Chereads / My Favorite Problem / Chapter 9 - Part 8 : Percobaan Bunuh Diri

Chapter 9 - Part 8 : Percobaan Bunuh Diri

Sepulang sekolah, Nathan terus berusaha membujuk Nayla. Cewek cantik itu masih memasang wajah kesal pada Nathan.

"Nay, ayolah, aku minta maaf," Nathan sudah memelas. Tapi Nayla masih saja mengacuhkannya.

"Naaayyy," panggilnya lagi.

"Oke, aku akan buat kamu maafin aku. Liatin aja," kata Nathan. Nayla memandangnya penuh tanya, apa yang mau dia lakuin? Tanya Nayla dalam hati, tapi akhirnya dia angkat bahu, masa bodo dengan Nathan, dan terus berjalan dengan acuh tak acuh menuju gerbang sekolah.

Ternyata Nathan berlari menyusuri tangga demi tangga, melewati kelas demi kelas, hingga sampailah dia di roof top sekolah yang berada di lantai 3.

"WOY, KALIAN SEMUA LIAT SINI, DENGERIN GUE," Nathan berteriak nyaring di atap.

Sebagian siswa yang masih berada di area sekolah berkumpul seketika, ingin tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Nay, Nayla," Fanny datang tergopoh-gopoh menghampiri Nayla yang sedang berdiri di gerbang menunggu jemputan.

"Kenapa, Fan?" Tanya Nayla keheranan.

"Nathan, Nay. Nathan ... " Fanny terbata-bata karena hampir kehabisan nafas.

"Tenang dulu, tarik nafas, ngomong pelan-pelan," Nayla sangat terkesima melihat tingkah Fanny.

"Nathan, Nay. Dia ada di roof top sekarang," wajah Fanny sangat tegang di barengi dengan nafasnya yang terengah-engah seperti habis di kejar-kejar hantu.

"Iss, Fanny, kenapa harus panik banget sih, paling dia cuma mau cari sensasi," Nayla setengah mencibir, bola matanya menunjukkan kalau dia benar-benar malas berurusan dengan Nathan.

"Enggak, Nay. Ini serius. Katanya dia mau bunuh diri," Fanny memasang wajah yang sangat meyakinkan, dengan sorot mata yang sangat cemas.

Mata Nayla terbelalak, "apa, bunuh diri? Gila kali ya, itu anak," dia geleng-geleng kepala, tak habis pikir.

"Ayo mangkanya, Nayla harus liat," Fanny menarik tangan Nayla menuju ke tempat di mana para siswa berkumpul.

"Nathan, lagi ngapain kamu teh di situ, eleuh-eleuh," Tarno berteriak cemas dari bawah.

"Woy, Nathan, kalo Lo mau viral, ajak-ajak gue Napa," celetuk Jojo.

"Ih, kamu mah ya, itu si Nathan jangan-jangan beneran mau bunuh diri," Tarno menggeplak bahu Jojo.

Dari atas sana, Nathan memberi isyarat kepada Tarno dan Jojo, tapi tak ada satupun yang mengerti. Akhirnya, Nathan mengirimkan sebuah chat singkat pada Tarno;

"Tar, Lo sama Jojo, siapin kain atau matras atau apa kek, supaya pas gue lompat, gue gak akan kenapa-kenapa. Jujur, gue belom siap MATI!!" Begitulah isi pesan itu. Nathan berharap Tarno akan segera membacanya.

Mata Nathan menangkap seseorang yang sejak tadi dia tunggu-tunggu. Nayla sekarang berdiri di samping tiang basket bersama Fanny di sampingnya.

"Perhatian semuanya, gue Nathaniel Michiavelly minta maaf yang sebesar-besarnya sama Nayla Laurienz Fransisco. Gadis cantik yang udah bikin gue tergila-gila, orang yang paling gue sayang," kata Nathan dengan begitu menggebu-gebu, seperti Ir. Soekarno yang sedang menyampaikan proklamasi kemerdekaan.

Tentu saja para siswi merasa sangat baper melihat tingkah Nathan pada Nayla.

"Aww, Nathan, sweet deh,"

"Rasa ingin menjadi Nayla,"

"Beruntung banget Nayla, dulu Arkan yang mati-matian jagain dia, sekarang Nathan. Dua-duanya ganteng lagi,"

Begitulah celotehan para siswi yang terinfeksi virus baper cap Nathan. Tapi, Nayla justru menatap tajam ke arahnya, dia merasa kalau sikap cowok rese itu sungguh sangat kenak-kanakan. Nathan membalas tatapan Nayla, Nathan sadar masih ada kemarahan pada sorot mata Nayla.

"Kalo Nayla gak maafin gue, gue bakalan loncat dari sini," kata Nathan sambil berjalan sedikit demi sedikit menuju ujung bangunan. Kakinya bergetar, dia menelan ludah berkali-kali. Sebenarnya, Nathan sangat takut, dia tidak benar-benar ingin mati karena cinta. Sialnya lagi, Tarno masih belum juga membaca pesannya, Tarno dan Jojo justru malah sibuk berpelukan di bawah sana.

"Aduh, Nathan. Masa umurmu hanya sampai 17 tahun," kata Tarno

"Nathan Lo kan belum nikah. Masa mau meninggal sekarang," tambah Jojo sambil berlagak sedih.

"Nay, tuh kan, Fanny bilang juga apa, Nathan mau bunuh diri," Fanny ikut cemas.

Mendengar itu, anak-anak yang lain pun tampak saling berbisik pada teman di sebelahnya. Beberapa orang ada yang sampai menghujat Nayla.

"Nayla, egois banget sih jadi cewek. Lo mau bikin Nathan meninggal juga kaya Arkan," begitulah anggapan mereka terhadap Nayla.

Terdengar gemeretuk dari gigi Nayla yang saling beradu, menandakan bahwa dia sedang menahan rasa kesal yang teramat sangat.

Tapi, sesuatu tiba-tiba melintas dalam pikiran Nayla, mendengar kata meninggal, mengingatkan Nayla akan satu hal.

Mungkin kalau Nathan jatuhnya ke tanah dia hanya akan mengalami patah tulang, mengingat ketinggiannya hanya sebatas gedung lantai 3. Tapi, naasnya di bawah sana banyak sekali batu-batu besar dan besi lancip bekas pembangunan lantai 3 yang memang masih terbilang baru itu. Jika berbenturan dengan kepala Nathan, tentu saja kepalanya akan bocor bahkan pecah, darah akan mengalir, tumpah ruah di atas tanah. Nathan akan mengerang kesakitan dan terakhir dia akan meregang nyawa. Sama persis seperti yang Arkan alami malam itu.

"Aaahh, Nggak!!!" Nayla berteriak sambil menutup telinganya, nafasnya memburu dengan cepat, dia sampai terengah-engah, matanya memanas sampai menjatuhkan buliran air bening, tenggorokannya terasa tercekik, kakinya bergetar.

"Nay, Nayla," Fanny menahan tubuh Nayla yang mulai lemas.

"Enggak, gue gak bisa ngeliat kejadian kaya gitu lagi," ucap Nayla di iringi Isak tangisnya.

"Kejadian apa, Nay? Nayla kenapa, jangan bikin Fanny takut," Fanny benar-benar panik, kebetulan Jessy sudah pulang lebih dulu, jadi hanya tinggal Fanny yang masih ada di sana menemani Nayla.

"Nathan, gue maafin Lo. Cepet turun, gue mohon," Nayla akhirnya terduduk lemas di tanah dengan tangan memohon di depan dada. Kini semua mata tertuju pada dirinya.

"Yess, I love you, Nayla," Nathan merentangkan tangan kegirangan, dia senang karena akhirnya dia tidak jadi mati, lebih senang lagi karena melihat Nayla sampai memohon seperti itu hanya karena khawatir padanya.

"Dari tadi kek, gausah pake dramatis kaya gini,"

"Huuuhh," yang lain ikut bersorak. Tontonan yang tadi sangat menegangkan sudah berakhir, mereka pun bubar dengan sendirinya.

"Nathan, udah sia teh geura turun," teriak Tarno.

"Ok, gue meluncur," Nathan berlari menuruni anak tangga, ketika sampai di bawah, Nathan langsung menghampiri Nayla yang masih menangis, tanpa menghiraukan Tarno dan Jojo yang berlarian ingin memeluknya.

"Nay, ya ampun, aku gak nyangka ternyata sampe segininya kamu khawatir sama aku," Nathan berjongkok di depan Nayla.

Ingin rasanya Nayla menampar wajah tampan itu, merusaknya hingga buruk rupa. Nayla sebenarnya sangat kesal, tapi rasa trauma itu membuatnya sangat lemas, sampai tak kuasa untuk berbicara.

"Udah, Nathan, cepet anterin Nayla pulang. Kasian, dia lemes banget," Fanny masih memegangi pundak Nayla.

"Iya, gue anterin pulang sekarang," Nathan mengambil alih Nayla dari tangan Fanny, membopongnya hingga menuju ke mobil.

"Hati-hati ya, Nay. Nathan jagain Nayla," ujar Fanny.

"Makasih ya, Fan," kata Nayla pelan.

Sepanjang perjalanan tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Nayla. Dia bungkam seribu bahasa. Meskipun, Nathan berusaha memancingnya sampai berbusa, Nayla tetap diam.

"Nay, aku tau kamu khawatir banget sama aku. Tapi, liat kan, aku baik-baik aja. Jadi udah ya, sedihnya. Aku Cuma mau kamu maafin aku, udah itu aja," tapi Nayla masih tak bergeming. Dia malah mengalihkan pandangannya keluar jendela.

Mereka sampai di rumah Nayla. Sebuah rumah yang besar bergaya modern, dengan bunga-bunga yang menghiasi sepanjang pekarangan rumah. Nayla masuk ke dalam. Rumah besar itu memang selalu sepi, terlebih saat ini, Gerald sedang di kantor dan pembantu rumah tangganya sedang mengambil cuti sakit.

"Om Gerald ke mana, Nay?" Nathan kembali membuka pembicaraan.

"Di kantor," jawab Nayla singkat.

"Oh iyaya,"

"Duduk, gue ke kamar dulu," kata Nayla seraya menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Nayla masuk ke kamar berukuran besar, dengan seperangkat meja belajar dan juga sofa, serta tempelan-tempelan kertas warna warni berisikan motivasi karyanya sendiri. Dia melemparkan tasnya ke sembarang arah. Lalu merobohkan dirinya di atas kasur berukuran big size berwarna biru.

Memejamkan matanya guna menetralkan segala perasaan yang begitu menyiksa. Istirahat, dia benar-benar butuh istirahat. Hingga Nayla pun akhirnya tertidur.

Sementara itu, Nathan sudah hampir lumutan duduk di sofa tapi Nayla tak kunjung datang. Dia akhirnya berjalan-jalan mengusir rasa bosan. Nathan melihat seorang anak perempuan yang sedang sibuk menyapu halaman samping. Sepertinya dia tidak sadar ada tamu yang datang ke rumah itu.

"Heh, anak pembokat," panggil Nathan. Siapa lagi yang mau bersih-bersih rumah selain anak pembantu, pikirnya.

Mendengar itu, sontak saja si anak perempuan tadi langsung menoleh dan menghentikan aktivitasnya.

"Sembarangan kalau ngom ... " perkataannya tiba-tiba terhenti ketika dia melihat siapa yang berbicara. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka lebar.

"Ganteng banget," gumamnya, dia seperti terhipnotis oleh ketampanan Nathan. Wajah yang putih bersih tanpa noda dengan hidung mancung, mata sipit, dan rahangnya yang lebar, serta rambut berjambulnya membuat dia seakan-akan tersihir seketika.

"Woy, anak pembokat, yang sopan dong sama tamu majikan," Nathan risi karena di pandang sedemikian rupa.

"Ih, ngomongnya sembarangan banget, untung ganteng, coba kalo enggak. Kenalin, aku Viona Cassandra Fransisco," Vivi, bocah ingusan itu mengulurkan tangannya sambil mengedipkan mata genitnya pada Nathan.

Nathan sangat terkejut, "Mati gue, udah ngehina calon adik ipar," dia merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Rupanya dia baru tahu kalau ternyata Nayla mempunyai seorang adik.

"Berarti, kamu adiknya Nayla?" Nathan memastikan.

"Uh, udah ganteng, pinter lagi," Vivi mencubit perut Nathan dengan gemas.

"Aww," Nathan sedikit meringis, tapi masih memasang senyum termanisnya, demi adik ipar.

"Eh, kakak ganteng mau minum apa? Biar Vivi ambilin,"

"Apa aja deh, terserah Vivi,"

"Ok, kakak ganteng,"

Tak lama kemudian, Vivi membawa dua gelas jus jeruk ke ruang tamu.

"Nih, kak, silahkan di minum," Vivi meletakan gelasnya di depan Nathan.

"Makasih, Vivi cantik," puji Nathan. Tentu saja itu membuat Vivi melayang sampai ke atas awan. Senyumnya tersungging lebar dari telinga ke telinga.

"Kakak ganteng namanya siapa? Kakak pasti temennya kak Nayla kan? Kakak udah punya pacar belum?" Vivi memborong beberapa pertanyaan sekaligus.

"Panggil aja Kak Nathan. Kakak itu calon kakak ipar kamu," jawab Nathan dengan bangga.

"What? Ah, mana mungkin Kak Nay suka sama Kakak. Yang cocok sama Kakak itu cuma Vivi seorang," Vivi memasang wajah termanisnya.

"Hehehe," Nathan nyengir kuda. Dia tak habis pikir bagaimana mungkin Nayla bisa mempunyai adik centil seperti ini.

"Mana no hp kakak?" Tanya Vivi.

"Kakak enggak hafal. Nanti aja ya,"

"Ih, yaudah mana hp kakak? Sini, Vivi tau Kak Nathan juga pasti mau minta no Vivi kan, tapi gengsi. Mangkanya biar Vivi yang ngasih no hp tanpa harus di pinta," Vivi kembali mengedipkan mata lentiknya.

"Ahahaha, kamu tau aja, Vi. Tapi, gausah deh, nanti Kakak bisa minta sama Kak Nayla," Nathan memalingkan muka sejenak, berusaha menyembunyikan rasa kesalnya pada bocah yang satu ini.

"Gak usah malu-malu, sini, mana hpnya?" Vivi tetap memaksa, dia sampai menggeledah Nathan untuk mencari handphonenya. Mula-mula Vivi merogoh kantung yang ada di kemeja Nathan, tapi ternyata tidak ada.

"Vi, Vivi, ya ampun, iya nanti bentar. Jangan di geledah gini. Geli woi!" Nathan menggeliat, dia tidak bisa menahan tawa karena geli. Sementara tangannya masih berusaha menghindar dari Vivi.

Sekarang Vivi berusaha merogoh kantung celana Nathan, Vivi tahu di sanalah handphone itu berada.

"Jangan! Itu area berbahaya, nanti ada yang bangun," pekik Nathan. Itu cukup membuat Vivi terhenti.

Nathan menghela nafas yang kian memburu, "gila ini anak, agresif banget. Makin lama di sini, bisa-bisa gue di perkosa sama dia," pikir Nathan.

"Apa yang bangun? Wah, Kak Nathan bohong yah," Vivi bersiap untuk melanjutkan aksinya mengambil handphone Nathan.

"Tunggu bentar ya, kakak tarik nafas dulu," Nathan mengulur waktu sambil mencari cara untuk kabur.

"Eh, Nayla. Udah turun ternyata," kata Nathan tiba-tiba sambil melihat ke tangga. Vivi mengikuti pandangannya, tapi sejauh mata memandang tidak ada sosok Nayla di sana.

Saat itulah, Nathan menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Nathan lari terbirit-birit keluar rumah.

"Kak Nathan mau kemana? Kak," Vivi berusaha mengejar Nathan Tapi, Nathan sudah lebih dulu naik ke mobilnya.

"Sampai ketemu nanti, Vi. Salamin ke Nayla, yah. Dah Vivi," Nathan melambaikan tangannya.

"Kak, Kak Nathan," Vivi tampaknya sangat sebal pada Nathan. Tapi, dia hanya bisa melihat mobil Nathan yang perlahan pergi, lalu menghilang.