Chereads / Ekonomedi Romantis / Chapter 6 - Amel Langkah | Part 6

Chapter 6 - Amel Langkah | Part 6

Sekarang izinkan aku menceritakan rincian saldo perjalanan kami. Atau, dalam literatur bahasa, epilognya.

Salah seorang teman sekelas Kiki, Amel, belum pernah mengobrol sebelumnya, datang memblokade jalan, menghampirinya. Kiki mulanya tidak mengerti dengan 'barang' yang dicarinya. Amel nampaknya ingin memborong seluruh persediaan rasa suka dan berniat untuk terus menjadi pembeli setia sejak saat itu. Sebagai laki-laki dengan hati berukuran kecil, tentu mustahil menyediakan 'barang' dalam jumlah sebesar itu. Namun, dilema pun menghantuinya, mengingat dia juga tidak rela kehilangan kesempatan emas begitu saja. Oleh sebab itu, bukannya menolak atau menyanggupi, Kiki justru menjanjikannya pergi berduaan.

Naasnya, lama-lama Kiki mulai menyesali usulannya sendiri. Berawal ingin merasakan apa rasanya pergi ke suatu tempat bersama seorang gadis yang tertarik dengannya, dia akhirnya menyadari mimpi hanyalah mimpi, kenyataan tidak seindah bayangan.

Alhasil, Kiki sempat kehilangan muka, merasa murung, melihat semuanya menjadi suram. Amel, walau amat kontras terhadap paras gadis fantasi Kiki, sebaliknya memberi saran yang sejajar dengan batas kewajaran, mengusulkan untuk menganggap satu sama lain teman, sesuatu yang mestinya diambil oleh Kiki tanpa pikir dua kali.

Yaitu—Amel dan Kiki hendaknya memulai histori mereka dengan berteman, bentuk interaksi yang sebetulnya lebih penting bagi Kiki sendiri.

Hubungan logis dan masuk akal antara dua insan, entah berakhir menjadi saling suka atau tidak, entah berkembang pesat atau tidak. Tidak, ini bukan soal logika, perasaan, ataupun soal kecepatan, melainkan soal mereka berdua.

Sekian.

Selepas mengantarnya pulang (ternyata orang tuanya sedang tidak di rumah), aku pun merasa beban pada pundakku secara misterius lenyap. Aku tak percaya telah lolos dari posisi berbahaya—menyandang status kekasih seseorang atau membuat seorang perempuan lari menangis—dan keluar dengan menggandeng seorang teman.

Kembali lagi, meski lepas dari kondisi terjepit, kenyataannya aku masih harus berhadapan dengan Amel. Setiap hari maupun sesekali, kuprediksi dia akan tetap menghalangi jalanku, merusak hariku, atau sekedar bermain-main saja.

Yang pasti, Amel bersedia berteman denganku, dan nampaknya akan begitu seterusnya. Seandainya tidak langgeng pun, hubungan kami memudar atau sebatas dilupakan olehnya (atau karena lupa namaku), aku masih akan jadi temannya—teman sekelas, tepatnya.

Baiklah, sampai jumpa di sekolah!