Chereads / Ekonomedi Romantis / Chapter 8 - Seto Eksperimen | Part 2

Chapter 8 - Seto Eksperimen | Part 2

Sekolah tempatku menimba ilmu, Sekolah Menengah Atas Negeri Satu Rawabarat, singkatannya SMAN 1 Rawabarat, sebuah sekolah yang didanai dan diawasi kementrian pendidikan pemerintah daerah setempat, bukan sekolah yang luar biasa namun biasa, reguler seperti kebanyakan sekolah negeri lainnya. Tidak mewah, dihiasi fasilitas bertaraf internasional, bermandikan pencapaian apik oleh siswa-siswanya, maupun dipenuhi hal-hal mencolok lainnya yang biasa ditemukan pada sekolah-sekolah 'unggulan'. Namun, bukan juga sekolah tergolong tak terawat, kekurangan fasilitas memadai, atau belum memenuhi standar sekolah pada umumnya.

Dengan kata lain, atau seperti telah kusebutkan, sekolahku, SMAN 1 Rawabarat, dapat dijumpai di mana-mana, tidak unik dan tidak juga menarik perhatian apa pun. Sekolah berlantai empat ini tidak memiliki ciri khas menonjol ataupun dikenal oleh sebagian besar masyarakat setempat selain karena nama dan statusnya sebagai sekolah negeri. Aku sendiri memutuskan pergi ke sekolah ini akibat satu alasan paling membosankan, namun objektif dan memenuhi motif ekonomi—jarak dari tempat tinggalku ke sana tergolong dekat, dan melalui hubungan sebab-akibat, tidak menguras ongkos pulang pergi signifikan. Di samping itu, aku tak keberatan. Aku bukan tipe yang mengejar pencapaian akademis, meski dikaruniai kemampuan di atas rata-rata, dan bukan pula penggemar santai-santai saja hingga asal memilih institusi pendidikan apa saja selama tertampung.

Tentu, jika ditanya apa ada sekolah lain lebih berdekatan dengan rumahku, akan kujawab ada. Kembali lagi, aku menentukan pilihan paling ekonomis secara objektif. Atau memakai istilah sepadan, pilihanku jatuh pada sekolah dengan kriteria paling optimal, yaitu SMAN 1 Rawabarat. Selain terjangkau dengan satu kali menumpang kendaraan umum, baik tenaga pendidik maupun kualitas fasilitas dan faktor pendukung lainnya pun terjamin.

Menurutku, aku cuma membuat keputusan wajar, masuk akal bagi siapa pun. Aku tidak mau merepotkan orang tuaku dengan memasuki sekolah 'elit' bertabur potensi dan kompetisi, namun dihantui risiko gagal bersaing atau bahkan tertinggal oleh yang lain. Sebaliknya, aku pun tidak mau terkesan menyepelekan masa depanku, sehingga memasuki SMA negeri menjadi opsi paling masuk akal buatku.

Ups, rasanya terlalu panjang lebar aku bicara soal sekolahku.

Apa pun itu…

Kembali ke soal moda transportasi, diperlukan setidaknya satu jenis kendaraan publik untuk mencapai sekolahku setiap harinya. Dan, hari ini, hari setelah Amel mengajakku jalan-jalan pun sama, aku sedang menunggu kedatangan mobil yang setia kutumpangi di depan gang.

"Lama banget, sih…"

Ah, ini bukan apa-apa.

Justru, inilah pemandangan sehari-hari. Terjadi hampir setiap paginya saat pergi ke sekolah.

Begini masalahnya, kendaraan tersebut, elf orang-orang biasa memanggilnya, merupakan sejenis mikrobus yang sayangnya tidak lewat secara teratur. Alasannya simpel, atau mungkin amat disayangkan, yakni jumlahnya terbatas. Ini tak bisa dihindari mengingat jalan depan perumahanku tidak banyak dilalui kendaraan yang bisa kutumpangi ke sekolah. Selain karena memang bukan trayeknya, kebanyakan kendaraan melintas adalah mobil pribadi dan bus antarprovinsi sehingga praktis bukan pilihan.

Sementara itu, setelah menunggu sepuluh menit (ini terhitung sebentar), akhirnya ada satu mikrobus mendekat. Seperti biasa, aku mengacungkan telunjuk, melayangkan gestur dari kejauhan agar sang sopir berhenti. Lucunya, jika kau tidak melakukan ini, kemungkinan besar kau akan diabaikan. Haha, inilah prinsip berjuluk kejar setoran. Bukan jumlah penumpang saja dikhawatirkan, melainkan juga kecepatan, ketepatan waktu berangkat.

"…Fiuh," kutarik napas dalam-dalam.

Akhirnya naik juga. Perasaanku pun berubah tenang.

Saat kutengok ke belakang, kursi tengah, beserta tiga kursi di belakangnya sudah disesaki penumpang lain, tidak tersisa ruang apa-apa selain untuk menaruh barang. Dengan begitu, hanya tersisa tempat di belakang supir, yaitu tempatku berada saat ini. Tanpa perlu mata awas, hampir semua pengguna kendaraan ini pasti turun di pasar, sekitar tiga ratus meter dari lokasi sekolahku, sebab satu membawa barang dagangan sayur mayur, satu di sebelahnya memangku bakul logam berisi ikan pindang sepertinya, serta sisanya kutebak bermata pencaharian sebagai kuli panggul.

Usai melewati jembatan layang pembelah pasar tradisional, baik pedagang maupun buruh pasar yang kubicarakan benar turun satu per satu, meninggalkanku sendirian bersama pengemudi mobil elf. Kemudian, menyusul lima menit berlalu, barulah aku tiba pada tujuan.

"Pagi…"

Belum apa-apa, aku sudah disapa.

Sebenarnya, pada saat bersamaan, aku sedang membayar ongkos—disesuaikan dengan statusku sebagai pelajar, pastinya—jadi orang tersebut bahkan tak memberiku kesempatan untuk menoleh.

Duh, tidak sabaran sekali orang ini. Siapa sih?

"Pagi, Kiki."

"Oh, selamat pagi juga," tanpa sadar aku bicara sopan pada orang yang menyapaku dua kali tanpa sebab.

Tadinya, aku mengira ini Amel, tapi rasanya mustahil baginya untuk mengucapkan salam dua kali berturut-turut. Apalagi, waktunya terlalu wah untuk jadi kebetulan. Timing-nya pas, seolah ingin menerkamku bila aku tak hati-hati.

Lagi pula, Amel memintaku untuk menyapanya, bukan sebaliknya. Selain itu, orang ini menyerukan namaku seolah sudah lama mengenalku, tanpa keraguan, berbeda dengan Amel.

Aku skeptis Amel benar-benar punya kebiasaan salah menyebut nama orang, atau sekedar mengingat sebagian saja, tapi melihat trend­-nya, bukan tidak mungkin dia akan begitu lagi. Kesan seberandang itu mungkin perlu waktu sebelum memudar.

Kuharap begitu.

Sementara, orang ini, gadis ini tepatnya, berdiri di hadapanku seperti berniat menyambut kedatanganku, adalah siswa SMAN 1 Rawabarat lainnya, sama denganku. Dia bahkan sekelas bersamaku pula, dan itu artinya dia juga teman sekelas Amel. Satu tak serupa antara dia dan Amel, atau harus kuganti begini, perbedaan besar di antara keduanya, yaitu perempuan ini juga satu sekolah bersamaku semasa SMP, serta sempat sekelas satu tahun lamanya menjelang lulus.

Ya, itulah kenapa aku merasa panggilannya terkesan familiar, sama sekali tidak sok akrab.

"Maya!"

"Ya, ya, Maya. Bukan yang lain," katanya, terdengar bak slogan iklan.

Berpakaian seperti siswi lainnya, Maya mengenakan kemeja putih cerah berlengan panjang, tak satu pun kancing terlewat, dasi menggantung rapi yang dipastikan tidak bengkok, serta tak lupa rok godet kelabu berlipat dua standar nasional pelajar SMA pada umumunya, membungkus hingga semata kaki.

Untuk karakteristik fisik, Maya berpostur 160 cm, atau setara dengan pundakku. Rambutnya diikat ponytail, lurus dan berkilauan, memakai kacamata berbingkai penuh, dan mungkin terhitung cantik bila gadis kutu buku termasuk seleramu.

"Ngapain kamu di sini?"

Refleks, masih terperanjat, pertanyaan terkesan kurang sensitif meluncur dari mulutku. Alhasil, aku mungkin terdengar kurang sopan jika lawan bicaraku orang dewasa. Untungnya, yang kuhadapi cuma murid sepantaran lainnya, sehingga kekhatiwaranku berwujud niskala saja.

Di samping itu, Maya rupanya tidak sesensitif yang kukira, raut wajahnya belum berubah banyak. Kelihatannya dia tidak menganggap pertanyaanku kurang berkenan.

"Lho, itu pertanyaan bodoh, Kiki. Rumahku kan gak jauh dari sini. Di belakang pasar, ingat?" Maya membocorkan keterangan tentang letak rumahnya padaku, tak nampak keberatan.

Jujur, aku sedikit terganggu oleh sikap terbuka Maya. Dibandingkan dengan diajak ke rumah seseorang (apalagi menginap), disodorkan alamat orang lain memang tidak seberapa. Namun, tetap saja membuatku kurang nyaman.

Sebaliknya, aku lebih suka orang-orang merahasiakan privasi mereka dariku. Informasi pribadi tak seharusnya disiarkan ke dunia luar, meski masih tergolong samar.

"Rumahmu, ya… Haha," kikikku.

"..."

Mendengar Maya membahas rumahnya, peristiwa kemarin mendadak muncul kembali entah dari mana. Timbul kembali pada benakku. Saat itu, Amel hendak mengundangku ke rumahnya, namun kutolak mentah-mentah. Dia sempat bergurau ingin menyeretku ke rumahnya, terlihat siap memakai berbagai cara.

Mungkin lebih pas menganggapnya sebagai sebuah ancaman? Beruntung, tidak jadi. Atau setidaknya, belum kejadian. Syukurlah, Amel menangguhkannya tanpa tenggat waktu.

"Apa… apa yang lucu soal rumahku?"

Ah, aku mencium miskomunikasi.

Maya—tak menangkap maksudku akibat kecerobohanku. Dia kelihatannya salah paham.

"Bukan gitu, Maya. Cuma… ah… gimana, ya," gugup menguasaiku.

"Kamu kok bingung sendiri? Sebetulnya, kalaupun lucu, mau itu rumahku atau bukan, aku gak ngelarang kamu."

Sial. Wajahku pasti terlihat pucat. Keringat dingin mengucur, mengalir di sekitar dahi dan keningku walau matahari belum terbit menjulang.

Belum siap merespon, aku malah memperburuk keadaan. Kalau begini, membalas apa pun nantinya akan terbukti rumit.

Setelah tadi merasa lega Maya tidak jengkel padaku, atau bahkan tersinggung, sekarang aku keceplosan, lalai. Maya sendiri nampak meraba-raba isi pikiranku, belum puas mendengar tanggapanku.

"Oke, gini. Omonganmu bikin aku keingat hari Minggu. Ada… ada kejadian seru."

"Seru? Seru gimana?"

Ups, saat diberi klarifikasi, Maya justru makin penasaran.

Mungkin kau melihat Maya cenderung rewel, membesar-besarkan sesuatu tanpa sebab, namun aku tidak setuju. Dia seperti lebih peduli dengan hal-hal kecil, hal sepele lain yang kurang lazim digubris. Menurutku, Maya cuma sedikit terlalu teliti, itu saja.

"Ah, enggak. Jangan hiraukan barusan. Bukan apa-apa, kok. Cuma lelucon konyol aja. Gak lebih," mati-matian aku berusaha mengalihkan perhatian Maya.

"Ih, pelit!"

Maya mencicit. Tak berlebihan bila ekspresinya termasuk menggemaskan, tak seperti biasanya. Setahuku, dia termasuk tipe lebih serius.

Ribuan kali lebih meyakinkan daripada Amel, contohnya. Sekurang-kurangnya, Maya tidak akan melupakan nama teman sekelasnya walau baru saja berkenalan. Tentu saja, aku sudah dikenalnya lebih dari empat belas bulan, sehingga Maya, aku berani bilang, mungkin tak meilhat perbedaan antara diriku dan teman dekatnya, misalkan.

Ah, aku tidak tahu pasti siapa yang dia anggap sahabat. Siapa pun itu, aku tidak peduli sebetulnya.

"Sumpah, bakal ngebuang-buang waktu aja kalau kuceritain."

"Hm, ya sudahlah," Maya mulai pergi menjauh dari tepi jalan raya.

Langkah kakinya tidak sekencang Amel waktu kemarin bersamaku, sehingga dia terkesan berniat melanjutkan perjalanannya saja. Tanpa emosi, Maya menghentikan sesi interogasinya, lalu bergegas menuju pintu gerbang sekolah. Tersembunyi di balik deretan ruko dan lahan rumah penduduk, sekolahku berdiri tanpa bisa diintip dari pinggir jalan.

"Ya, lupain aja," kuulangi, bernuansa memastikan.

"Oke deh."

Oh ya, sebetulnya Maya dan aku masih harus berjalan menyusuri jalan setapak sebelum mencapai gerbang. Disesaki siswa lainnya pada jalan selebar tiga meter, tentu kemacetan lalu lalang para pelajar tidak dapat dihindari.

Mungkin Maya menyudahi percakapan kami agar menghemat waktu pula. Benar-benar teladan kalau betul dia pikirkan itu.

"Yang seperti itu…"

Kali ini, Maya sengaja membuka kembali percakapan, lajunya tetap terjaga. Pandangannya tak diarahkan padaku yang berjalan di belakangnya, serong lebih tepatnya, namun bibirnya seolah dibiarkan menyala. Maya ingin sampaikan apa?

Kusahut dia, "Uh, apa?"

"Kiki, hal semacam itu… menurutku, ada baiknya juga kamu kasih tahu aja pada temanmu, misalnya."

Sama seperti kejadian dibintangi Amel hari Minggu, wejangan yang dilayangkan Maya pun datang terlalu instan, mencuat tanpa pertanda apa-apa. Namun, nuansanya berbeda dengan Amel, seolah kata-kata Maya memang seharusnya dikatakan lantang dan tegas.

"Apa… maksudmu?"

"Jangan tersinggung, oke? Tadi, aku baru kepikiran kamu selalu begitu saat kuajak ngobrol," ungkap Maya.

"Yang benar?! Terus?"

"Sepengetahuanku, apa pun, mau itu hal sepele yang mungkin mengundang tawa, mau itu kamu alami sehari yang lalu, gak ada salahnya kamu bagi."

"Ngebagi, ya. Gunanya apa, memang?"

"Uh, jangan lihat untung ruginya! Ini bukan soal itu," bentak Maya, sudut mata kirinya berkedut.

"..."

"Ah, maaf. Tadi itu kasar."

"Enggak. Harusnya aku yang minta maaf," kataku, bisa dibilang terlambat.

Uwah, aku membuat si murid teladan tersulut emosi. Tapi, berlabel siswa patut ditiru, Maya menampilkan kalibernya, langsung minta maaf begitu dia sejenak kebablasan.

Tergantung dari sudut pandang mana melihatnya, Maya berhak menegurku dua kali berturut-turut jika dia mau. Namun, dia hanya melakukannya sekali. Lekas minta maaf, pula.

"Ngerti kan maksudku? Jangan… terlalu tertutup," pinta Maya.

"Oke, kucatat itu. Um, terima kasih atas perhatianmu," jawabku, kembali kaku.

"Kalau kamu udah pernah ngobrolin itu pada salah satu temanmu, ya anggap aja ini angin lalu. Tapi, kalau belum atau gak bisa, minimal kamu punya aku."

"Punya kamu?"

"Begini-begini, aku KM kelas kita. Menjadi teman setiap orang di kelas itu kewajiban dan panggilan hati buatku. Termasuk sesepele teman ngobrol."

"Ah…"

Betul juga, sebagai pemimpin de facto kelasku, kelas Amel pula, dia merasa punya tanggung jawab untuk mengayomi. Baik hati dan perhatian sekali dia. Sayangnya, aku belum menganggap Maya sebagai salah satu temanku. Hanya kenalan paling enak diajak mengobrol, mungkin?

"Kecuali, pengalaman itu kamu habiskan dengan temanmu. Itu, sih, disimpan aja. Pengalaman pribadi, paham?"

"Oh, gitu ya…"

Kenapa dia menaruh penekanan begitu besar pada kata 'teman'? Aku ingin menanyai Maya soal itu, tapi pada akhirnya aku cuma diam saja.