Chereads / The Cruel Denzel / Chapter 6 - Rumah denzel

Chapter 6 - Rumah denzel

Jane mengendarai motornya di pagi hari menuju sebuah rumah dengan gerbang hitam yang menjulang tinggi. Terdapat dua security yang berjaga di rumah itu. Jane menghentikan motor matic yang selalu menemani dirinya kemanapun ia pergi. Melihat sebuah kartu nama memastikan alamat yang ia baca sama dengan kertas yang ia lihat ditangannya.

"Sepertinya benar ini alamatnya." Jane turun dari motornya menghampiri kedua security yang terlihat asyik mengobrol. "Selamat pagi pak." sapa Jane membuat kedua security itu menolehkan kepala pada seorang gadis yang memanggil mereka.

"Iya nona, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah satu security itu.

"Benarkah ini alamat yang tertera di kartu nama ini pak." Jane memberikan kartu itu pada security untuk memastikan.

"Benar nona ini alamatnya, ada yang bisa kami bantu nona?" tanya security satunya lagi.

"Saya sudah ada janji dengan tuan Denzel pagi ini, bisa saya bertemu dengannya Pak?" Jane menjelaskan maksud kedatangan dirinya pagi itu.

"Silahkan masuk nona, tuan Denzel ada di dalam semalam tuan juga berpesan jika besok pagi akan ada gadis yang kemari, mungkin yang tuan maksud adalah nona." Salah satu security membuka pintu gerbang. Jane pun segera mengambil motor menuju halaman rumah Denzel yang sangat luas. Hingga dari pintu gerbang menuju pintu masuk rumah membutuhkan waktu lima menit dengan berkendara memakai motor.

Hari ini adalah hari pertama Jane bekerja untuk Denzel setelah perjanjian yang keduanya buat.

Flashback on

Nevan sudah kembali ke mode dingin saat Jane menolak untuk berbicara santai dengan dirinya.

"Baiklah jika itu maumu nona." Nevan melempar sebuah map yang sudah ia persiapkan saat Engin menghubungi gadis itu untuk datang menemui dirinya. Jane terkejut akan hal itu ia menerima map tersebut lalu membuka dan membaca setiap tulisan yang tertera atas kertas putih yang baru saja ia pegang.

"Apa maksudnya ini Tuan?" Jane mengangkat kertas itu sambil menahan gemuruh didalam dadanya.

"Apa tulisan itu kurang jelas nona."

"Tidak, bahkan tulisan ini sangat jelas bagi saya."

"Lalu, apa keputusanmu nona?" tanya Denzel yang terlihat duduk dengan menaikkan salah satu kakinya diatas lutut. Pandangannya lurus pada gadis yang masih terlihat bingung dengan keputusan yang akan dia ambil. Di dalam kertas itu tertulis jika ia ingin kembali bekerja di perusahaan Benjima maka ia harus bersedia di training sebagai asisten rumah tangga di kediaman Denzel selama satu bulan. Baru di bulan berikutnya ia akan bekerja sebagai asisten pribadi Denzel di perusahaan yang ia pimpin saat ini. Pekerjaan yang sama namun hanya tempatnya yang berbeda yaitu sama-sama menjadi asisten seorang Denzel Benjima.

"Bagaimana nona saya tidak punya banyak waktu." Denzel berpura-pura melihat jam mahal yang melingkar dipergelangan tangannya untuk mendesak Jane supaya segera menjawab.

"Aku tidak sudi menjadi pelayanmu." Jane melempar kertas yang tadi sempat ia pegang ke arah Denzel karena wanita itu merasa kesal pada Presdir yang semaunya sendiri. Baru saja Jane melangkah untuk keluar tiba-tiba saja terdengar suara bariton lelaki itu yang menggema memenuhi seluruh ruangan namun tidak sampai terdengar keluar karena ruangan Presdir sudah pasti akan dibuat kedap suara.

"Jika kau lulus training selama sebulan maka aku akan menggajimu 100 juta."

Jane menghentikan suara sepatu heels nya. Otak matematika nya mulai bekerja. Dengan uang 100 juta ia dapat melunasi hutang dan membawa ayahnya untuk terapi ke rumah sakit. Dan harapan untuk sembuh semakin besar. Denzel tersenyum sinis melihat Jane.

"Semua wanita sama mereka akan luluh dengan uang." gumam Denzel dalam hati.

Jane memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Dirinya kembali menatap Denzel yang masih memandangi dirinya. Lelaki itu mengambil kertas yang sempat Jane lempar kearahnya.

"Tanda tangan disini nona." kemudian Denzel mengambil sebuah kartu nama dari dalam dompet yang sebelumnya ia simpan di saku celana. "Datanglah ke alamat rumah ini tepat jam 07.00 pagi setiap harinya."

Jane mendekat menandatangani kertas itu dan mengambil sebuah kartu yang Denzel berikan untuknya. "Apa tidak ada libur untukku di bulan pertama bekerja?" tanya Jane.

"Kau hanya diijinkan libur jika saya yang mengijinkan. Jika nona libur tanpa persetujuan dari saya maka gaji nona akan saya potong 25%."

"Dasar pria kejam." umpat Jane namun masih terdengar samar-samar di indera pendengaran Denzel.

"Saya bisa mendengar itu nona."

"Maafkan saya tuan kalo begitu saya pamit undur diri."

"Jangan terlambat besok pagi jika nona tidak datang maka nona harus ganti rugi akan kontrak saya senilai 500 juta nona."

"Apa???" Jane begitu terkejut mendengar ucapan Denzel.

"Apa nona tidak melihat tulisan dengan tanda bintang berjejer tiga sebelum tulisan itu diketik." ucap Denzel menunjuk dimana letak tulisan itu.

"Sial kenapa tadi aku tidak melihat dan tidak membacanya sebelum menandatangani kertas itu." batin Jane. Denzel menarik kedua sudut bibirnya melihat ekspresi yang ditunjukkan gadis itu.

Tak ingin berlama-lama dengan pria ini akhirnya Jane keluar dari ruangan yang terasa panas meskipun udara AC diruangan itu sangat dingin.

"Baiklah saya akan datang tepat waktu." Sepatu heels Jane mengetuk-ngetuk lantai saat kakinya berjalan keluar meninggalkan tuan Presdir yang bahagia karena kemenangannya.

"Wanita memang bisa dibeli dengan uang." Denzel membawa kertas itu dan menyimpannya didalam laci meja kerjanya. Bertumpuk dengan dokumen penting lain disana.

Flashback Off

Menstandartkan motor matic berwarna merah yang ia beli beberapa tahun lalu dengan uang tabungan hasil kerja part time yang ia jalani semasa kuliah Jane menekan bel rumah yang berada tepat di samping pintu kayu berwarna cokelat. Pintu terbuka nampak seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahunan membukakan pintu.

"Pagi Bi." sapa Jane

"Iya nona."

"Apa tuan Denzel ada." Tanya Jane.

"Ada nona, semalam tuan sudah memerintahkan saya untuk menyampaikan pada nona jika sudah datang maka Nona bisa langsung menuju kamar Tuan." ucap bibi mempersilahkan Jane untuk memasuki rumah megah berlantai dua yang didominasi dengan cat berwarna putih.Pada bagian ruang tamu tersebut ada sofa yang mewah berwarna krem yang tertara rapi, desain interiornya juga mengagumkan terlihat dari aransemen warna yang konsisten, hiasan yang sangat bagus ada bagian dinding yang tersusun dari batuan marmer. Terdapat pula sebuah foto keluarga yang menampilkan ayah,ibu dan Denzel karena lelaki itu anak tunggal.

"Silahkan nona kamar tuan ada di lantai 2 sebelah tangga dengan pintu kamar bercat cokelat karena kamar lain pintunya sengaja dicat berbeda." bibi memberitahu dimana letak kamar tuannya.

"Apa tidak apa-apa saya masuk bi?" tanya Jane dengan ragu-ragu.

"Tidak nona, ini catatan hal-hal yang biasa tuan Denzel lakukan dan sekarang nona yang mengerjakan." terdengar hembusan nafas dari Jane saat menerima kertas itu. Sebelum masuk ia pun membaca setiap hal yang berhubungan dengan Denzel.

Jane menaiki anak tangga satu persatu menuju kamar Denzel. Gadis itu mengetuk pintu beberapa kali memanggil nama Denzel namun tidak ada jawaban dari dalam. Jane memutuskan untuk masuk ia memegang handle mendorong pintu untuk membukanya. Diatas Bed yang sangat mewah dan nyaman terlihat lelaki itu masih terlelap dibalik selimut karena semalam habis berpesta dengan empat sekawan.

Saat pertama kali masuk kamar ini seperti di desain khusus oleh ahlinya. Kemewahan tampak terlihat dari tirai yang menjulang tinggi pada bagian jendela kaca yang indah, ditambah lagi dengan pencahayaan dan kombinasi warna putih yang ada di dalam ruangan, lampu-lampu plafon, ubin yang sejuk serta motif-motif esklusif pada dinding dekat bed tempat tidur. Tak lupa sebuah foto besar yang menampilkan tubuh kekar Denzel yang terlihat tampan dan maskulin meski hanya separuh badan saja yang terlihat.

Jane berjalan menuju kamar mandi hal pertama yang akan ia lakukan sesuai dengan kertas yang bibi berikan adalah menyiapkan air hangat untuk Denzel mandi. Dan saat bersamaan Denzel terbangun karena ingin buang air kecil. Saat membuka pintu kamar mandi keduanya pun menjerit secara bersamaan.

"Aaaaaaaa."