Chereads / Ekonomedi Romantis / Chapter 3 - Amel Langkah | Part 3

Chapter 3 - Amel Langkah | Part 3

Amel menemuiku di depan gang rumahnya, sesuai kesepakatan skenario. Kemarin, dia memberi tahuku alamat rumahnya nyaris seperti menyerahkan brosur iklan, sambil menghadiahiku senyuman meski tak ada jawaban pasti keluar dari mulutku. Nomor telepon genggamku juga tak luput dijarah olehnya.

Bicara soal terlalu easygoing, Amel pun lantas memintaku untuk langsung menyambangi rumahnya—yang tentu saja kutolak di tempat. Aku tidak mau menyulut kerusuhan bila kedatanganku tidak disambut. Bayangkan saja, anak perempuanmu kedatangan tamu seorang anak laki-laki seumuran dengannya. Apalagi, anak ini berani-beraninya datang tanpa memberi informasi apa-apa (walau mungkin saja Amel sudah membocorkannya duluan), lalu menjemput anak perempuanmu begitu saja.

Aku ragu ayahnya akan mengusirku, tapi aku tidak mau mengambil risiko diteriaki olehnya atau terlibat argumen jika beliau tak merestui hubungan anaknya denganku.

Sebentar, sebentar, kenapa aku bicara layaknya aku ini resmi berpacaran dengan Amel? Apa aku sudah gila? Baiklah, takkan kupungkiri memang banyak pikiran sedang membebaniku, mengingat adegan Amel kemarin itu benar-benar replika dari cerita romcom.

Dan, itu datang dariku yang seumur hidup hanya mendengar genre romcom saja tanpa pernah menontonnya.

Mampir ke rumahnya seorang diri bahkan sebelum berkencan?

Tidak, terima kasih.

Aku masih tahu tempatku, kendati Amel kiranya lupa soal nalar wajar. Atau kurang terlatih menggunakannya.

Ya, faktanya aku belum pernah jadi temannya, apalagi menyandang gelar sebagai kekasihnya. Keduanya hanya akan memperburuk kesan yang kupancarkan nantinya kalau kuiyakan permintaannya.

Amel—sebetulnya sedang memikirkan apa kamu? Tidak, apa yang kamu lakukan sampai tidak memikirkan ini dulu?

Intinya, Amel akhirnya mengurungkan ajakannya dan kemudian memindahkan tempat janjian kami ke depan jalan sekitar tiga ratus meter dari rumahnya. Sebenarnya, aneh juga kenapa dia tidak sabaran menungguku kalau rumahnya cuma berjarak sedekat itu?

Tidak, Kiki, fakta dan logika itu tidak mempan untuk kaum yang hidup di luar kerangka deterministik, terutama menyangkut Amel, perempuan yang bahkan lebih mengejutkan dari perempuan mana pun yang pernah kutemui.

Meski sebagian besar perempuan yang kujumpai melakukan kontak mata paling lama cuma lima belas detik, entah karena tidak tertarik atau tidak mau tahu, Amel memecahkan rekor paling lama berbicara empat mata denganku sehari yang lalu.

Itulah kenapa aku bertanya-tanya ada apa dengannya sampai sempat kesal begitu. Apa pun itu, aku hendak minta maaf padanya, namun Amel bak mengelak dariku.

Ah, sudahlah, mungkin itu cuma imajinasiku saja.

Kembali ke episode terakhir percakapan kami, kuajak dia menikmati pemandangan jalan seadanya—yaitu meluangkan waktu kami sesantai mungkin.

"Jalan—kaki? Itu katamu? Jalan kaki… ke mana?"

Jangan terkecoh!

Ini semua ada tujuannya.

Ada penjelasan bagus di balik ini, dan mengapa aku seolah memilih cara paling kurang peka pada 'kencan' coba-coba pertama kami.

"Hmm, kamu mau mutusin sendiri tujuannya, atau aku aja? Kuperingatkan, kamu mungkin akan kecewa kalau kamu ngebiarin aku nentuin," kubiarkan Amel mengambil alih kemudi.

"Oh, jadi kamu mau bilang, ke mana pun kita pergi, kita pergi ke sana gak pakai kendaraan, gak pakai angkutan umum, hanya menelusuri trotoar aja?"

"Uh, kira-kira begitu," sahutku samar.

"Unik sekali. Aku gak yakin metode seperti ini pernah dipakai orang lain," ujar Amel.

Mengesampingkan apa itu benar atau tidak, aku mungkin tak sependapat dengannya. Bukan dalam artian tidak setuju, namun mengenai sikapnya yang begitu positif.

Atau belum memahami situasi ini. Yang tentu saja sesuai dengan rencana yang kubuat sedemikian rupa sejak awal.

"Jadi, gimana? Mau ke mana kita hari ini?"

"Siapa bilang aku udah mutusin?"

Amel mengedipkan matanya, memiringkan badannya ke depan, satu tangan menggapai yang lain di belakang pinggangnya.

Sengaja mengulur waktu atau tidak, kurasa ini bukan masalah. Walau dia menentukan ke arah mana kami akan bertolak, menetapkan garis finis di awal begini bukanlah sebuah keharusan.

Apalagi, kami punya banyak waktu ke depannya.

"Oh, gitu? Ya udah, mau jalan dulu sekalian pikir-pikir lagi? Kurasa enggak ada salahnya kita jalan duluan untuk sementara," usulku.

"Fiki, aku gak perlu waktu tambahan. Bukan itu maksudku."

"Terus apa?"

"Kamu yang nentuin," celetuk Amel, sambil mulai berjalan.

Awalnya, aku ingin memancingnya untuk pergi ke suatu tempat tak jauh dari rumahnya. Selain khawatir terjadi apa-apa, aku ingin memastikan apa dia masih nyaman ditemani olehku saat mengunjungi lokasi yang sudah tak asing baginya.

Kubilang, aku ini ingin mengenalnya terlebih dulu sebelum berani jalan berdampingan ke tempat lebih umum dijadikan sebagai destinasi berduaan. Uh, 'berduaan' sama sekali tidak pantas disandingkan denganku, bukan?

Semisal dia memutuskan untuk pergi ke restoran langganannya, dia akan otomatis suka atmosfirnya, dan kemungkinan besar, tak sabar ingin merekomendasikanku menu favoritnya di sana. Sebaliknya, jika tak ada satu pun menarik perhatiannya—tidak ingin mengunjungi sebuah kedai atau lokasi rekreasi tertentu—aku akan menawarinya pergi ke sebuah taman publik atau teras minimart, bahkan.

Kenapa?

Sebab incaranku adalah ulasannya soal kehadiranku—apa dia masih suka atau tidak. Apa dia masih bisa tersenyum dan bilang kalau ini semua sesuai ekspektasinya.

Selain itu, akan tersedia juga banyak waktu untuk bicara lebih gamblang—kau tahu, kami nyaris tidak mengenal satu sama lain, sehingga hal terpenting sekarang hanyalah waktu.

"…Aku? Kamu mau aku milih?"

"Ya. Kamu kan ngusulin kita pakai caramu—kamu juga mestinya nentuin ke mana kita pergi hari ini. Aku gak mau terus menerus minta ini itu. Ingat, aku yang pertama ngajak kita ketemuan. Sekarang giliranmu," Amel mendesakku.

"Oke, jangan nyesal nantinya, ya?"

"Andai aku gak siap buat hal-hal semacam ini, mana mungkin aku ngambil risiko."

"Hei!"

"Bercanda. Cuma bercanda. Hihi," tawa kecil pun menyeruak.

Gagal dengan cara pertama, aku pun beralih pada plan B.

Sejatinya, tak peduli mana pilihan Amel, mau dia tunjuk sendiri atau menyerahkannya kembali padaku, aku masih tetap di atas angin.

Biarpun sedikit melenceng, semuanya masih dalam pegang kendaliku.

"Terserah kamu aja… Yuk, kita ke—"

"Jangan, Rookie! Jangan kasih tahu tempatnya! Kejutin aku, oke?"

Kelihatannya, selain suka mengejutkanku, Amel sendiri pun gemar disuguhi kejutan.

Ironis sekali.

"Kenapa? Apa kamu tipe yang lebih suka nyimpan kesenangan di akhir-akhir?"

"Terlalu cepat buat itu. Jangan terlalu percaya diri, kamu!"

"Kamu gak bohong soal siap-siap sama yang terburuk?!"

"Hihi, bukan aku gak percaya sama kamu, cuma mau lebih fokus aja sama kamu dibandingin apa pun itu nantinya yang kita datangi. Bila ditanya apa tipeku, mungkin bakal kujawab yang lebih menghargai perjalanan daripada prosesnya."

"Hah? Bukan menghargai proses ketimbang tujuannya?"

"Enggak—perjalanannya. Mau kamu kecewain aku nantinya, mau kamu ngebosenin selama kita menuju ke sana, aku gak lihat itu semua. Yang kuinginkan itu ngeluangin waktu berjalan di sebelahmu begini, persis selaras sama idemu. Eh, tadi itu mengesankan, ya? Kata-kataku begitu keren, kan?" Amel pun mengoceh sana-sini.

Tanpa diminta, dia malah mengulas tutur katanya sendiri.

Pertama dia meminta terlalu banyak, lalu berhenti meminta, dan sekarang ini—bertingkah seolah aku memintanya begitu.

Apa dia keberatan memberiku ruang untuk bernapas? Sulit sekali bagiku untuk mengikuti percakapannya sambil mengikutinya berjalan.

"Oi, jangan memadatkan kalimatmu begitu. Belum sempat kutanggapi, udah ada yang lain. Satu-satu aja, oke?"

Kini, Amel tak menghiraukanku.

Dengan anggun, saling bergantian dia ayunkan tungkainya yang berwarna seputih langsat itu. Serasi dengan sandal kayu modis dipenuhi ornamen atau manik-manik atau apa pun sebutannya itu, kedua kakinya bagaikan dikirim sepaket rupa busananya.

"Terus, jangan repot-repot mencari kiasan pas supaya kamu bisa ngeledekkin aku! Pakai sok bijak lagi! Hebat sekali perempuan satu ini…"

"Makasih, aku anggap itu pujian."

"Bisa-bisanya kamu ngerasa dipuji setelah terang-terangan ngehina aku."

Sementara itu…

Semakin lama, jarak di antara kami kian merenggang. Rupanya selain menampilkan irama melangkah yang masih terlalu bersemangat, pada saat bersamaan dia juga menaikkan temponya.

Ditinggal olehnya, aku pun tak punya pilihan selain mempercepat gerak langkahku.

Mau berdampingan denganku? Dia jelas-jelas menjauh dariku!

Aku tidak memintanya untuk terus di sampingku, tapi ini sama saja dia tak ingin dekat-dekat denganku!

"Oh ya, itu gak seutuhnya bercanda."

"Jadi, kamu benar-benar siap sedia, ya. Termasuk kemungkinan aku gagal total."

"Bukan, maksudku soal perjalanannya. Haha, yang hebat di sini itu kamu. Ngajak berlama-lama sebelum sampai pastinya gak akan pernah terpikir olehku, tapi aku sama sekali gak nganggap itu bodoh. Ngecewain juga enggak. Malah, terasa lebih cocok buatku."

Kecuali—bukan itu respon yang kuharapkan darinya.

Tidak, yang kutunggu-tunggu pasti akan datang.

Nanti akan kudulang hasilnya saat sudah selangkah lagi ke tujuan. Aku mesti lebih sabar dan tetap tenang apa pun yang terjadi.

Untuk sementara, aku akan menyibukkan dirinya. Selama mungkin akan kualihkan dia dari akhir perjalanan ini. Maksudku, dia sendiri meminta diberi kejutan.

"Benarkah itu? Aku—gak nyangka."

"Yah, gak nyangka kepicikanmu ternyata membuahkan hasil," Amel menyiramku tanpa ampun.

"Amel—apa mungkin sebetulnya kamu kecewa? Gak apa-apa, aku tahu betul ideku gak sebagus yang kukira."

"Sekali lagi kamu bilang begitu, kamu bakal kuseret ke rumahku sekarang juga!"

"Aku setuju sama kamu. Gak ada sedikit pun raut penyesalan tergambar di mukamu. Ah, lagi mikirin apa aku tadi, aku mestinya senang ditemani sama kamu. Kalau begini, jalan ribuan kilometer pun kerasa singkat," kataku, berdusta.

"Gitu, dong," Amel akhirnya puas.

Nampaknya, Amel juga sudah mencium motif keenggananku datang ke rumahnya. Melihat ancamannya, dia sepertinya bahkan mengerti betul ketakutanku. Hm, bukankah Amel seharusnya tidak setajam ini? Oh ya, dia mungkin membaca itu berkat intuisinya. Fakta berkata bukan kali ini saja dia sejeli itu.

Mungkin juga, kesalahanku sendiri turut ikut andil di sini.

Aku masih terlalu lengah, "Cih!"

"Tadi kamu bilang apa?"

"Ah, gak ada. Gak ada apa-apa, kok," kilahku.

"Ngomong-ngomong, berapa jauh lagi jarak tempuh sampai ke sana?"

A-ha. Ini dia.

"Sepuluh kilometer lagi. Mungkin lebih, sih."

"S-sepuluh kilo—"

Ya. Sepuluh kilometer—sepuluh ribu meter. Dengan laju rata-rata lima kilometer per jam, itu artinya dua jam di perjalanan tanpa henti. Berbeda saat kau berpergian menggunakan moda transportasi, dua jam berjalan tanpa isitirahat atau dua setengah jam dengan sekali istirahat akan memakan lebih besar cadangan energi dibandingkan saat berpergian menumpangi kendaraan.

Tak peduli seberapa antusiasnya dia pada saat ini, tak peduli seberapa berapi-apinya dia kali ini, dia mustahil kabur dari kenyataan bernama kinematika sederhana. Apalagi jika dia tidak hati-hati dan menyia-nyiakan tenaganya menjahiliku di sepanjang jalan.

Semakin sering dia meladeniku, semakin besar pula kemungkinan dia akan kehilangan motivasi. Kalau perlu, aku akan bersikeras menemaninya sekalian di perjalanan pulang, sehingga kami akan menghabiskan minimal empat jam hanya berjalan kaki saja.

Atau setidaknya, begitulah rencana cemerlangku.

"Sepuluh kilometer. Jadi, masih di sekitar sini, ya?"

"Apa? Menurutmu, kamu yakin bisa jalan terus tanpa netesin keringat?"

"Lihat aja nanti."

Dia—pasti menggertak, kan?

Mengingat dia kerap lupa namaku, entah teledor atau semacamnya, aku bertaruh dia juga rentan terhadap perubahan emosi. Perubahan suasana hati yang kurangsang melalui tantangan fisik, berupa ayunan tungkai sepanjang waktu sejauh sepuluh kilometer.

Ditambah dengan sifat hiperaktifnya, kurasa ini akan jadi resep sempurna untuk kejatuhannya.

Usai skema utama kandas, kurasa satu-satunya yang bisa kulakukan adalah mengurasnya, baik secara fisik maupun psikologis. Tentu saja, pada waktunya nanti, tidak masalah tempat yang kami tuju itu mengecewakan dia atau tidak, sebab pasti dia akan terlalu lelah untuk berkomentar. Jangankan mengulas, aku ragu dia masih sanggup melempar sindiran.

Maaf, Amel. Kulakukan ini untuk kebaikanmu, dan kebaikanku juga.

Suka dengan seseorang tanpa bisa menjelaskannya, tanpa pikir panjang, memang bukan masalah, bukan sesuatu yang patut disalahkan ataupun keliru. Hanya saja, melihatmu sejauh ini aku cuma merasa kamu ini sedang main-main saja. Kamu akan kecewa nantinya jika tak kunjung menemukan alasan untuk meminangku sebagai pacarmu.

Aku tidak meminta ini, dan kurasa kamu belum menyadari permintaanmu itu terlalu berlebihan—belum punya prospek cerah, menurutku.

Selamat tinggal, Amel.

Maksudku, aku masih akan sekelas denganmu, dan itu saja. Aku akan hadir sebagai teman, bukan pacarmu. Mengertilah, kamu itu bukan terlalu baik untukku, namun menyesakkanku begini bukanlah suatu bentuk kebaikan.

"Satu lagi, Mickey," panggil Amel.

"Sekarang maskot Disney—kamu tahu, mungkin kamu perlu menyalurkan kekreatifanmu itu."

"Jangan konyol, darah seni mana mungkin mengalir pada nadiku! Lagian, aku udah punya kesibukan sendiri."

Kesibukan? Kesibukan apa?

Belum sempat kutanya aktifitas apa yang dilakukannya pada waktu senggang, dia malah lanjut, "masih ingat tadi aku sempat mutusin untuk pulang?"

Ternyata, dia tidak bercanda sama sekali soal itu.

"Iya. Terus?"

"Aku sempat ragu apa kamu benar akan datang…"

"Hah?"

"Ini cuma firasatku—kukira kalau kamu keberatan mendatangi teras rumahku, mungkin kamu gak bersedia sama sekali."

Tidak, Amel. Dua hal itu beda bumi dan langit.

"Bersedia gimana?"

"Bersedia ngeluangin waktumu. Nolak itu gak melulu diucapin langsung. Terkadang, gak peduli, masa bodoh, pura-pura sibuk alias gak punya waktu itu… jawaban yang sama."

"..."

"Tapi, justru kamu sengaja ngebuat hari ini lebih lama, kan?"

Apa… aku baru saja melakukan hal ironis?