menjadi istrinya.
"Aidan ..." Panggilan Livia tak indahkan oleh Laki-laki itu karena kini Aidan telah keluar dari rumah dan sekarang ada di hadapan orang tuanya.
"Di mana kau sembunyikan anakku!" Teriak Bima yang langsung mencengkram erat kerah kemeja Aidan.
"Pah, tangankan dirimu dulu, Papa sudah janji untuk tidak melakukan kekerasan kan?" Ucap Liana memperingati suaminya agar tidak terbawa emosi, "Bersabarlah okey?"
Bima terlihat membuang napas seiring dengan sentakan tangannya pada kerah kemeja Aidan.
"Bawa anakku kemari, sudah cukup kamu membuatku emosi sejak hari itu. Jangan membuat aku kehilangan kesabaran dan kau akan habis di tanganku," ancam Bima menggenggam kedua tangannya.
"Maaf Pa, tapi saya tidak bisa memberikannya lagi."
Kernyitan dalam langsung tercetak di kening Bima maupun Liana mendengarnya.
"Apa maksudmu, Hah! Kau benar-benar ingin menguji kesabaranku, hah!" Teriak Bima murka. Namun, Liana bisa mengatasi suaminya lagi.
"Kenapa kamu berkata seperti itu? Kemana putriku Livia yang kau sembunyikan?" Kini giliran Liana yang bertanya.
"Maaf, Ma ...." Kembali Aidan meminta maaf pada kedua orang tua Livia.
"Jangan meminta maaf pada kami, cepat kembalikan Livia!" Liana telah habis kesabaran sehingga kini dia berteriak pada Aidan.
"Ma, Pa!" Sebuah teriakan berasal dari belakang tubuh Aidan.
Laki-laki itu menoleh dan mendapati Livia tengah berjalan ke arahnya dengan bibir yang gemetar karena menahan tangis.
"Nak ... Ayo kembali ke rumah, Mama janji tidak akan memarahi Livia lagi. Ayo pulang Nak ...." Bujuk Liana yang telah membuka lebar kedua tangannya berharap Livia datang dan menghampirinya lalu memberikan pelukan.
Namun, tidak. Livia tetap diam di samping Aidan. Gadis itu langsung menggenggam tangan Aidan di hadapan orang tuanya.
"Livia lepaskan tanganmu dari Laki-laki pecundang itu!" Geram Bima menunjuk tangan Livia yang masih bertaut dengan Aidan.
"Tidak Ma, Pa ... Livia tidak akan melepaskan tangan suami Livia. Aku akan terus bersamanya."
Bola mata Bima dan Liana langsung terbuka lebar. Karena terkejut dengan penuturan putri satu-satunya.
"Apa kamu bilang? Suami?" Tanya Bima menahan ledakan kemarahan.
"Iya, Pa. Livia dan Aidan telah menikah," jawab Livia dengan suara gemetar.
"Apa?!" Liana memegang jantungnya dan dia hampir saja terjatuh ke tanah jika saja Bima tidak langsung menahan istrinya dalam pelukannya, "Pa ... Katakan anak kita sedang bercanda. Dia pasti hanya bermain dengan ucapannya kan?" Meminta jawaban Bima dan terus menahan sakit di dadanya.
Bima menatap kedua pengawalnya yang tepat berada di sampingnya, "Cepat bawa Nyonya ke dalam mobil!" Titahnya pada dua pengawalnya itu.
Setelah Liana di bawa ke dalam mobil kini dia menatap Aidan dan Livia dengan tatapan menusuk.
"Pernikahan kalian tidak pernah Papa restui! Beraninya kalian ..."
"Papa cukup!" Tangan yang akan melayang ke pipi Aidan langsung di tahan oleh Lion, kakak Livia yang sejak tadi diam.
"Kamu! Kenapa kamu menahan Papa untuk memukul Laki-laki tak tau diri ini yang telah menikahi adikmu Hah? Apa kau setuju dengan pernikahan tanpa wali itu?!" Teriak Bima pada putra sulungnya.
Kobaran kemarahan Bima tak bisa lagi di padamkan.
"Iya, Lion setuju. Dan pernikahan Livia bukan tanpa wali, Pa. Lion ada di sana dan melihat Livia menikah."
"Lion!" Tinjuan Bima yang akan mendarat ke pipi Lion langsung tertahan ketika Aidan menggenggam tangan itu.
"Cukup, Jika anda tidak menerima aku sebagai menantu itu tidak masalah. Tapi, tolong jangan pernah sakiti lagi anak-anak anda. Aku menikahi Livia yang artinya aku akan membahagiakannya."
"Dengan apa kamu membahagiakan putri saya, Hah? Cinta? Oho, kau janga pikir cinta itu sangat penting. Tapi, putri saya harus mendapat fasilitas yang bagus, tidak seperti kamu yang miskin!"
Untuk kedua kalinya Aidan berpikir jika Bima adalah orang yang tamak akan harta dan kekayaan. Menurutkan derajat seseorang hanya dengan melihat harta yang dia miliki. Apakah semua orang tua seperti itu? Apa mereka tidak memikirkan kebahagiaan anak mereka dan hanya mementingkan popularitas?
"Aku tidak seperti itu, Papa! Livia hanya ingin bersama dengan orang yang Livia cintai, hidup sederhana pun Livia terima. Pa, kemewahan itu tak ada gunanya, Livia mohon ... tolong jangan ganggu kami, Pa. Biarkan Livia bahagia dengan jaoan yang Livia inginkan," pinta gadis itu dengan lirih. Tangisannya tak bisa lagi di bendung dan akhirnya tumpah meleleh di pipi chubby nya.
Bima menatap putrinya dengan kobaran amarah, "Kamu memang sudah terhasut dengan omongan pecundang ini! Ingat, Papa tidak akan pernah merestui kalian sampai kapanpun itu!" Lalu Bima memandang Aidan, "Dan kamu jangan pernah berpikir adalah manantuku! Laki-laki tidak tau diri!" Maki Bima sebelum beranjak pergi dari sana.
Dua mobil itu telah pergi dari halaman rumah Livia dan Aidan.
Lepas kepergian itu, Livia langsung jatuh tak sadarkan diri. Untunglah Aidan sigap memeluk Livia hingga gadis itu tak terjatuh ke tanah.
"Cepat bawa masuk!" Kata Lion yang segera di lakukan Aidan.
Laki-laki itu membawa istrinya ke kemar dan menidurkannya di kasur. Aidan menyelimuti tubuh Livia dan menatapnya dengan sendu.
"Aku ingin bicara padamu, Aidan." Kata Lion menepuk pundak itu.
Aidan pun mengangguk dan mereka keluar dari kamar. Sampai di ruang tamu mereka berdua duduk saling berhadapan di sofa.
"Aku ingin kau tidak menyerah hanya karena orang tua kami. Tetaplah bersama dengan Livia dan jaga dia baik-baik," ucap Lion membuka suara setelah beberapa saat keadaan hening.
"Hm, apa aku salah? Sepertinya aku benar-benar seorang pecundang," kekeh Aidan memijat pangkal hidungnya.
"Hei, kamu tak salah, hanya memang keadaan saja yang belum memihak padamu. Aku yakin suatu hari nanti semua keberuntungan akan berpihak padaku dan membuat orangtuaku menerima dirimu sebagai menantu," kata Lion mengedipkan sebelah mata pada adik iparnya, "Semua hanya tinggal tunggu waktu yang tepat saja."
Mendengar itu, Aidan layaknya mendapat energi dalam tubuhnya sehingga di bibirnya kini muncul secarik senyuman. "Terima kasih, sudah mempercayakan Livia padaku Kak."
"Itu karena kau memang orang yang tepat, Aidan. Kalian berjodoh," Lion melihat Aidan tertawa dan keadaan pun sedikit menjadi hangat dengan percakapan antara adik ipar dan kakak ipar.
-Bersambung....