Siang itu Aidan sedang berada di ruang kerja sang Kekek. Dia harus datang ke perusahaan itu atas permintaan dari kakeknya yang bisa di bilang memaksa, hingga mau tak mau Aidan harus ke sana.
"Sesuai keinginan kamu, Kakek akan menempatkanmu jadi pegawai di perusahaan ini dan memutuskan kamu sebagai CEO."
Awalnya Aidan terdiam bak patung hidup setalah mendengar keputusan dari Kakek Liam. Namun, itu tak berlangsung lama karena tawa Aidan pecah seketika mengisi ruang kerja itu seiring dengan tepuk tangan meriah darinya. Kakek Liam bahkan ikut tertawa melihat cucunya yang senang?
"Hahaha ... Aku akui candaan kakek sangat lucu," dan secepatnya merubah raut wajahnya menjadi datar, "Tapi, mari sudahi candaan garing ini Kek."
Ekspresi Liam pun ikut berubah menjadi datar, "Katakan kamu sebenarnya ingin apa? Kakek sudah memilihkan pekerjaan untukmu di sini, seharusnya kamu berterima kasih!"
"Aku sudah bilang ingin pekerjaan sebagai pegawai biasa, Kek. Tolonglah, kamu seperti ingin membunuhku dengan menjadikan ku CEO." Omel Aidan.
"Lowongan pekerjaan untuk pegawai biasa sudah full, hanya ini yang tersisa, mengerti?"
"Hahaha ... Aduh, Kakek ... "
Belum sempat Aidan menyelesaikan perkataannya, Liam langsung memotong, "Tidak ada, pilihannya hanya dua kamu jadi CEO atau kakek pecat jadi cucu?"
Sambil berkata Aidan berdiri dari duduknya, "Pecat jadi cucu!"
"Hei, yang menyuruhmu pergi siapa? Duduk!"
Aidan mau tak mau duduk kembali dengan wajah kesalnya.
"Kakek tau memberikanku posisi CEO bisa jadi bencana nantinya. Belum lagi, aku juga punya pekerjaan utama sebagai Dosen. Pikirkanlah baik-baik, Kek. Aku tidak akan bisa fokus pada dua pekerjaan sekaligus." Aidan mencoba berbicara baik-baik.
"Tau, tapi kakek sudah pertimbangkan matang. Kakek tidak memikirkan bagaimana kamu mengeksekusi dua pekerjaan sekaligus. Karena ini sudah menjadi keputusan tetap, tidak akan kakek rubah Aidan. Kalau kamu merasa kesulitan, berhenti saja jadi Dosen." Tekan Liam dengan karismanya yang tegas dan tak bisa di bantah. "Bagaimana?"
"Huh, terima kasih solusinya, Kek. Tapi, tidak. Aku akan tetap menjadi dosen!" Kekehnya.
Liam mengangkat bahu tidak peduli, "Lakukanlah, semua terserah padamu."
"Baik, Aidan rasa tak ada kesempatan untuk menolak jabatan baru ini, jadi dengan terpaksa Aidan terima. Untuk saat ini." Menekan kata 'Untuk Saat Ini" lalu melanjutkan, "Dengan catatan jangan paksa Aidan untuk tinggalkan pekerjaan impianku, deal?" Mengulurkan tangan untuk menjabat tangan kakeknya.
Liam menerima jabatan tangan Aidan dengan senyum kemenangan, "Oh, dengan senang hati. Karena kakek sangat yakin, kamu sendiri yang akan memundurkan diri dari pekerjaan melelahkan berceramah di depan mahasiswa itu." Melepaskan jabatan tangan mereka.
"Jangan menghina pekerjaan ku ya, Kek!" Aidan melototi Liam.
"Maaf, oh iya, karena jabatan CEO sudah kamu terima mulai besok kamu sudah bekerja. Jam kerja kamu mulai dari pukul 09:00 - pukul tidak di tentukan. Karena biasanya perkerjaanmu akan bertambah banyak di hari itu."
"Cih, sekarang aku tau kakek memang berniatmembunuhku secara perlahan." Aidan bangkit dari tempat duduknya, "jangan khawatir aku pasti bisa mengatasinya. Aku pergi!" Melambai dan memutar tubuhnya berniat segera keluar dari sana.
"Aidan?"
Laki-laki itu menolehkan kepalanya melirik sang kakek dari ekor matanya dengan sebelah alis terangkat.
"Good luck." Kata Liam memberikan hormat dua jari pada cucunya. Tak lupa senyum kemenangan terus bertengger manis di wajah pria itu.
"Ya, bye!"
Aidan pun benar-benar keluar dari ruangan tersebut. Semenay itu Kakek Liam duduk di kursi kerjanya dengan persaan sangat senang.
"Kakek hanya menghukummu, Aidan. Lain kali kamu akan kebal dan bisa menjadi orang besar yang memiliki kehebatan luar biasa sebagai seorang pemimpin. Selamat Cucu kesayanganku."
***
Sudah empat hari berlalu semenjak Livia tinggal di rumah orang tuanya dia seperti sangat jauh dari Aidan. Mereka bertemu hanya saat di kampus dan setelah mengantarkan dirinya pulang ke rumah orang tua, Aidan sangat jarang mengabarinya.
"Mas, kamu kemana sih? Aku chat gak di balas, telfon pun gak di angkat, aku khawatir kamu kenapa-kenapa." Livia berjalan mondar-mandir di depan cermin kamarnya. Tidak tahan lagi, akhinya Livia beranjak dari kamar dan turun ke lantai bawah.
Dia melihat kedua orang tuanya dari atas tangga sedang berada di ruang tamu.
"Ma - Pa, Livia ingin bicara." Katanya ketika dia sampai di hadapan orang tuanya.
"Ya Sayang, kamu ingin bicara apa? Duduk sini dekat Mama." Liana menepuk sofa yang dia duduki.
Livia pun duduk di sana dan menatap ayahnya yang sedang duduk di hadapannya.
"Kenapa lihat Papa seperti itu? Ayo, bicaralah," kata Bima melihat tatapan anaknya lurus padanya.
"Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini, aku ingin kembali tinggal bersama, Mas Aidan." Kata Livia.
"Kamu baru saja 4 hari di sini, Livia. Suamimu juga tak menyuruhmu pulang kan? Tinggallah lebih lama," kata Liana mengelus punggung putrinya, "Atau kamu sudah tidak sayang lagi ya sama Mama Papa?"
"Bukan seperti itu Mah, tapi aku khawatir sama Mas Aidan. Selama aku di sini, dia sangat jarang menghubungiku, jadi biarkan aku pulang."
"Kalau memang seperti itu, Aidan pasti sedang sibuk dengan hal lain atau ... dia mendapat gadis lain?" Bima melihat perubahan ekspresi anaknya.
"Mana mungkin, Pah! Aku snagat percaya dengan Mas Aidan. Tolong jangan memprovokasiku."
Namun, Bima kalah. Kepercayaan putrinya pada Aidan sangat tinggi, dia tak bisa menghasutnya.
"Baik- baik, Papa tidak akan melakukannya. Tapi, lebih baik kamu kembali besok saja. Ini sudah malam, istrahatlah." Putus Bima menyesap kopinya.
Senyum Livia kembali merekah mendengar keputusan Ayahnya. "Baik Pah, Terima kasih. Livia ke kamar dulu ya," Setelah berpamitan Livia kembali naik ke lantai atas kamarnya.
"Anak kita itu seperti telah buta karena, Aidan Pah. Mama seperti jauh denagn putri kesayangan kita dulu," curhat Liana pada snag suami.
"Sabarlah, aku tengah memikirkan rencana untuk memisahkan mereka. Putri kita pasti kembali," Ucap Bima dengan tersenyum penuh rencana.
***
Di tempat lain, Aidan tengah memeriksa laporan yang baru di ambilnya dari Okta, sekretarisnya di kantor. Padahal dia baru saja memeriksa tugas dari mahasiswanya. Aidan tak ada waktu istrahat dengan cepat, dia harus menyelesaikan pekerjaannya karena jika tertumpuk tugasnya akan semakin banyak nantinya.
Jam 12 kurang 5 menit Aidan baru memegang ponselnya lagi. Dan dia terkejut ketika lihat chat dan panggilan dari Livia sangat banyak. Karena sejak tadi sibuk dengan pekerjaan Aidan sampai lupa menonaktifkan senyap pada ponselnya.
"Ah, dia mungkin sudah tertidur. Besok saja aku meminta maaf," kata Aidan dengan raut sedih. Dia menyadarinya, waktunya telah banyak terbuang di pekerjaan hingga dia jarang berkomunikasi dengan istrinya sendiri, Livia.
Tapi, dia harus bagiamana?
-Bersambung....