Jane menarik kedua rem yang berada disisi kanan dan sisi kiri motor maticnya hingga kendaraan itu berhenti sempurna disebuah pemakaman umum. Ya Jane selalu pergi ke makam ibunya saat dirinya merasa sedih. Pemakaman yang sekarang dipenuhi berbagai macam jenis bunga Kamboja yang sedang bermekaran. Daun-daun yang berjatuhan memenuhi sebagian makam disana. Jane duduk disamping makam ibunya. Orang yang begitu ia rindukan. Sosok yang sangat ia cintai yang kini telah tiada. Gadis itu menangis memeluk batu nisan bertuliskan nama ibunya.
"Mama." panggil Jane lirih ia mulai bercerita pada ibunya tentang apa yang terjadi pada dirinya hari ini.
"Ma, hari ini Jane dipecat dari perusahaan Benjima, perusahaan yang dulu Jane impikan dapat bekerja disana setelah lulus kuliah." Jane terisak menjeda ceritanya sesaat kemudian ia mulai melanjutkan kembali. "Pagi ini hujan turun begitu lebat ma Jane lupa tidak membawa jas hujan.Akhirnya Jane memutuskan untuk berteduh sebentar disana. Namun hal itu membuat Jane terlambat masuk ke kantor." Jane kembali terisak dengan ucapannya. "Dan mama tahu Presdir diperusahaan Benjima memecat Jane karena hal itu. Sekarang Jane bingung apa yang harus Jane katakan pada Papa. hiks ...hiks..." Gadis ini menangis tersedu sambil memeluk makam ibunya membayangkan betapa bahagia papanya saat dirinya diterima bekerja di perusahaan Benjima. Namun sekarang ia harus membuat papanya kecewa. Sungguh ia tidak tega melihat wajah papanya yang sedih itu. Papa Jane sangat berharap gaji yang putrinya hasilkan nanti akan mampu membantu pengobatan dirinya agar sembuh dari penyakit stroke ringan yang ia derita selama ini. Penyakit yang membuat sebagian anggota tubuhnya sulit untuk papa Jane gerakan.
Suara dering ponsel terdengar di dalam tas kerja yang Jane bawa. Kening Jane berkerut saat melihat ada satu panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Angka awal nomor tersebut bukan dari negaranya. Jane menggeser ke atas icon berwarna hijau pada layar ponsel yang sudah berada ditangannya. Kemudian ia letakkan benda pipih itu mendekat ke daun telinga sebelah kiri.
"Hallo." sapa Jane saat panggilan mulai terhubung.
"Kak jessica." teriak Jane yang begitu antusias saat mendengar suara kakak sepupunya itu. Yang sudah lama tidak ia temui karena kini Jessica sudah menetap di Turki. Jane menjauhkan ponsel dari daun telinga. Ia melihat kembali kode negara yang tertera di layar ponselnya itu bertuliskan +90 berarti benar ini dari negara Turki.
Jane dan Jessica adalah saudara sepupu. Dulu keduanya sangat dekat sebelum Jessica memutuskan pindah ke Turki. Jane kembali mendekatkan ponsel itu ke daun telinganya. "Apa kau sedang sibuk Jane?" tanya Jessica yang berada dibelahan bumi negara Eurasia. Kenapa disebut Eurasia karena Turki berada di lintas benua antara Asia dan Eropa. Yaitu wilayahnya diposisikan 95 persen di Asia dan 5 persen di Eropa.
"Tidak, ada apa memangnya kak?" tanya Jane.
"Kakak akan menikah kurang dari sebulan, bisakah kamu menjadi Bridesmaids kakak? pinta Jessica pada adiknya yang berada di tempat kelahirannya. Sebuah negara yang ia tinggalkan dengan berbagai kenangannya. Termasuk meninggalkan lelaki yang dulu mencintainya.
"Sungguh??? kenapa begitu cepat bukankah harusnya masih empat bulan lagi?" Jane begitu terkejut mendengar pernikahan kakaknya akan dipercepat dari tanggal dan bulan yang sudah ditentukan sebelumnya.
"Iya rencana awal memang seperti itu, namun kakak dan Emil mempercepat karena suatu hal." Emil adalah calon suami Jessica.
"Baiklah Jane akan ke Turki sebelum pernikahan kakak berlangsung."
"Ya itu harus, kakak pegang janjimu. Jika kau sudah terbang kesini jangan lupa hubungi kakak jika sudah mendarat di Bandara Internasional Atatürk,Istanbul." Bandara tersebut merupakan bandara internasional utama di kota Istanbul, kota terpadat Negara Turki. Bandara ini berlokasi di kawasan Yesilkoy yang berjarak 15 mil sebelah Barat dari pusat kota Istanbul.
"Tentu kak, nanti Jane akan menghubungi kakak begitu menginjakkan kaki di Istanbul, Turki." sebuah negara yang memiliki beragamam budaya yang kontras, mulai dari Barat hingga Timur, dari masa kuno hingga modern. Karena letaknya yang berbatasan dengan negara Asia dan Eropa.
"Baiklah kalau begitu kakak tutup dulu teleponnya."
"Iya." mereka mengakhiri panggilan setelah icon berwarna merah Jane geser.
Meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas Jane bangkit dari duduknya. Ia berdiri hendak meninggalkan pemakaman. Namun suara dering ponsel yang terdengar mengurungkan niatnya sejenak. Mengambil kembali ponsel miliknya yang tadi sempat ia masukkan ke dalam tas. Melihat sebuah nomor telepon sebuah perusahaan yang sangat ia kenal kening Jane kembali berkerut. Kenapa nomor ini menghubungi dirinya lagi. Bukankah dirinya sudah dipecat. Untuk menjawab pertanyaan dalam pikirannya Jane pun menggeser icon berwarna hijau lalu mendekatkan ponsel ke daun telinganya.
"Hallo." sapa Jane begitu sambungan telepon terhubung.
"Hallo nona Jane" jawab Engin dengan sopan .
"Iya." sungguh Jane sekarang berada pada mood yang buruk.
"Saya Engin nona assisten sekaligus sekretaris tuan Denzel." ucap Engin memperkenalkan diri pada orang yang kini sedang ia hubungi.
"Iya tuan Engin ada yang bisa saya bantu?" tanya Jane.
"Bisakah nona datang ke perusahaan Benjima sekarang untuk bertemu dengan Presdir?" pinta Engin yang terdengar seperti sebuah perintah yang halus.
"Untuk apa saya kesana lagi Tuan? bukankah saya sudah tidak diterima kerja disana lagi karena tuan Presdir kalian yang kejam itu." Jane selalu menyebut Denzel sebagai laki-laki yang kejam.
"Mengenai masalah itu nona bisa tanyakan langsung nanti pada tuan Denzel." Engin menjawab dengan begitu tenang.
Jane menghela nafasnya berharap kekesalan yang ia rasakan juga ikut terbuang dengan hembusan nafasnya. "Baiklah saya akan pergi kesana."
"Terima kasih nona Jane, selamat siang." tanpa menjawab Jane mengakhiri panggilan telepon itu
***
Jane kini sudah tiba di ruangan Presiden Direktur perusahaan Benjima. Denzel mengamati penampilan Jane yang baru masuk diruangannya. Ia melihat dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia juga melihat mata Jane yang terlihat sembab karena menangis tadi. Tatapan yang Jane terima dari Denzel membuatnya merasa risih. Seolah lelaki itu sedang berfikir yang aneh-aneh tentang dirinya.
"Duduk." ucap Denzel memecah keheningan diantara mereka berdua.
"Saya berdiri saja Tuan, ada apa tuan memanggil saya bukankah tuan sudah memecat saya." ucap Jane menolak untuk duduk karena ia masih kesal dengan pria yang kini satu ruangan dengannya.
Denzel masih terdiam ditempat duduknya. Ia masih menatap Jane dengan tatapan yang sulit dibaca oleh wanita itu. Denzel memainkan pulpen yang tadi sempat ia gunakan untuk menandatangani beberapa dokumen yang ada diatas meja kerjanya. Denzel bangkit dari duduknya mengajak Jane kembali untuk duduk di sofa yang berada di dalam ruangan tersebut.
"Duduklah." ucap Denzel dengan nada yang lebih lembut.
Jane memicingkan mata seperti ada yang aneh dengan pria yang ada dihadapannya ini. Apa tadi dia salah makan atau salah minum sesuatu ya pikir Jane.
"Saya ingin berbicara lebih tenang denganmu nona." sambungnya.
"Apa? tenang bagaimana dia bisa bersikap seperti itu setelah apa yang ia lakukan padaku tadi pagi." gerutu Jane dalam hati saat mengingat apa yang telah pria ini perbuat dengan dirinya.
"Maaf tuan saya tidak punya banyak waktu. Apa yang sebenarnya tuan inginkan?" tanya Jane yang sudah enggan untuk berbasa-basi dengan Denzel.
"Gadis ini, baru dia yang berani seperti itu padaku jika perempuan lain pasti mereka sudah memanfaatkan keadaan dengan bergelayut manja dan akan berakhir denganku di ranjang." gumam Denzel dalam pikirannya.
Menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa dengan kaki yang disilang dan tangan yang ia lipat didada Denzel kembali berucap dengan nada bicara yang kembali menjadi dingin.
"Baiklah nona jika itu maumu."
Akhirnya Jane dan Denzel membicarakan sesuatu selama kurang lebih lima belas menit sebelum akhirnya Jane keluar dari ruangan itu.