Artawehono Mulyo, seorang pria yang berpenampilan biasa. Ia kuliah karena ingin meningkatkan taraf hidupnya kelak, meskipun harus menyambinya dengan pagi-pagi sekali dia harus ke pasar sebagai kuli ikan, lalu malam hari ia harus jualan lagi demi bisa membayar kuliahnya. Sebenarnya orang tua sudah menyerah dan meminta maaf untuknya karena tidak bisa membantu biaya kuliah Arta, tapi Arta bertekad kuat ia tidak ingin berpangku tangan dengan nasib. Ia tahu orang tuanya sudah sangat berusaha maksimal untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ayahnya bekerja sebagai kuli bangunan, dan ibunya seorang buruh tukang cuci, kadang juga masak-masak ditetangga. Dia merasa sebagai anak pertama yang memiliki tanggung jawab lebih untuk membantu tiga adik-adiknya yang masih sekolah SMA, SMP, dan SD itu.
Arta sering juga dibantu oleh adiknya Wiguna, yang masih kelas sepuluh itu di pasar. Selain sesama lelaki juga sudah mulai besar dan mengerti adiknya itu. Masih ada dua adiknya yang masih SD, Santi dan Rifki. Mereka masih harus diayomi dan diperhatikan dengan maksimal, jadi tak mungkin mereka diminta bantu-bantu cari uang.
Beruntung keluarga ini memiliki ketaatan beragama yang cukup baik, sehingga mereka semua mampu menjalani kehidupan mereka dengan bahagia dan berusaha tak mengeluh sedikitpun.
Mereka bahu-membahu bersama untuk mewujudkan kebahagiaan keluarganya.
Rumah yang asri dan nyaman tidak melulu karena kemewahan dan kemegahan bangunannya. Rumah asri Arta yang terletak di dekat area sawah di kelilingi oleh pohon-pohin bambu milik keluarga arta jauh dari kata mewah, bahkan bisa dikatakan rumah sangat sederhana sekali. Bangunan yang sudah berusia puluhan tahun dan nampak lawas itu tidak mengurangi sedikitpun rasa berterima kasih kepada Sang Pencipta atas tempat bernaungnya itu.
Sang Ayah yang sebagai kuli bangunan mengemas dengan apiknya rumah lawas itu. Kebersihan yang dipampangkan adalah sangat nyata, cat tembok yang selalu diperbarui satu tahun sekali setiap hari kemerdekaan indonesia, 17 Agustus.
di depan rumahnya berhiaskan pot dan bunga-bunga sungguhan kesukaan Ibu Arta yang telaten dalam merawatnya. Suasana pedesaan dengan sejuknya aroma persawahan menambah nyaman dan tentramnya hati penghuni rumah itu.
Semua anak-anaknya tidak pernah membantah bila dikerahkan untuk menjaga kebersihan rumah. Mereka saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain.
Pak Darto dan Bu Sulami adalah Ayah dan Ibunya Arta, Artawehono Mulyo adalah nama dirinya, adik laki-lakinya yang kelas sepuluh adalah Arif Wiguna mulyo, ada adik perempuannya yang kelas enam SD bernama Santi dewi mulia. Kemudian adik terakhirnya yang bernama Rifki Romadhoni, Rifki beda sendiri karena dilahirkan pada bulan Romadhonm Bulan Mulia bagi umat Islam seluruh alam.
Artawehono Mulyo sendiri adalah dalam bahasa Jawa dijelaskan, Arta adalah arto disebut juga uang, harta. Wehono adalah dikasih atau diberikan, Mulyo adalah kemuliaan, jadi nama ibarat adalah doa.
Doa kedua orang tua Arta adalah agar anaknya hidup dalam kemuliaan, berkecukupan rizki yang diberikan oleh Tuhan. Karena ia sangat memahami makna dari namanya, maka Arta dari kecil memang getol untuk berusaha membantu orang tua.ย Dia tidak pernah malu dengan teman-temannya jika ia jualan apa, di masa sekolahnya. Membantu ibunya mencuci dan menjemur cucian adik-adiknya juga.
jadi mereka semua sudah terbiasa dari kecil untuk giat berusaha dan giat bekerja. Begitu juga sekarang adik-adiknya ia ajari dan ia contohkan untuk selalu membantu daan menyayangi orang tuanya.
"Arta ... hai," sapa Fifi yang lewat depan rumahnya.
"Hai Fi, habis antar sayur ya?" jawab Arta masih bersih-bersih kaca jendela rumahnya.
"Iya!" balas Fifi lagi sambil berlalu melajukan motornya. Fifi adalah tetangga yang enggak begitu jauh dari rumahnya. Meskipun rumah Fifi jauh lebih bagus dari rumah Arta, tapi Fifi tetap mau berteman dengan Arta sejak kecil. Mereka sering ketemu di pasar, di sungai dan di jalan manapun selama masih di desa Sukonoto itu.
Mereka juga sama-sama kuliah di Universitas Madalaya, Kota Morotuwo, yang berjarak kurang lebih tiga kilometer saja dari desa mereka. Jadi mereka sangatlah dekat dalam segala hal.
meskipun mereka berdua berasal dari sekolah SMA yang berbeda pada waktu itu.
"Arta, Ibu ke rumah Bu Rista dulu ya, disana diminta masak besar, nanti jam duabelas siang kamu kesana saja ya? makan disana sama nanti aku bungkusin buat adik-adikmu," pamit Ibunya hendak bekerja membantunpara tetangga.
"Enggeh Bu, nanti saya kesana," balas Arta
Kalau Ayah Arta jam segini ya sudah pasti berangkat kerja, ia pagi-pagi sekali sehabis shubuh kadang berangkat dan pulangnya menjelang maghrib untuk membantu proyek-proyek pembangunan yang dihadirkan oleh bosnya.
Adik-adik Arta juga semua sudah mandiri, jadi jam segini juga sudah pada rapi, dari pagi saling antri mandi dan menyiapkan semuanya sendiri. Karena keluarga ini adalah keluarga mandiri dan menerapkan atau melatih kemandirian anak-anak mereka sejak dari kecil.
"Kak, kita berangkat sekolah dulu ya kak?" pamit adik-adim Arta.
"Sudah sarapan, kan?" sahut Arta.
"Sudah kak, ada semur masakan Ibu kemarin masih enak, ada tempe goreng dan ikan asin," kata Wiguna sambil mengeluarkan sepedanya.
"Iya, nanti aku sarapan setelah selesai ini, hati-hatu ya, Dek?" ucap Arta kepada adiknya sambil mengelap kaca jendela rumah.
Wiguna yang jelas sepuluh SMA memakai sepeda sendiri, jarak ke sekolah yang cukup jauh karena membuat Wiguna berangkat pagi-pagi.
Sedangkan Santi dan Rifki yang masih kelas SD itu berboncengan dengan satu sepeda karena memang mereka sekolah di tempat yang sama, Santi kelas enam SD dan Rifki kelas empat SD.
Suasana rumah menjadi sepi sepeninggal semuanya menjalani rutinitas sehari-hari, sedangkan Arta masuk kuliahnya adalah siang. Dia merasa kaca yang di lapnya itu sudah sangat mengkilap. Dia bisa berkaca dan mendekatkan wajahnya itu.
"Humm ... jerawat lagi, kanan kiri pipi, kening ... semua isi jerawat, kapan ya aku ganteng? Kapan ya aku bisa dapat gebetan? Melas amat seumur hidup menjomblo aku nih." Dia mengusap-usap pipinya yang berjerawat. Hampir tak ada waktu atau biaya untuk merawat diri. Apalagi merawat muka? Paling bisa mandi, cuci muka dengan sabun mandi saja. Itu sudah bagus untuk dia.
Ia merasa tak pernah bisa tersampaikan cintanya, palingan dia hanya mampu bertepuk sebelah tangan, memendam rasa atau ya mundur alon-alon karena tak percaya diri mengungkapkan perasaannya. Dia sadar diri siapa dirinya? Dan dia punya apa? Mana ada cewek yang tertarik dengan dirinya?
"Ah biarin lah, paling pas sudah lulus kuliah terus kerja nanti baru aku agak gantengan." Ia segera meninggalkan kaca-kaca jendela yang sudah bersih itu. Ia masuk ke rumahnya berniat untuk sarapan makanan kemarin yang dibuat Ibunya.