Chereads / [BL] Our Own Stories / Chapter 3 - Chapter 3

Chapter 3 - Chapter 3

"Rei!"

Yang dipanggil menoleh. Satu kaleng sport drink mendarat dengan mulus di tangannya. Remaja itu tersenyum kala mendapati ada sticky notes yang menempel pada kaleng itu. Semangat! Satu kata singkat dari seseorang yang dia kenali memiliki harga diri yang terlalu tinggi untuk mengatakannya secara langsung.

"Terimakasih." Balas Rei.

Kashi yang baru saja menyelesaikan misi mengantar minuman pada Rei yang akan berlatih sampai malam pun membalasnya dengan senyuman puas kemudian beranjak untuk pulang. Perjalanan yang tenang dan damai. Lagu yang diputarnya melalui earphone menyesuaikan suasana yang tengah ia nikmati. Sambil bersenandung dia berjalan menuju panti asuhan hanya untuk sekedar menyapa anak – anak yang kini menjadi temannya. Tidak aka nada yang tahu apa yang terjadi pada masa depan. Kashi tidak pernah menyangka anak – anak itu mau dekat dengannya hanya karena satu kali mengajak mereka bermain untuk membantu tetangganya.

Di tengah perjalanan seseorang memeluk kakinya dari belakang. Kashi tidak mengelak karena yang memeluknya adalah tubuh anak kecil yang tinggi badannya jauh lebih pendek dari Kashi. Dia mematikan lagunya agar tidak mengganggu.

"Kak Kashi! Aku pulang!"

Kashi menoleh menuju suara itu berasal. Gadis kecil bernama Megu lah yang memeluknya. Tangan Kashi mendarat pada kepala gadis kecil itu untuk mengelusnya. Megu tersenyum cerah setelah akhirnya mendapat perhatian dari kakak favoritnya. Megu telah mengikuti Kashi sejak setengah perjalanan, namun laki – laki itu tidak menyadarinya karena musik yang dia dengar memblokade suara dari luar.

"Kak Kashi tidak peka!"

"Ya, ya aku minta maaf. Kau baru pulang?"

"Mn! Tadi aku harus mengobrol bersama wali kelasku."

"Eh? Apa kau membuat masalah?"

"Tentu saja tidak! Aku disuruh mengikuti lomba melukis di pusat kota dua minggu lagi. Aku bukan anak nakal!"

"Wah, anak sepertimu punya bakat juga yah." Goda Kashi sambil mencubit pipi gempal Megu.

"Aaa Kak Kashi! Aku ini sudah kelas 5! Jangan menarik pipiku, nanti melar! Bisakah kau memperlakukanku lebih lembut!"

"Iya baiklah nona cantik."

"Kak Kashi mau ke panti?"

"Iya, kenapa?"

"Ayo pergi bersama!"

"Tidak jadi deh."

"Heh? Kenapa? Kakak tidak suka aku?"

"Aku mau mampir."

"Kemana?"

"Minimarket. Kita beli camilan untuk semua. Kau mau membantuku?"

"Mn! Tentu saja! Ayo pergi!" Seru Megu yang kemudian langsung menggandeng tangan Kashi.

Keduanya menyusuri jalan sambil bersenandung gembira. Sesampainya di minimarket, mereka langsung mengambil barang yang akan dibeli. Mulai dari minuman sampai makanan. Uang yang Kashi miliki cukup banyak karena orang tuanya menitipkan uang jajan khusus untuk anak – anak panti setelah mengetahui Kashi membantu disana. Megu yang terlalu senang tanpa disadari menabrak seorang pria paruh baya.

"Ah! Maafkan aku tuan." Kata Megu yang kemudian mengadah untuk melihat pria itu.

Mata Megu membelalak. Seketika badannya gemetar seakan dia telah melihat hantu. Dengan tangan gemetar dia memungut kembali barangnya yang terjatuh di lantai. Dadanya terasa sesak kala pria itu ingin membantunya sambil tersenyum misterius.

"Megu. Ada apa?" Tanya Kashi yang langsung membantu Megu.

"T- Tidak ada apa – apa kok." Balasnya sambil tersenyum memaksa.

"Maafkan kami." Kata Kashi pada pria itu.

Setelah membayar belanjaannya, Kashi dan Megu langsung menuju ke panti asuhan. Semenjak kejadian tadi Megu diam seribu bahasa. Kepalanya menunduk, pandangannya fokus pada kaki dan aspal yang mereka injak. Kashi tidak mengerti apa yang terjadi pada gadis pintar yang biasanya tidak bisa diam itu. Dia memilih untuk diam dan membiarkan Megu mengendalikan apapun yang telah terjadi pada dirinya. Kashi hanya perlu menggenggam tangan kecil itu agar dia tetap merasakan bahwa Kashi ada untuknya.

Sesampai mereka di panti semuanya langsung menyerbu Kashi bersama belanjanya. Megu yang tidak mengeluarkan sepatah kata pun langsung pergi menuju kamar tidurnya. Kashi menghela nafas berat. Dia ingin bertanya pada gadis cilik itu, namun disaat yang bersamaan dia harus menghargai privasinya.

"Kashi – kun, apa yang terjadi?" Tanya paman Shu, salah satu pengurus panti.

"Aku tidak tahu. Megu tiba – tiba diam begitu."

"Biarkan saja, gadis itu sudah besar pasti bisa mengendalikan masalahnya sendiri."

"Mn. Aku tidak akan memaksanya berbicara."

"Dia sangat mengagumimu. Aku yakin ada saatnya dia bercerita nanti."

"Mungkin."

Kashi makan malam bersama anak – anak panti, terkecuali Megu yang sudah tertidur di kamar. Kashi yang sudah harus pulang terpaksa pergi tanpa berpamitan dengan Megu yang biasanya mengantar dia pulang sampai gerbang panti. Kashi mengadahkan kepalanya menatap rembulan yang bersinar lembut. Angin malam yang dingin membuatnya tenang. Hari ini sudah cukup melelahkan. Masalah esok hari akan dia serahkan pada dirinya di hari esok. Yang dia ingin lakukan setelah sampai rumah adalah beristirahat. Tenggelam pada mimpinya sebelum terbangun di esok hari.

.

Di tengah perjalanan menuju sekolah, Kashi harus rela berteman dengan air hujan yang mulai membasahi bajunya. 'Sial! Aku tidak membaca ramalan cuaca.' Kashi merutuki kebodohannya saat berteduh di teras toko permen. Kashi ingin kembali ke rumah tapi posisinya kini lebih dekat ke sekolah. Jaketnya sudah basah karena hujan satu – satunya harapan adalah baju olahraganya yang tertinggal di kelas. Dengan tekad yang kuat dia memilih menerobos hujan menuju sekolah.

Dewi fortuna tidak berpihak padanya, pakaian olahraga yang dia harapkan sudah dibawa pulang teman kelasnya karena takut hilang. Dia menghela nafas. Jaketnya yang basah digantung di ruang klub. Kini Kashi harus bertahan menggunakan kemeja nya yang tidak terlalu basah. Dingin memang, tapi yasudahlah. Kashi sudah pasrah. Dia memilih menghangatkan diri di ruang klub yang kini dia kuasai karena tidak ada orang selain dia. Udara yang hangat membuatnya mengantuk. Perlahan Kashi dibawa oleh kegelapan.

Aroma mint tercium samar ditengah tidurnya yang tidak nyenyak namun lumayan nyaman. Manik hazelnya mengintip, siapakah gerangan orang yang beraroma mint itu? Tentu saja dia tahu jawabannya.

"Kashi, jangan tidur dengan pakaian basahmu itu." Panggil seseorang sambil menepuk pelan bahunya.

"Rei… Pakaianku yang ini tidak basah." Balas Kashi yang masih setengah sadar.

"Mau ganti sendiri atau aku yang gantikan?"

"Baju siapa yang kau curi?"

"Akal sehatmu sudah hilang? Tentu saja ini baju cadanganku."

"Heh… Hah?"

"Kau sudah bangun?"

"Ba- bajumu?"

"Mn."

"Milikmu?"

"Iya. Kenapa? Kau tidak suka? Aku carikan baju temanku saja."

"Ti- tidak perlu!"

"Hah?"

"Pa- pakai bajumu saja tidak apa – apa."

"Yasudah. Ini, cepat ganti nanti kau telat masuk kelas."

Dengan cepat Kashi mengganti seragamnya di toilet dekat ruang klub. Aroma mint milik Rei seketika tersebar pada satu set seragam penggantinya. Aroma mint yang membuat Kashi nyaman namun membuat jantungnya berdegup kencang. Dia tidak menyangka akan memiliki aroma yang sama seperti milik Rei. Wajahnya memerah. Lengan panjang kemeja itu dia lipat agar telapak tangannya dapat terlihat. Setelah selesai berganti dia menggantung seragam basahnya kemudian keluar untuk menemui Rei kembali di ruang klub tadi.

"Sudah aku duga akan sedikit kebesaran." Komentar Rei.

"Mn. Tubuhmu dua kali lebih besar dariku padahal aku yang ahli memukul disini." Balas Kashi yang wajahnya memerah karena aroma dari seragam Rei yang dia pakai dapat dia cium dengan jelas.

"Wajahmu merah. Apa kau demam?" Rei yang cemas langsung menghampiri Kashi untuk memeriksa.

Dahi Rei menempel pada dahi Kashi. Nafas keduanya dapat dirasakan dengan jelas. Tangan mungil Kashi melingkar pada pinggang Rei kemudian menenggelamkan dirinya pada pelukan hangat yang ia sukai itu.

"Wah, Kashi pintar modus yah. Bilang saja pengen aku peluk."

"Diam bodoh!" Protes Kashi yang kemudian menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Rei. Menghirup aroma mint sebanyak mungkin.

"Kau sungguh menyukai diriku hanya karena aroma mint?" tanya Rei yang melepas pelukan Kashi kemudian menangkup pipi tembamnya agar sang lawan bicara melihat wajahnya.

"…"

"Hm?"

"Bodoh!" Teriak Kashi yang kemudian melepas tangkupan pada pipinya.

"Ini pakai jaketku. Hujan pada saat seperti ini sangat dingin." Kata Rei sembari mendaratkan jaketnya pada kepala Kashi.

"Bagaimana denganmu?" Tanya Kashi yang sekarang tengah memeluk jaket oversize Rei.

"Tenang saja, aku bawa blazerku. Tadi kau habis kehujanan, pakai saja." Kata Rei sambil mengelus kepala Kashi lembut.

Kashi menuruti perintah Rei. Tubuh mungil Kashi akhirnya terbalut jaket berwarna pale turquoise yang sejujurnya cukup cocok dengan penampilannya. Setelah Kashi selesai memakai jaket, Rei mendaratkan kecupan lembut pada pipinya.

"Aku harus ke lab kimia. Aku duluan yah." Kata Rei seiring mengusap pelan lembut kepala Kashi kemudian pergi menuju ruang lab kimia.

Setelah berhasil mengendalikan warna wajahnya barulah Kashi beranjak pergi menuju ruang kelasnya. Kashi harus mengingatkan dirinya menyimpan baju cadangan agar tidak pernah meminjam baju Rei lagi. Aroma mint yang kini menempel padanya membuat dia tidak fokus. Dia tidak bisa menolak untuk tenggelam dalam aroma mint pada seragam yang dia gunakan. 'Ugh aroma mint ini membuatku ingin cepat – cepat mengganti bajuku. Aku tidak bisa fokus!' Batin Kashi berteriak karena sekali lagi wajahnya memerah tanpa sebab. Sungguh hari sekolah yang berat. []

"Loh Kak Kashi pinjam baju siapa? Kok bajunya kebesaran gitu?" Tanya Megu menyambut kedatangan Kashi.

"Punya teman."

"Heeeh teman atau pacar kak? Pacar yah~"

"Hah!? Tidak!"

"Wajah kakak memerah berarti aku benar."

"Dia bukan pacarku! Tidak ada coklat untukmu sampai bulan depan!"

"Heeh kak Kashi jahat! Aku bercanda."

"Aku merajuk!"

Keduanya bertengkar layaknya anak kecil. Seisi panti asuhan hanya dapat menyaksikan keduanya dari kejauhan. Biarkanlah mereka tenggelam pada obrolan mereka sendiri.

.

.

"Hatcho!"

"Rei tadi bersin terus. Ada apa?"

"Aku rasa ada yang membicarakanku."

-TBC-