Seorang pemuda terlihat berjalan melewati koridor sekolah. Wajahnya tampak sangat sumbringah hari ini. Terlihat dari senyuman yang terus mengembang di bibir manisnya.
"Woy, bro. WhatsApp bro," sapa Nathan kepada dua temannya, sambil menari ala-ala Maikel Jaksen.
Jojo mengerutkan keningnya, " Lo salah minum obat ya, Than?"
"Yeh, gak tau dia, No," Nathan mengedipkan sebelah matanya pada Tarno.
Tentu saja, Tarno paham apa yang membuat Nathan hari ini begitu senang. Itu pasti karena Reno.
"Apa sih kalian, kok gak ajak-ajak gue," Jojo cemberut dia merasa tersisihkan sekarang.
"Lagian kamu teh pelor Jojo, teu kena nempel langsung molor," tukas Tarno.
"Ih, tapi kan ... "
Nathan mengangkat tangannya seraya berjalan pergi tanpa memperdulikan Jojo yang saat itu tengah uring-uringan.
"Udah kamu gak usah nangis, nanti saya beliin premen," Tarno merangkul pundak Jojo sambil berjalan mengikuti Nathan. Ketiga pemuda itu berjalan beriringan menuju ke kelas.
Selama ini, banyak siswa lain yang sering bertanya-tanya tentang kenapa Nathan memilih bersahabat dengan Tarno dan Jojo, yang tidak terlalu populer sebelumnya, daripada bersahabat dengan Lintang Baswara misalnya, si kapten basket yang sudah terkenal seantero sekolah. Atau mungkin Anggit Permana, si Vokalis band sekolah yang sudah memiliki banyak fanbase.
Hem, jangankan mereka, Arkanio Gibson saja, sang anak kepala sekolah yang sering di sebut-sebut sebagai King SMA 1 justru menjadi rival bagi Nathan, alih-alih bersahabat.
Mungkin dalam segi ekonomi mereka memang sepadan. Jojo dan Nathan sudah tidak usah di tanya lagi mereka anak siapa, sementara Tarno sendiri adalah anak seorang pemilik restoran Sunda yang sudah memiliki cabang di mana-mana. Siapa yang tidak tahu Rumah Makan Sunda Mang Udin?
Tapi bukan karena itu, Nathan sadar, bahwa dirinya mempunyai ego di atas rata-rata dan dia seringkali sangat keras kepala. Makanya, siapa lagi yang bisa menerimanya lebih baik dari Jojo dan Tarno?
Tarno yang ramah dan sederhana, sering menjadi pengingat pribadi bagi Nathan. Sedangkan, Jojo dengan kekonyolannya selalu bisa membuat Nathan tertawa. Dan dia nyaman dengan hal itu.
Sebelum duduk di bangkunya, Nathan mampir terlebih dahulu untuk melihat lokernya yang sudah lama tidak pernah ia buka. Pasalnya, dia risih karena loker itu selalu di penuhi oleh kiriman dari para penggemarnya. Bukan mau sombong, tapi Nathan tahu kalau hampir seluruh cewek di kelas itu tertarik padanya. Kecuali, Jessy dan Fanny.
"Wih makin penuh aja lokernya, Than," Tarno ikut melihat isi loker Nathan.
"Iyalah, kan, semenjak Arkan gak ada, semua penggemarnya pindah ke si Nathan," Jojo menimpali.
"Eh, Than. Lo kan, banyak tuh cewek yang suka, tapi kenapa dari dulu sampe sekarang, Lo cuma suka sama Nayla? Padahal, dulu Nayla punya pacar, Lo sampe sering berantem sama Arkan. Kenapa sih?" Katanya lagi.
"Lo lupa, Jo. Gue kan, pernah bilang. Mungkin gue emang bad boy, gue bad attitude, gue juga fuck boy. Tapi, pantang bagi gue buat jadi playboy. Karena cewek itu ada buat di cintai bukan di sakiti, mangakanya gue gak gampang buat pindah ke lain hati," jawab Nathan.
"Setuju," Tarno langsung menjabat tangan Nathan, dia baru tau kalau ternyata Nathan memang setulus itu dalam hal mencintai.
"Ah, Lo kaya udah pernah suka sama cewek aja, No," tukas Nathan seraya duduk di bangku kesayangannya.
Tarno tersenyum, Nathan tidak tahu, bagaimana selama ini dia berusaha menutupi perasaannya pada seseorang. Dia belum bisa seberani Nathan dalam hal memperjuangkan seseorang.
"Nayla!" Panggil Nathan, sambil tersenyum cerah. Nayla menoleh.
"Pagi, cantik. Semangat belajarnya ya, fighting," kata Nathan, sambil mengepalkan tangan kanannya.
"Uwuwuwu ... " seisi kelas riuh seketika melihat tingkah Nathan.
"Ah, sweet banget sih, Nathan," ujar Fanny.
"Ih, kalo gue sih jijik dengernya," tukas si tomboy, Jessy.
"Wah, makin aneh kelakuannya," Nayla geleng-geleng kepala dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Nayla sendiri tidak mengerti kenapa dia tidak merasa bahagia di perlakukan seperti itu oleh Nathan. Rasanya berbeda saat Arkan yang melakukan hal tersebut padanya.
Sementara Jojo, dia termenung cukup lama usai mendengar kata-kata Nathan. Dia membuka lokernya, di sana terdapat beberapa buah surat yang hampir tiap hari di kirimi oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan Fanny. Sudah lama cewek itu mengejarnya, tapi sayang Jojo masih belum bisa membuka hati karena dulu dia pernah di tinggalkan pas lagi sayang-sayangnya oleh sang mantan.
Jojo mengamati surat dalam genggamannya, sesekali dia melirik ke arah Fanny yang sedang bercanda ria bersama Jessy dan Nayla.
"Apa gue terlalu menutup diri ya sama dia?" Tanyanya dalam hati.
"My dear, Jojo," tiba-tiba Fanny menyapanya sambil melambaikan tangan.
Jojo tertegun beberapa saat, sebelum akhirnya dia membalas sapaan itu.
"Hai," Jojo tersenyum tipis, lalu segera berlari menuju bangkunya karena merasa salah tingkah.
Fanny terbelalak, ini kali pertama sapaannya di balas oleh sang pujaan hati.
"Huaa, Fanny dapet senyuman," Fanny tiba-tiba berteriak histeris, membuat Jessy dan Nayla yang sedang asik ngobrol itu terhenyak.
"Is, kebiasaan bikin orang jantungan. Lama-lama, gue cubit juga ginjal Lo," Jessy mengomel sambil memukul pundak Fanny. Tapi anak itu justru tidak menggubrisnya, dia malah terlihat senyum-senyum sendiri.
"Wah, si Fan-Fan mulai lagi," Nayla geleng-geleng kepala sambil memiringkan telunjuknya di atas jidat.
"Uwuwu, pokonya Fanny bahagia hari ini," katanya, dia terlihat sangat berbunga-bunga. Senyum manis Jojo masih membekas dalam benaknya.
"Udah sana pindah. Ada Bu Nunik tuh, di pintu," tunjuk Jessy, yang membuat Fanny buru-buru beranjak ke bangkunya.
Nayla mengedarkan pandangannya, mencari sosok seseorang yang sama sekali belum terlihat sampai saat ini.
"Ke mana dia? Padahal pelajaran bentar lagi di mulai. Atau jangan-jangan dia absen hari ini?" Hati Nayla terus bertanya-tanya.
"Cari siapa, Nay?" Tanya Jessy.
"Si Reno kok belom Dateng ya, apa hari ini dia gak masuk?" Nayla balik bertanya.
"Si Reno anak baru itu?"
"Huum,"
"Ya mana gue tau. Emang gue emaknya apa? Lagian, Tumben Lo nanyain dia. Ada apa?"
"Eh, nggak. Ya, gue ... aneh aja gitu. Yang gue liat selama ini dia rajin kan," Nayla gelapanan menjawab pertanyaan Jessy.
"Udah ah, Bu Nunik udah masuk," Nayla mengalihkan perhatian Jessy yang sedari tadi memandangnya dengan penuh selidik. Jessy angkat bahu, Nayla menjadi sulit di terka akhir-akhir ini.
Bu Nunik memulai pelajaran hari ini dengan membahas tugas yang ia berikan Minggu lalu.
***
Nayla sedang berbaring di atas tempat tidur sambil menonton drama Korea kesukaannya, yaitu Vincenzo Cassano. Seketika, gadis itu tenggelam dalam film tersebut.
"Omo, Mas Vincen damagenya dapet banget,"
"Woi, penghuni geumga plaza keren abis,"
"Hua, si babo sama nenek zumba ngeselin,"
Begitulah Nayla kalau sedang menonton drakor, dia akan ribut sendiri dan tak henti-hentinya mengoceh.
"Kak Nay!" Seseorang tiba-tiba menarik earphone yang bertengger di telinga Nayla.
"Apa sih, Vi. Ganggu aja. Kenapa gak ketok pintu dulu?" Nayla mendengus sebal.
"Hello, Vivi udah ketok pintu. Kakaknya aja yang budek," Vivi berkacak pinggang.
"His, ini anak," Nayla masih memasang wajah kesalnya.
"Kak, temenin Vivi, yuk,"
"Kemana?"
"Beli peralatan buat praktek,"
"Gak ah, pergi aja sendiri. Gak liat apa Kakak lagi nonton," Nayla memalingkan wajahnya.
"Ih, Kakak. Vivi gak mau pergi sendiri. Lagian deket kok, ke toko dirgantara doang," Vivi mulai merajuk.
"Suruh si bibi aja, sih. Atau gak, suruh Mang Ozan sana,"
"Kakak lupa, Mamah bilang kalau kita gak boleh nyuruh orang, selagi kita masih bisa ngelakuin itu sendiri. Lagian, Bibi sama Mang Ozan ada di sini buat kerja ngurus rumah. Bukan buat layanin kita," kata Vivi panjang lebar.
Nayla memicingkan kedua matanya, sambil berdecak kagum. Meskipun ini bukan pertama kalinya dia mendapat siraman rohani seperti itu dari adiknya.
"Yaudah, berarti kamu aja pergi sendiri,"
"Vivi bilang nih ke papah, kalau kakak gak mau nemenin adiknya," anak itu mulai berani mengancam.
Nayla berpikir sejenak, papahnya pasti marah kalau tau dia tidak bersikap baik pada Vivi. Karena papah telah menanggung jawabkan Vivi sepenuhnya pada Nayla selama beliau tidak ada di rumah.
"Yaudah, yaudah. Bentar aja tapi, ya," dengan ogah-ogahan Nayla mulai bangkit dari zona nyamannya, hanya untuk mengikuti kemauan adiknya itu.
"Iya, siap bos," Vivi tersenyum puas. Sudah lama rasanya dia tidak menjahili kakaknya seperti ini. Bukan apa-apa, dia hanya rindu pergi berdua dengan kakak tersayangnya.
Kedua kakak beradik itu memilih untuk berjalan kaki, karena akan merepotkan jika Mang Ozan harus mengeluarkan mobil hanya untuk pergi ke depan.
"Kak, udah lama ya, kita gak pernah jalan-jalan bareng. Papah juga selalu sibuk di kantor," ujar Vivi, dia berjalan di samping Nayla.
"Ya Papah kan, kerja buat kita juga,"
"Iya, sih. Tapi, kadang Vivi pengen ngerasain lagi kumpul-kumpul sekeluarga. Ya, semenjak Kakak selalu ngurung diri di kamar, Vivi jadi tambah ngerasa sendirian," Vivi menunduk menahan perasaan haru dalam hatinya.
Nayla memandangnya dengan iba, hatinya terenyuh mendengar ucapan Vivi. Dia merasa bersalah, karena terlalu lama berkabung dan acuh pada Vivi.
"Maafin Kakak ya, Vi. Nanti kakak bilang sama papah biar kita bisa jalan-jalan bareng lagi," Nayla menggenggam tangan gadis kecil di sampingnya.
"Iya kak," Vivi tersenyum lega.
Tak terasa mereka telah sampai di toko yang di tuju.
"Sana, kamu aja yang masuk. Kakak tunggu di sini," kata Nayla.
"Iya, kak," Vivi segera masuk ke dalam toko. Nayla lebih memilih menunggu di depan toko yang tutup daripada ikut ke dalam.
Nayla melantunkan nada-nada tak beraturan sambil menggurat-gurat keramik dengan sepatunya selagi menunggu. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada sesosok laki-laki yang sedang berjalan di pinggiran aspal. Langkah pemuda terlihat sangat lunglai, semakin mengikis jarak, semakin terlihat jelas wajah pemuda tersebut.
"Reno ... !!!"