Chereads / Skills Master - The Original Skills / Chapter 17 - Aku Mempercayaimu

Chapter 17 - Aku Mempercayaimu

Emily POV

Ini hari keempat, di mana aku menghabiskan hari-hari di sekolah tanpa Elliot. Aku benar-benar ingin segera bertemu dengannya. Lalu tiba-tiba sepasang tangan menutup mataku dari belakang dan kemudian terdengar sebuah suara yang tidak asing lagi di telingaku.

"Coba tebak siapa?"

Pemilik suara itu menanyakan hal itu padaku. Mana mungkin aku tidak tahu siapa pemilik suara ini. Aku sangat mengenalnya karena pemilik suara inilah yang selama tiga hari ini selalu aku rindukan.

"E-Elliot, kan?"

"Waah, tepat sekali. Apakah kau memiliki mata di belakang kepalamu, Emily? Bagaimana kau tahu kalau ini aku?"

Lalu dia melepaskan tangannya yang menutupi mataku, aku pun segera membalikkan badan ke arahnya. Di sanalah Elliot berdiri, tepat di belakangku. Dengan senyuman khasnya yang sangat aku rindukan. "Huuh, ke mana saja kau selama ini? Setelah tiga hari pergi tanpa pernah sekali pun menghubungiku. Aku benar-benar marah padamu!!"

Dia menanggapi gerutuanku ini dengan santai, suara kekehannya mengalun merdu di telingaku. "Waah, maaf, maaf. Selama tiga hari ini aku terus memfokuskan konsentrasi, karena itu aku tidak sempat menghubungimu. Tolong maafkan aku, Emily!"

"Memangnya ada apa sampai kau harus memfokuskan konsentrasimu?"

Dia tertegun seolah ragu untuk menjawabnya. "Ti-Tidak ada apa-apa kok ... hahaha ... ngomong-ngomong, sepertinya kita harus berlari kalau tidak mau terlambat sampai di sekolah."

Sekali lagi aku bisa merasakan Elliot dengan sengaja mengalihkan pembicaraan kami. Sepertinya dia benar-benar tidak mau memberitahukan masalahnya padaku.

***

Sesampainya di sekolah, aku merasa telah terjadi sesuatu karena banyak sekali orang-orang yang berkerumun di suatu tempat. Aku tahu betul tempat apa itu, itu adalah tempat di mana terdapat papan mading. Biasanya papan mading itu selalu digunakan untuk tempat ditempelkannya sebuah pengumuman penting dari sekolah. Lalu aku melihat seorang gadis keluar dari kerumunan orang-orang itu dan gadis itu berlari menghampiriku. Aku tahu betul siapa gadis itu, dia adalah Alice … sahabatku.

"Hei, Emily, apa yang telah terjadi? Siapa pria itu?"

Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Alice. "Apa maksudmu, Alice? Aku tidak mengerti."

"Kalau begitu lihatlah ke sana!"

Dia berkata seperti itu sambil menunjuk ke arah di mana orang-orang sedang berkerumun. Lalu aku dan Elliot yang berada di sampingku mulai melangkahkan kaki kami menuju tempat orang-orang berkerumun itu.

Betapa terkejutnya aku, di mading tertempel banyak sekali fotoku dengan seorang pria. Aku mengenal pria itu, karena baru satu hari yang lalu aku bertemu dan berkenalan dengan pria di foto itu. Pria yang ada di foto itu adalah Ciel, pria yang meminta bantuanku untuk mencari sebuah alamat.

Bagaimana bisa ada fotoku dengan dia tertempel di mading ini dan yang lebih membuatku kesal, di foto-foto itu aku terlihat begitu dekat dengan Ciel? Aku yakin orang yang salah paham melihat foto itu akan menganggap bahwa aku sedang berpacaran dengan Ciel. Lalu aku pun menoleh ke samping. Aku melihat ke arah Elliot. Matanya sedang menatap foto-foto itu.

Aku sama sekali tidak peduli sekalipun semua orang salahpaham pada foto itu, asal jangan Elliot. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika dia pun salah paham dan lebih percaya pada foto-foto itu dibandingkan perkataanku. Aku sangat takut setelah melihat foto-foto itu, Elliot akan berubah dan menjauhiku.

"Hai, Emily, ini kau, kan? Siapa pria di foto ini? Apa dia pacar barumu?"

"Bukankah kau sedang berpacaran dengan Elliot? Jangan bilang kau berselingkuh dengan pria ini?"

"Atau mungkin kalian berdua sudah putus ya ... kyaaaa ... baguslah ... berarti aku masih memiliki kesempatan untuk bisa berpacaran denganmu, kan, Kak Elliot?"

Perkataan-perkataan itu berasal dari tiga orang gadis yang ikut berkerumun. Sepertinya mereka semua memang salahpaham setelah melihat foto-foto itu.

"Ayo, kita pergi ke kelas, Emily. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi!"

Setelah mengatakan itu, Elliot pergi meninggalkan kerumunan menuju kelas kami. Aku pun mengikutinya di belakang.

Aku tidak tahu apa yang sedang Elliot pikirkan saat ini. Sejak melihat foto-foto tadi, dia sama sekali tidak mengatakan apa pun. Sikapnya tetap sama seperti biasanya, seakan-akan tidak ada hal apa pun yang terjadi. Aku benar-benar tidak tahan melihat kediamannya. Aku ingin bertanya pendapatnya, aku ingin tahu apa yang dia rasakan sekarang setelah melihat foto-foto itu. Sejujurnya aku lebih senang kalau dia marah-marah padaku, atau memaki-maki aku, setidaknya dengan begitu aku akan tahu bagaimana perasaannya. Tidak diam seperti ini. Perasaan bingung, takut, cemas, gelisah dan sedih bercampur jadi satu kurasakan saat ini.

***

Kami pun seperti biasa makan siang bersama di tempat yang sama seperti hari-hari biasanya.

"Hm, aku merindukan memakan masakanmu ini, Emily."

Elliot mengatakan itu sambil melahap makanan yang ada di tangannya. Aku sudah tidak kuasa lagi menahan perasaan ini, lalu aku pun memberanikan diri untuk bertanya padanya.

"E-Elliot ... kenapa kau diam saja? Kau sama sekali tidak bertanya tentang foto-foto itu? Tidak apa-apa kalau kau ingin bertanya, bertanyalah. Aku pasti akan menjawabnya, aku janji tidak akan merasa tersinggung." Tapi Elliot tetap diam bahkan setelah aku mengatakan itu padanya. Aku merasa sangat sedih. Lalu tiba-tiba Elliot berdiri ... aku pun melihat ke arahnya.

"Ayo, bermain sepak bola, Emily!"

Keningku mengernyit dalam, tak memahami maksud ucapannya. "Haaah ... be-bermain sepak bola, kenapa?"

"Sudahlah, kau ikut saja denganku," katanya seraya menyengir lebar seperti biasa.

Dia menarik tanganku dan membawaku ke lapangan sepak bola yang sedang sepi karena di jam istirahat makan siang seperti ini, tentunya siswa yang lain memilih mengisi perut di kantin alih-alih berpanas-panasan di lapangan sepak bola.

"Ayo, kau yang tendang bolanya duluan, Emily. Aku akan menjaga gawangnya. Siapa yang paling banyak memasukan bola ke gawang dia pemenangnya, OKE?"

Aku hanya bisa diam seribu bahasa, aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan Elliot.

"Emily, kalau aku berkata 'oke' kau harus ikut mengatakan 'oke', ucapkan dengan semangat ya, OKE!!"

"O-Oke," sahutku, menurutinya.

"Sudah aku bilang kan kau harus mengatakannya dengan semangat, kita tidak akan mulai bermain sepak bolanya kalau kau masih belum bisa mengatakan 'oke' dengan semangat, OKE!"

Aku pun akhirnya berteriak "OKE!!"

Elliot tersenyum padaku dan mulai berbicara lagi, "Baiklah. Ayo, mulai tendang bolanya."

Ketika aku hendak menendang bola, tiba-tiba Elliot berteriak, "Tu-Tunggu dulu! Beritahu aku ke arah mana kau akan menendang bolanya, kiri atau kanan?"

Aku benar-benar melongo mendengar ucapannya. "Haah? Kenapa aku harus memberitahumu? Bukannya itu curang. Kau pasti bisa menangkap bolaku kalau aku memberitahukannya padamu."

"Sudahlah, beritahukan saja."

Aku merasa Elliot sangat aneh. Lalu terlintas sebuah ide di kepalaku. "Aku akan menendang ke arah kanan."

"Kanan? Baiklah. Kanan, ya? OKE!!"

Lalu aku kembali berteriak, "OKE!!" Aku pun mulai menendang bola. Aku memang mengatakan pada Elliot akan menendang ke arah kanan, tapi sebenarnya aku akan menendang ke arah kiri. Aku yakin Elliot juga menyadarinya, tidak mungkin dia akan percaya begitu saja kalau aku akan menendang ke arah kanan. Aku tahu dia tidak sebodoh itu. Lalu aku menendang bola yang berada di kakiku ke arah kiri gawang. Tapi Elliot, dia melompat ke arah kanan dan bolaku pun masuk ke dalam gawang.

"Yeaah, aku menang!" Aku berteriak dengan riang.

"Haah, kau curang. Tadi kau bilang mau menendang ke arah kanan tapi malah ke arah kiri. Ayo, gantian sekarang giliranku yang menendang."

Lalu aku pun bertukar posisi dengannya.

"Aku akan menendang ke arah kirimu, Emily"

"Kiri, ya? OKE!"

"OKE!!"

Setelah berteriak mengatakan OKE, Elliot bersiap menendang bola. Aku yakin dia pasti menipu untuk mengecohku. Sebenarnya dia akan menendang ke arah kanan supaya bola yang dia tendang masuk ke gawangku. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.

Lalu aku pun melompat ke arah kanan dan ...

Bola yang ditendang Elliot ternyata masuk ke gawangku, dia benar-benar menendang ke arah kiri.

"Haah ... padahal sudah aku bilang aku akan menendang ke kiri, sepertinya kau tidak mempercayaiku, ya, Emily?"

"Huuh ... kau pikir aku sebodoh itu? Aku tahu kau berniat mengecohku."

"Tapi kau lihat sendiri, kan? Aku benar-benar menendang ke arah kiri."

"Sudahlah. Ayo, kita gantian posisi lagi." Sepertinya aku mulai menikmati parmainan sepak bola ini. Sekarang aku mengerti alasan anak laki-laki senang sekali bermain sepak bola. Ternyata rasanya sangat menyenangkan, ketika aku berhasil memasukkan bola yang aku tendang ke dalam gawang.

"Sekarang kau akan menendang ke arah mana, Emily?"

"Haaah? Haruskah aku memberitahukannya lagi padamu?"

"Sudah jelas, kan?!!"

Aku memutar bola mata, apa-apaan dia. Aneh sekali pemikiran Elliot. Tapi toh, tetap kuturuti juga keinginannya. "Huuuh, dasar! Hm, kali ini aku akan menendang ke arah kiri."

"Kiri, ya? OKE!! Aku harap kali ini kau tidak menipuku."

"Hahaha ... coba saja kau tebak sendiri, aku menipumu lagi atau tidak kali ini." Aku mengatakan itu sambil menjulurkan lidah, tanda aku sedang mengejeknya.

Aku pun bersiap-siap untuk menendang bola. Aku yakin tipuan seperti tadi tidak akan mempan lagi padanya, karena Elliot sekarang sudah mengetahui tipu muslihatku. Dia pasti mengira aku akan menipunya lagi seperti tadi dan tidak akan ada orang yang dengan bodohnya melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, tentu saja termasuk Elliot.

Lalu aku putuskan untuk tidak menggunakan trik menipu lagi kali ini. Aku benar-benar menendang ke arah kiri seperti yang aku katakan tadi pada Elliot.

Bola pun meluncur ke arah gawang, tapi aku melihat Elliot melompat ke arah kiri dan bolaku berhasil ditangkapnya. "Aaaaaah! Kenapa kau berhasil menangkap bolaku?"

"Bukankah tadi kau sendiri yang memberitahuku kalau kau akan menendang ke arah kiri? Tentu saja aku akan melompat ke kiri."

Aku mengerucutkan bibir, merasa kesal. "Huuuh, benar-benar menyebalkan. Seharusnya aku menendang ke arah kanan tadi. Lagi pula, kau itu aneh, Elliot. Masa aku bilang akan menendang ke arah kanan, kau melompat ke kanan? Aku bilang akan menendang ke arah kiri, kau pun melompat ke arah kiri? Aku tidak tahu apakah kau melakukan hal itu karena menganggap aku amatir yang tidak bisa menyusun rencana? Walaupun aku tidak berpengalaman bermain sepak bola, tapi aku tidak sebodoh itu. Aku juga ingin menang jadi pasti aku akan memikirkan suatu cara supaya aku bisa memasukan bolaku ke dalam gawangmu. Mengelabuimu tadi adalah satu-satunya cara yang terpikirkan olehku. Haah ... tapi kau ini sangat aneh, Elliot."

Aku berkata seperti itu sambil menghela napas.

"Aku percaya. Ketika kau bilang akan menendang ke arah kanan, aku percaya kau akan menendang ke kanan. Begitu pula sebaliknya, ketika kau bilang akan menendang ke arah kiri, aku pun percaya kau akan menendang ke kiri. Aku percaya pada semua yang kau katakan. Termasuk mengenai foto-foto itu juga, kalau kau bilang 'tidak', maka aku akan percaya."

Dia mengatakan itu sambil menatap lurus ke mataku. Aku tidak melihat kebohongan atau pun keraguan di matanya yang hitam pekat. Aku benar-benar terharu sekaligus bahagia ternyata Elliot selalu mempercayaiku. Tanpa berpikir panjang atau mempedulikan akan ada orang lain yang melihat kami, aku pun berlari ke pelukannya.

"Aku tidak melakukannya, sungguh ... aku bahkan tidak tahu kenapa bisa ada foto-foto seperti itu. Percayalah padaku." Air mataku mengalir dengan deras dan membasahi seragam sekolah Elliot.

Dengan lembut Elliot membalas pelukanku sambil mengelus kepalaku. "Sudah jelas kan, aku percaya padamu."

Aku pun semakin mempererat pelukanku. Sungguh, aku begitu bersyukur memiliki kekasih seperti Elliot.