Chereads / My Favorite Problem / Chapter 17 - Part 16 : Ide bagus

Chapter 17 - Part 16 : Ide bagus

Seorang anak perempuan dengan rambut yang dikuncir ekor kuda itu membantu sang kakak untuk bangkit. Dia memapahnya dengan sangat telaten.

"Ayo, kak, pelan-pelan,"

Sementara gadis yang dipapah itu masih terlihat sangat lemas, sisa-sisa air mata masih terlihat jelas di pelupuk matanya.

"Kak Reno, kita pulang dulu, ya," ujar Vivi.

"Makasih ya, Ren," sambung Nayla sambil berusaha tersenyum.

Reno menatap Nayla lekat-lekat, sebegitu menderitanya gadis itu hanya karena terlalu mencintai kekasihnya. Hati Reno terenyuh melihat wajah letih Nayla.

"I-iya, hati-hati ya," Reno membalas senyuman Nayla.

Sedangkan Arkan, dia masih meratapi nasib yang ia dan Nayla alami. Kenapa kisah cintanya tidak bisa seindah pasangan lain yang bisa hidup bahagia selamanya. Bahkan, impian mereka untuk membangun bahtera rumah tangga pun harus kandas oleh takdir.

"Kasian Nayla. Pasti sulit buat dia ngejalanin semua ini sendirian. Sampe dia harus punya trauma kaya gitu, itu pasti sakit," Mata Arkan tak bisa beralih dari punggung Nayla yang kian menjauh dengan langkah yang sedikit terhuyung.

"NAYLAAAAAA!! AKU MINTA MAAF. AKU DI SINI SAYANG," teriak Arkan, tentu saja suaranya itu hanya bisa di dengar oleh Reno seorang.

"AHHH, KEMBALIKAN AKU LAGI, AKU RINDU NAYLA," Arkan kembali menjerit sambil menatap jengah ke arah langit. Meminta kepada sang pengusa alam sesuatu yang tidak mungkin bisa dikabulkan. Arkan menangis, sambil berlutut di tanah, kedua tangannya memegang kepalanya, sangat amat putus asa.

"Arkan, udah, jangan kaya gini," Reno terharu, matanya ikut berkaca-kaca.

"Ayo, kita pulang," Reno berusaha membujuk Arkan, karena hanya ini yang bisa dia lakukan.

Orang-orang masih berkumpul, membicarakan tentang kecelakaan yang baru saja terjadi. Sang korban pun telah di larikan ke rumah sakit sejak tadi. Reno tidak mau orang-orang semakin curiga kepadanya karena dia berbicara sendiri.

"Ayo, Arkan," Reno memberikan isyarat dengan alisnya seraya pergi lebih dulu. Arkan segera menyusul Reno setelah dia bisa kembali mengendalikan dirinya.

Reno dan Arkan sampai di rumah, tak lupa Reno membelikan sebungkus nasi untuk ibunya makan siang. Karena tidak ada yang memasak jadilah dia memutuskan untuk membeli makan setiap hari.

"Bu, ini makan dulu, terus minum obat," Reno menyuguhkan sepiring nasi dan segelas air untuk ibunya.

"Makasih ya, Ren," Mira tersenyum, tubuh rengkuhnya berusaha bangkit dari pembaringan. Reno dengan sigap membantu sang ibu untuk duduk.

"Mau aku suapin, Bu?"

"Gak usah, ibu bisa sendiri,"

"Yaudah, ibu makan yang banyak biar cepet sembuh, aku mau ke kamar dulu," sebelum pergi, Reno mengelus tangan ibunya yang hanya sudah kurus kering itu.

Keadaan Mira kian hari kian melemah, kantung matanya sudah sangat menjorok ke dalam. Kulitnya yang keriput tambah memperjelas urat-urat yang menonjol. Penyakit ginjal yang ia idap seringkali memberikan rasa sakit tiada tara pada tubuhnya.

Reno pergi ke kamarnya, dia melihat arwah laki-laki yang sekarang menjadi sahabatnya itu tengah duduk menghadap keluar jendela, pandangannya jauh menerawang. Entah apa yang dia pikirkan sebenarnya.

Bukankah seharusnya dia bahagia karena selangkah lagi tujuannya akan tercapai? Dia telah menemukan orang yang masih mengunci hatinya sampai saat ini, meminta wanita itu untuk mengikhlaskan kepergiannya, lalu dia bisa kembali dengan tenang kemana seharusnya dia berada.

"Arkan ... "

"Hem,"

"Boleh aku tanya sesuatu?"

"Apa"

"Apa rencana kamu selanjutnya?"

"Gue gak tau," Arkan menggeleng lemah, matanya masih menerawang jauh ke depan.

"Menurut Lo gue harus gimana?" Tanya Arkan kemudian.

"Lah, mana aku tau. Kok kamu malah tanya aku," Reno ikut angkat bahu.

"Ya, maksudnya gue minta pendapat Lo, Reno. Menurut Lo, gue harus gimana?"

"Kalau menurut aku sih, ya. Meningan kamu balik lagi aja ke tujuan awal kamu," Reno berkata dengan cukup hati-hati, takut-takut dia salah bicara. Arkan tampak mengerutkan keningnya.

"Maksudnya itu loh, kan, tujuan awal kamu mau nyari orang yang masih belum ikhlasin kepergian kamu. Terus suruh orang itu buat ikhlas biar kamu bisa tenang di alam sana. Nah, sekarang kamu kan udah tau siapa orangnya. Yaudah, berarti kamu udah makin Deket dong sama tujuan kamu," jelas Reno, tangannya sambil memainkan ujung sarung bantalnya.

"Gampang Lo ngomong kaya gitu, bayi juga bisa kalau cuma ngomong mah, Lo gak tau kan, gimana rasanya jadi gue," sergah Arkan.

"Terus ngapain kamu nanya pendapat aku kalau gitu? His," Reno menepuk jidatnya.

"Ya kasih solusi yang tepat dong,"

Kini Arkan berpikir dengan keras, bagaimana cara yang akan dia tempuh selanjutnya. Akankah dia benar-benar meminta Nayla melupakan dirinya seutuhnya? Ataukah dia harus tetap mempertahankan cinta itu meski beda dunia?

Lalu, Arkan teringat tentang Nathan yang dengan keangkuhannya itu dapat memiliki Nayla. Dia tak habis pikir, bagaimana mungkin Nayla mau berpacaran dengan cowok brengsek Nathan.

Hati Arkan terus berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi kedepannya.

"Mungkin Nayla sekarang belum ada rasa sama Nathan, tapi bukannya cinta itu datang karena terbiasa bersama? Gimana kalau nanti Nayla bener-bener lupain gue, terus mencintai si Nathan sepenuhnya? Terus mereka nikah, abis itu mereka ... " pikirnya.

"Ahh, ENGGAK GUE GAK RELA!!!" teriak Arkan tiba-tiba, membuat Reno sedikit terlonjak.

"Hih, ngagetin aja kamu tuh," ingin rasanya Reno menjitak kepala arwah usil itu.

"Ren, gue gak sanggup, sumpah gue gak sanggup. Ngebayanginnya aja udah sakit banget," Arkan merengek seperti anak kecil yang kehilangan mainan.

"Gak sanggup apa?"

"Gue gak sanggup liat Nayla bahagia sama orang lain. Apalagi kalau orang itu adalah Nathan. Gak, gue gak rela. Sampe kapan pun gue gak rela,"

"Terus, kamu maunya gimana?"

"Setidaknya sebelum gue balik ke alam sana, gue mau bikin Nathan sama Nayla putus dulu," jawab Arkan. Reno mengerutkan alisnya, menandakan dia makin tidak mengerti apa yang Arkan maksud sebenarnya.

"Gini loh, ya setidaknya selama gue masih di sini, gak boleh ada orang yang gantiin posisi gue di hati Nayla. Dia cukup ikhlasin kepergian gue tanpa harus ada pengganti di hatinya. Nanti pas gue udah gak ada di sini, baru deh terserah dia mau ngejalin hubungan sama siapa aja," jelas Arkan.

Reno tersenyum getir, dia manggut-manggut, ya, Arkan berhak untuk berkata seperti itu.

"Oke, tapi gimana caranya? Masalahnya kan, kamu gak bisa ngomong sama Nayla atau ngelarang Nayla untuk mencintai orang lain,"

Arkan terdiam beberapa saat, matanya terus menatap tajam ke arah Reno.

"Caranya ... Gue pinjem badan Lo," kata Arkan dengan cepat.

"HEY! Gila ya kamu, nggak! Aku gak mau," Reno spontan menggeleng, dia benar-benar tidak setuju.

"Ayolah, Ren, bentar ko, gue cuma mau bikin Nathan sama Nayla putus," kini Arkan mulai memelas.

"Nggak, aku gak mau. Itu terlalu beresiko buat aku. Kamu tau kan, aku tubuh aku di pinjem, otomatis nanti aku yang kehilangan banyak tenaga, dan yang lebih parahnya lagi, nanti suka aku gak bisa balik lagi," Reno menjelaskan alasannya.

"Iya, gue tau. Tapi kan, gue minjemnya sebentar. Ren, pelase," Arkan mulai berlutut di hadapan Reno.

Tapi tetap teguh pada pendiriannya, "Maaf Arkan, tapi aku bener-bener gak bisa kalau harus minjemin tubuh aku ke kamu,"

Reno bersikeras menolak permintaan Arkan pun bukan tanpa alasan, dia tidak mau apa yang telah terjadi pada ayahnya beberapa tahun lalu terjadi lagi pada dirinya. Ia harus kehilangan sang ayah karena hal yang sama. Karena ayah Reno pun seseorang yang indigo seperti Reno.

"Ren, Lo kan, temen gue. Ayolah, Ren," Arkan masih berusaha membujuk Reno.

"Aku gak mau," Reno akhirnya beranjak pergi meninggalkan Arkan yang masih berlutut dan memelas padanya.