Jane begitu terkejut kala mendengar ia harus dipecat dihari pertama bahkan sebelum dirinya benar-benar bekerja. Ia ingin tahu kenapa dirinya yang baru masuk sudah harus berhenti. Kesalahan apa yang ia buat sehingga ia harus dipecat.
"Tapi kenapa pak, apa salah saya?" Jane butuh penjelasan perihal ini.
Terdengar hembusan nafas dari kepala HRD yang merasa iba pada Jane. Sosok gadis ini mengingatkan dirinya pada putri bungsunya yang terlebih dahulu pergi meninggalkan dunia.
"Ini keputusan Presdir Jane, bapak tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu mu. Tuan Denzel berkata kamu terlambat datang lima menit dan perusahaan tidak bisa mentolerir karyawannya yang tidak disiplin waktu apalagi ia adalah karyawan baru." jelas kepala HRD pada Jane.
"Dimana ruangan Presdir pak, saya punya alasan untuk itu." Jane bangkit dari duduknya. Sorot matanya yang tadi lembut kini berubah seolah memperlihatkan ketidakterimaan saat dirinya harus diberhentikan secara tiba-tiba.
"Di lantai paling atas." jawab kepala HRD memberi tahu Jane dimana letak ruangan Presdir Benjima berada.
"Baiklah kalo begitu saya permisi dulu Pak, terima kasih." pamit Jane pada kepala HRD kemudian ia berlalu pergi keluar dari ruangan HRD.
"Semoga berhasil nak." doa kepala HRD untuk Jane.
***
Dengan langkah cepat Jane menekan tombol lift menuju lantai paling atas tempat dimana ruangan yang menjadi tujuan gadis itu. Banyak karyawan yang melihat Jane begitu tergesa-gesa dalam melangkah bahkan gadis itu hampir terjatuh karena ketidak seimbangan tubuhnya saat berjalan begitu cepatnya.
"Maaf nona." suara seorang pria menghentikan langkah Jane yang ingin mengetuk pintu bermaterial kayu berwarna cokelat yang sudah berada dihadapannya. Jane menolehkan kepala ke arah suara itu. Terlihat seorang pemuda menghampiri Jane yang tengah berdiri didepan pintu ruangan Presdir. Pemuda itu adalah Engin assisten sekaligus sekretaris tuan Denzel yang sudah bekerja selama empat tahun di perusahaan Benjima. Pria bule berbadan tinggi dengan kulit putih berwajah tampan bermanik perak dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di area kumis dan dagunya itu menghampiri Jane.
"Iya tuan." Jane tersenyum menyambut kedatangan Engin.
"Kenapa nona terlihat terburu-buru datang kemari. Disini hanya ada ruangan Presdir. Apa nona ingin bertemu dengan tuan Denzel ?"
"Iya, bisakah saya menemuinya sekarang tuan." pinta Jane masih dengan seulas senyum yang ia tunjukkan diwajahnya.
"Apakah nona sudah memiliki janji sebelumnya?" tanya Engin.
"Tidak." jawab Jane singkat.
"Saya harus meluruskan suatu hal dengan dia." Engin sebenarnya sudah paham dan tahu akan maksud kedatangan gadis ini. Namun ia hanya berbasa-basi untuk sedikit meredakan emosi yang terpancar jelas di kedua manik perak Jane.
"Baiklah saya akan memberitahu tuan Denzel terlebih dahulu jika nona ingin bertemu dengan Tuan Presdir." Engin melangkah menuju pintu yang letaknya tidak jauh dari meja kerjanya. Diikuti oleh Jane yang mengekor di belakang pria yang umurnya kira-kira terpaut lima tahun dengan dirinya.
Engin memutar handle dan mendorong pintu bermaterial kayu berwarna cokelat itu secara perlahan. Setelah sebelumnya ia mengetuk dan meminta ijin untuk masuk.
Di dalam ruangan terlihat Denzel sedang memeriksa beberapa dokumen yang tertumpuk di meja kerjanya.
"Tuan ada nona Jane ingin bertemu dengan Tuan." ucap Engin begitu masuk membuat Denzel menghentikan aktifitasnya meletakkan pulpen yang tadi sempat ia pakai untuk menandatangani beberapa dokumen yang ada dihadapannya. Ia mendongak menatap gadis yang namanya disebut oleh Engin.
"Selamat pagi Tuan." sapa Jane memberi rasa hormat pada presiden direktur perusahaan Benjima.
"Hal apa yang berani membawamu kemari?" dengan tatapan tajam Denzel bertanya pada gadis yang sudah berani mengganggu pekerjaannya pagi ini.
"Kenapa tuan memecat saya bahkan sebelum saya mulai bekerja hari ini." ucap Jane to the point tanpa berbasa-basi membalas tatapan Denzel dengan tidak kalah tajamnya. Seolah gadis ini memiliki kekuatan lebih untuk menandingi Denzel.
"Berani sekali gadis ini." batin Engin yang masih berada dalam satu ruangan dengan mereka.
"Alasan apa yang kamu dengar dari pihak HRD."
"Ish pria ini ditanya malah balik nanya." kesal Jane dalam hati. Gadis ini berusaha menarik nafas dalam-dalam meraup oksigen sebanyak-banyaknya untuk memenuhi rongga paru-paru berusaha menetralkan emosi yang kini menguasai hatinya.
"Saya terlambat lima menit."
"Lalu." ucap Denzel dengan santai dan tenang.
"Sungguh pria ini ingin rasanya aku lempar dengan sepatu heels yang aku pakai saat ini." gumam Jane yang kembali tersulut emosi dengan perkataan Denzel.
"Lalu tuan memecat saya karena hal itu."
"Jadi?" satu kata yang Denzel ucap.
"Jadi??" Jane merasa bingung dengan kata itu. Denzel menarik kedua sudut bibirnya melihat ekspresi diwajah Jane.
"Apa kalimat itu belum jelas untukmu nona. Anda karyawan baru bahkan sangat baru dan Anda sudah seenaknya terlambat datang di perusahaan ini sedangkan senior yang lain mereka bahkan datang tiga puluh menit sebelum jam kantor dimulai. Nona pikir ini perusahaan milik ayah nona." ucap Denzel membuat Jane menjadi sendu kala mendengar kalimat terakhir Denzel.
"Sungguh pria kejam." Jane berucap tanpa peduli dengan jabatan atau kekuasaan Denzel ia hanya mengeluarkan apa yang ia rasakan saat ini.
"Apa katamu, aku kejam." Denzel menaikkan sebelah alisnya mengulang kalimat terakhir yang Jane ucapkan.
"Iya, tuan adalah pria terkejam yang pernah saya temui. Tuan memecat saya begitu saja tanpa tahu alasan kenapa saya bisa terlambat. Apa itu bisa disebut perbuatan yang baik menurut tuan? Saya berpikir itu adalah perbuatan yang paling kejam yang pernah saya alami." Jane sudah tidak dapat mengontrol emosinya didepan Denzel. Engin sedari tadi hanya diam memperhatikan interaksi antara keduanya.
"Keluar dari ruangan saya, sekarang!!!" perintah Denzel menunjuk dimana pintu berada.
Tanpa berlama-lama Jane membalikkan badan keluar meninggalkan ruangan Presdir dengan membanting pintu sekuat tenaganya. Denzel dan Engin terlonjak kaget mendengar suara yang dihasilkan dari pintu yang ditutup Jane secara kasar tadi.
Engin pun hendak pergi meninggalkan bosnya namun langkahnya terhenti saat Denzel memanggil namanya.
"Engin."
"Iya Tuan." jawab Engin
"Berikan informasi tentang gadis itu." ucap Denzel kembali mendudukkan tubuhnya kembali. Memegang pulpen yang sempat ia letakkan sebelumnya diatas meja. Pria itu kembali fokus bekerja memeriksa dokumen-dokumen yang menumpuk di atas meja kerjanya.
"Baik Tuan, saya akan mengirimkan informasi mengenai nona Jane ke email Tuan." Engin tidak dapat membaca ekspresi wajah yang Tuannya perlihatkan saat ini. Sangat tenang namun terlihat sesuatu yang mengganjal. Dan Engin tidak ingin bertanya lebih biarlah itu menjadi urusan bosnya.
Jane turun menuju tempat dimana motornya terparkir. Ia begitu kesal dengan pemilik perusahaan Benjima. Bisa-bisanya perusahaan sebesar itu dipimpin oleh seorang laki-laki yang arogan seperti Denzel.
Jane mengendarai motornya dengan kecepatan sedang meskipun jalanan terlihat sedikit lengang di pagi hari menjelang siang ini.Jang ingin menuju suatu tempat. Tempat yang selalu menjadi favoritnya kala ia sedang bersedih.