HAI... HELLO... APAKABAR GUYS... UDAH 2 HARIIAN YA, ENGGAK DI UPDATE. WEHEHEH...
YUKS, RAMAIKAN KOMENT DAN POWER STONENYA GUYS...
HAPPY READING....
Zia membuka matanya, hal yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit kamar Kia. Ia pun mengedarkan pandangannya ke arah seluruh ruangan. Ia bangun seraya memegangi kepalanya yang pusing akibat matahari yang terlalu menyengat tadi. Zia menghembuskan napasnya ketika mengingat Fadgham yang melihatnya sedang dalam kondisi seperti itu. Ia sama sekali tidak mau di sebut wanita lemah karena, cukup dengan sebutan wanita manja suda membuatnya sakit hati.
Ia berusaha tidak manja pada orang tuanya, tetapi seenaknya Fadgham mengatakan jika dirinya manja. Dimanakah sisi manjanya, ia tidak pernah manja sama sekali. Zia turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Setelah selesai membasuh wajahnya, ia pun berjalan ke luar kamar.
Ia menuruni tangga dengan hati-hati karena kepalanya masih sedikit pusing. "Udah bangun, lo?" tanya Denis membuat Zia yang berjalan ke arah sofa ruang keluarga itu memutar malas bola matanya dengan pertanyaan bodoh Denis. Sudah tahu dirinya ada di sini, untuk apa bertanya lagi.
"Belum bangun gua, Den," ucapnya malas.
"Dih, jawabnya gitu amat," ucap Denis kemudian memasukkan cemilan kacang ke dalam mulutnya.
Zia mendudukkan dirinya di single sofa kemudian ia menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. "Masih pusing?" tanya Kia yang tiduran di sofa dengan paha Denis yang menjadi bantalnya.
"Hum, sedikit," jawab Zia tanpa membuka matanya yang sedang terpejam saat ini.
"Kalau masih pusing mending tidur di kamar Zi," ucap Kia yang kini sudah mendudukan dirinya.
"Hum," jawab Zia yang hanya bergumam.
"Bawa ke kamar gih, Den!" perintah Kia seraya menatap Denis.
"Dih, kok gua. Ogah, encok pinggang gua habis gendong Zia!" tolak Denis sambil memegangi pinggangnya.
"Giliran nungging aja lo kuat!" cibir Kia.
"Mulut!" kesal Denis menatap Kia.
Kia tidak peduli dengan tatapan Denis, ia berdiri dari duduknya dan berjalan ke dapur untuk mengambil makanan dan juga obat untuk Zia. "Kenapa lo enggak naik mobil aja tadi? Dan kenapa juga lo harus ke rumah si ganteng?" tanya Denis seraya meletakkan cemilannya ke atas meja dan mengambil es sirup di meja sofa.
"Mikirnya tadi deket, makanya gua jalan kaki. Mana tahu kalau cuacanya bakalan terik," ucap Zia yang kini membuka matanya dan menatap Denis.
"Walau awalnya enggak terik pun seharusnya, lo bawa mobil," ucap Denis yang kembali kesal. "Lo pasti begadangan terus buat jagain nyokap lo, kan?" lanjut Denis bertanya.
"Lo tahu Den, nyokap gua baru sadar dari komanya. Jadi, gua pingin selalu ada di samping dia," jawab Zia dengan suara sedihnya.
"Tapi kan, enggak sampai begadangan terus kali Zi. Nyokap lo enggak akan kemana-mana kalau lo tidur," ucap Denis.
"Gua tahu. Gua cuma takut kehilangan dia tiba-tiba. Bertahun-tahun dia koma dan sekarang dia baru bangun. Tentu aja gua takut kalau ada apa-apa sama nyokap gua setelah dia bangun," ucap Zia dengan wajah sedihnya.
Denis berdiri dari duduknya kemudian ia duduk di pegangan sofa yang sedang di duduki Zia. Ia menarik kepala Zia dan memeluknya. Tangan Zia pun melingkar di pinggang Denis dan isakan kecil mulai terdengar dari bibir Zia. Kia datang dengan makanan, minuman serta obat untuk Zia. Ia mengernyitkan dahinya melihat Zia yang sedang menangis di dalam pelukan Denis.
Kia meletakkan bawaannya ke meja sofa kemudian mendudukkan dirinya di tempatnya tadi duduk. Ia menatap Denis dengan tatapan mata bertanya "Kenapa?"
"Mama," ucap Denis yang hanya menggerakkan mulutnya saja.
Hanya satu kata, tetapi Kia mengerti apa yang di maksud dengan Mama. Pasti Zia menangis karena mamanya. Ia pun menatap sedih pada Zia. Tidak ada yang tahu sekuat apa Zia menghadapi permasalahan keluarganya. Ia anak gadis satu-satunya di keluarga, tetapi papanya tidak pernah peduli padanya. Begitupun dengan kakak-kakaknya karena merasa kelahiran Zia hanyalah petaka di keluarganya.
Ngomong-ngomong jika ada yang bertanya ke mana keluarga Kia. Papa dan Mamanya sedang berlibur ke Bali dengan adiknya yang baru saja lulus sekolah SMP. Sebagai hadiah karena bisa lulus dengan nilai terbaik, Papa dan Mamanya mengajak adiknya berlibur ke manapun yang adiknya mau. Kia yang kuliah tidak bisa ikut, itu sebabnya ia hanya di rumah dengan pembantunya saja.
Suara tangisan Zia mulai meredah, perlahan Zia mengurai pelukannya dan mendongak menatap Denis. "Maaf ya, basah," ucap Zia seraya menyedot ingusnya.
"Jorok amat si, Zi. Buang kenapa?" tanya Denis menatap malas Zia.
"Ini," ucap Kia seraya menyodorkan kotak tisu pada Zia. Zia menerimanya kemudian ia mulai mengelap wajahnya yang basah dengan air mata dan membuang ingusnya. Denis sudah berdiri dan duduk di samping Kia.
"Jangan nangis terus Zi, lo bisa-bisa drop kalau kayak begini terus," nasehat Kia.
"Hum," jawab Zia yang hanya berdehem saja.
"Ham- hem, ham-hem, aja lo kalau di kasih tahu!" kesal Denis menatap malas Zia.
"Kayak yang ngomong enggak!" cibir Kia menatap malas Denis.
"Ya, ya, ya… Kita kan sepaket," ucap Denis malas kemudian ia akan mengambil piring nasi Zia.
"Eh, itu untuk Zia, bukan untuk lo! Kalau lo mau, ambil sendiri di belakang!" ucap Kia seraya memukul bahu Denis.
"Gua cuma ngambilin, bukan mau makan!" kesal Denis menatap Kia.
"Ya, kalau-kalau kan, lu mau makan. Tadi malu mau nambah lagi."
"Dih, kapan gua pernah malu."
"Dih, ngaku dia kalau enggak punya malu. Hahahah…" tawa Kia kemudian Denis memasukkan kacang yang ia ambil dari dalam toples barusan ke mulut Kia. Kia tersedak hingga kacang di dalam mulutnya itu ke luar.
Kini giliran Denis yang tertawa sedangkan Zia hanya tersenyum saja melihat kelakuan sahabat-sahabatnya ini yang ada saja kelakuannya. Dari semua sahabatnya itu, Zia dekat semuanya. Tidak ada yang tidak tahu tentang keadaan mama Zia yang koma dan semua itu hanya mereka bertiga yang tahu. Orang tua mereka tidak tahu ke adaan sebenarnya Mama Zia. Yang mereka tahu, Mama Zia baik-baik saja dan ia aktif di beberapa kegiatan sosial.
Ya, Mama Zia yang di ketahui publik adalah kakak kembar Mama kandungnya. Mereka menikah karena Papanya tidak mau ada kecacatan di dalam keluargnya. Itu sebabnya ia menutupi apa yang terjadi dengan Mama Zia yang koma sewaktu melahirkan Zia itu dengan menikahi kakak kembar Mama Zia yang sudah berstatus janda karena suami dan anak-anaknya meninggal sewaktu ia kecelakaan.
Kakak Mamanya itu menyayangi Zia, bahkan yang Zia tahu jika Mamanya itu adalah Mama Attaya yang ini. Namun, ternyata wanita yang mengurusnya saat ini bukanlah Mama kandungnya. Zia mengetahui kebenarannya ini ketika ia duduk di bangku SMA. Saat itu Papanya pulang malam karena ada kerjaan. Mamanya seperti biasa menunggu di ruang keluarga sampai ketiduran. Zia menuruni tangga untuk membuat makanan karena perutnya terasa lapar. Ia tadi mogok makan karena Papanya tidak datang ke acara ulang tahunnya padahal acara ulang tahunnya hanya di adakan kecil-kecilan saja di rumah.
"Mas, kenapa baru pulang lagi?" tanya Attaya saat itu. Attaya yang berstatus bukan Attaya sesungguhnya.
"Berisik banget sih kamu! Atta saja tidak pernah seberisik ini jika aku pulang malam!" marah David kala itu.
"Aku hanya khawatir Mas. Mas selalu pulang malam, itu enggak baik bagi kesehatan mas."
"Kamu enggak usah peduli sama saya! Cukup kamu itu menjadi Attaya Mama dari anak pembawa sial itu!"
"Mas! Cukup! Zia bukan anak pembawa sial. Enggak ada anak di dunia ini yang membawa sial!" marah Attaya saat itu.
"Denger Attafia! Attaya koma bertahun-tahun karena melahirkan anak sialan itu. Untuk menjaga semuanya tetap stabil, saya harus menikahi kamu!"
"Aku enggak pernah meminta Mas menikahiku. Mas sendiri yang meminta padaku untuk membantu menjaga Zia dan untuk sementara akan mengganti Attaya menjadi istri Mas. Tapi apa yang Mas lakukan? Mas selalu mengutuk Zia pembawa sial! Jika Attaya tahu, ia pasti akan sedih!" marah Attafia pada David. Zia yang berdiri di balik tembok menuju ke arah dapur hanya mampu terdiam seraya menutup mulutnya rapat-rapat agar tangisanya tidak ke luar.
TBC.... UWOW... BARU PART 6 KONFLIK KELUARGA SUDAH MUNCUL GUYS... WKWKWKW...