Kencan ini bukan soal menang kalah. Namun, bila ada pihak yang menelan kekalahan di sini, itu aku.
Bayangkan saja, pertama, rangkaian kencan ini tidak akan terjadi bila aku tidak selemah ini—enggan menolak, sedangkan menyambut positif juga mustahil.
Jadi, semua ini memang salahku, tak peduli bagaimana hasilnya, mengecewakan atau tidak.
Kedua, meski belum pernah kuungkit secara eksplisit, aku masih belum mengerti dorongan seperti apa yang memantiknya maju sampai pada titik ini. Ya, Amel bilang tak punya alasan apa-apa saat menyatakan perasaannya, entah tulus atau tidak. Tapi, bukan berarti tidak ada pemicu yang merangsangnya. Sayangnya, kurasa itu akan tetap jadi misteri untuk sementara waktu.
Bicara soal motivasi, nampaknya kepribadian Amel sangat dipengaruhi hobinya. Boleh saja aku tidak tahu satu pun tentang motif romansanya, namun satu yang pasti, wataknya yang kaya akan energi datang dari kegemarannya mengitari lintasan semenjak duduk di sekolah dasar. Itulah yang membawaku pada hal ketiga, dipaksa bertekuk lutut, bukan olehnya, melainkan oleh tipu muslihatku sendiri. Salahku sendiri, diperdaya oleh gambaran perempuan ideal yang selama ini kutunggu-tunggu. Bukan cuma mengecewakan, namun juga memprihatinkan, menyedihkan.
Ya, kukira itu tadi—sesuatu yang kusesalkan, bukan karena terjadi namun karena seutuhnya dapat dicegah tidak lain oleh diriku sendiri.
Sebenarnya, aku tidak yakin apa hal ini saja yang menyebabkanku salah melangkah atau mengambil langkah mengecewakan, jadi mungkin saja aku akan menyesalkan yang lainnya dalam waktu dekat.
Selain itu, bila ditengok konten atau substansinya, aku terus berada dalam kondisi di bawah tekanan. Nyaris selalu kehilangan bola, entah dipermainkan olehnya, dijadikan bahan lelucon atau merasa tertipu. Lagi pula, semua ini jadi kacau balau setelah Amel mengetahui aku kurang banyak bergaul. Dia mungkin memanfaatkan fakta tersebut, sengaja maupun sebaliknya.
"Lain kali beliin juga es krim di tempat lain, ya. Yang tadi entah kenapa nikmat banget rasanya."
Sebelumnya, Amel mampir ke kios es krim untuk membeli semangkuk besar banana split. Dasar Amel, dia bahkan tidak berbasa-basi menawariku. Sebaliknya, dia lantas memintaku membayarnya.
Amel, bila keinginanmu sejak awal itu pencuci mulut, terus terang saja!
Aku tidak tahu apa lagi-lagi ini diakibatkan sifat impulsifnya atau bukan. Namun, kurasa tidak elok juga terus menerus kembali ke penjelasan serupa.
"Beneran nikmat atau cuma karena aku traktir?"
"Jangan bodoh, Kiki! Apa kamu termasuk yang ngasih ulasan jelek cuma karena satu pengalaman buruk?"
"Aku bakal ngasih kamu nol bintang kalau bisa. Ditanya apa, kamu jawab apa."
"Hihi, serius banget sih, kamu. Coba lihat begini, kalau aku bilang es krimnya enak berkat dompetmu, bukannya itu sama aja kurang ngehargai jerih payah kedai es krim tadi?" pelintir Amel.
"Logika apa lagi itu…"
Jadi, es krim itu memang terasa lezat berkat gelontoran isi dompetku, namun dia menolak mengakuinya? Kalau dia begini terus dan masih mengaku teman, aku mungkin lebih suka kembali menyendiri.
"Amel, bicara soal ulasan, boleh kutanya urusan lain?"
"Kamu boleh traktir lagi kapan aja. Kita kan udah jadi teman. Itu jawabanku."
"Siapa sebenarnya aku, dermawan atau budakmu?"
"Dua-duanya oke selama bisa terus dapat es krim gratis darimu."
"..."
Pada akhirnya, dia mengaku juga…
Bukan berarti dia berperilaku seperti teman sekarang, lho. Sebaliknya, kelakuannya lebih condong terhadap perilaku seorang bully daripada seorang teman.
Amel lalu kembali pada pertanyaanku, "Jadi, apa? Jangan berhenti cuma karena candaanku, Kiki."
Tak kusangka, Amel enggan memperpanjang gurauannya kali ini. Mungkin ini unjuk rasa terima kasihnya? Tidak, baginya, mungkin ini lebih pas disebut sebagai kembalian saja. Bukan sesuatu yang dilakukannya sebagai wujud apa pun.
"Jujur, berapa nilaimu untuk kencan ini?"
"Oh, akhirnya kamu mengakui ini kencan juga," Amel tak langsung memberi jawaban.
Amel menoleh ke arahku, seakan menunggu giliranku membalas sindirannya, matanya berkaca-kaca.
"Jawab dulu, berapa?"
Saat kupertegas, Amel sudah kembali ke posisi semula, jalan di sampingku dengan postur menghadap ke depan, pandangannya lurus. Rupanya, dia kehilangan motivasi.
"Angka, ya? Hm, kira-kira empat dari sepuluh," kata Amel, datar.
"Serendah itu?!"
Melihat semua kesilapan yang telah kuperbuat dan satu blunder besar yang sebetulnya bisa kuhindari, kurasa nilai tersebut lumayan adil. Atau masuk akal. Haha, tak kusangka aku akan berpikir ulasannya akan sejalan dengan pemikiranku.
Tentu saja, aku tidak seutuhnya sepakat dengannya. Empat dari sepuluh itu nilai yang kau berikan pada sang laki-laki yang membuat teman kencannya menangis atau menamparnya. Singkatnya, Amel menggunakan jangkauan skala tidak terukur, terlalu lebar.
Berlebihan, seperti pengakuan 'cintanya'.
"Ayolah, itu udah kunaikin pakai itikad baik, udah kukerek demi kamu," klaim Amel.
"Baiklah."
"Seperti obral akhir tahun atau hari-hari besar lainnya, sengaja kunaikkan dulu, sebelum dipotong diskon 'cuci gudang' atau slogan marketing lainnya."
Amel… memberi analogi nan terperinci. Ini bukan lagi intuisi, melainkan kombinasi pengetahuan dan kekreatifan tanpa batas.
"Detail banget! Siapa butuh analogi itu?!"
"Ngomong-ngomong, dari nilai empat itu, tiga berasal dari es krim."
"Bilang aja satu dari sepuluh!"
Kenapa nilainya kian menurun? Seburuk itukah performaku?
Jangankan bikin teman kencanmu menangis atau menamparmu, nilai sejelek itu ekivalen dengan membuat teman perempuanmu pertama menamparmu, kemudian lari sambil menangis, dan terakhir, ayahnya mati-matian mengejarmu hingga ke ujung dunia.
Tidak direkomendasikan sama sekali. Orang seperti itu lebih baik dibiarkan kesepian daripada diberi kesempatan kedua.
"Enggak, enggak. Es krimnya sudah kulahap habis, jadi gak bisa dipisahin."
Kuralat, skalanya bukan terlalu masif, melainkan didasarkan pada selera kulinernya.
Amel seolah menghempaskanku, nyaris tak menghargai usahaku yang terbukti sia-sia. Aku sadar ini cuma selera humornya, tapi tetap saja aku masih merasa dia pun kurang peka. Padahal, Amel harusnya jauh lebih peka, atau mungkin saja, dia sengaja melakukannya.
Sebagai laki-laki, aku masih bisa terluka, walau sejak awal aku memang pantas dikritisi habis-habisan.
"Hm, cuma itu penilaianmu?"
"Maksudnya?"
"Pertama kan secara keseluruhan, sekarang terpisah. Misalnya, bila kamu terkesan oleh restoran tadi, kasih penilaianmu juga, atau diriku sendiri sebagai yang mengantarmu," kuberi contoh padanya.
Mendengar itu, Amel pun tak langsung menyahutku.
Kali ini, bukan karena menyinggung hal tak berhubungan lain, melainkan benar-benar diam. Dia kelihatan sedang berpikir keras, mengambang dan meraba-raba lagi bagaimana kelangsungan agenda yang telah kami lalui.
Apa berpikir sesulit itu untuknya?
Lalu, Amel mendadak berujar, "Tiga. Kamu, sebagai teman kecanku hari ini—kuberi skor tiga dari sepuluh."
Dibandingkan mata acaranya sendiri, nilai intrinsikku ternyata lebih rendah lagi. Kuharap dia objektif soal rating ini. Karena jika tidak, untuk apa menyayatku lebih dalam lagi?
"Mumpung ngebahas ini, semisal tadi kamu nerima ajakanku berbelanja ke toko pakaian dalam, aku gak keberatan ngasih penilaian sempurna," goda Amel.
"Sepuluh dari sepuluh?! Bisa aja aku iyakan, tapi penjaga toko pasti akan melototiku, mengawasi gerak-gerik bocah lancang ini, dan berpikiran yang tidak-tidak. Walau satu pun gak merhatiin, harga diriku rasanya bakal merosot tajam. Turun drastis sampai bangkrut. Aku pasti tertunduk malu seumur hidupku."
"Wah, aku mau lihat itu," celetuk Amel.
"Kamu mestinya ngehibur aku, bukan justru bersemangat begitu."
"Maaf, bergairah pada saat yang tepat itu nama tengahku."
"Maksudmu, saat kurang tepat?! Momen paling gak pantas, malah," komentarku, mentah-mentah.
Omong-omong, memang luar biasa karakter sosoknya ini. Tak kutampik, sudah lama kunantikan bisa bercengkerama dengan gadis sepantaran sepertinya, dan menerka-nerka perempuan macam apa dia, tapi dari sekian banyak bayanganku, dia tidak termasuk di dalamnya.
Di luar dari kamusku, melebihi jangkauan imajinasiku.
"Ngomong-ngomong lagi soal rating per kategori…"
"Plis, apa kamu masih belum puas? Satu dari sepuluh itu terlalu keji," aku memohon ampun padanya.
"Bukan, Kiki. Maksudku, itu bukan keseluruhan."
"Jadi?"
"Ya, tinggal tambah aja. Tiga dan empat, ya, tujuh dari sepuluh. Itu total kesanku tentangmu hari ini."
Tersentak, mataku nyaris melompat dari rongganya. Telingaku terkesan salah menangkap pesannya.
Mungkinkah ini plot twist sebenarnya? Dibandingkan menyingkap kemampuan atletisnya, tak diragukan lagi ini lebih besar dampaknya.
Hm, mungkin tidak juga—Amel sebelumnya mengaku tidak dikecewakan olehku. Artinya, akulah yang salah paham di sini, luput memasukkan ciri khas Amel yang jenaka ke dalam persamaan. Ketika dia bilang memberi nilai tiga, empat atau satu, tentu saja dia tak mengatakan sesungguhnya.
"Singkatnya, kamu puas?"
"Hah?"
Kali ini bukan aku yang terbelalak, melainkan Amel. Dia bereaksi atas ucapanku.
"Jangan khawatir, kamu gak ngecewain. Buatku, kamu cukup berhasil," hibur Amel.
"Bukan, bukan itu aja. Maksudku, apa kamu punya masukan?"
"Masukan?!"
"Misalnya, kamu bilang tadi mau ganti sama acara menginap. Bukannya itu bentuk ketidakpuasanmu?"
"Oh, itu. Hihi, jangan mendadak serius lagi, Koki!"
"Sekarang aku berprofesi juru masak?! Kapan masaknya?!"
"Enggak, tadi itu cuma gagasan buat kali kedua kita hang out lagi."
"Oh, buat nanti…"
"Ya, lagian ini kali pertama kita main bareng. Kita sama-sama canggung, setuju? Nah, itu. Bukan salahmu, bukan salahku juga—bukan akibat siapa-siapa."
Seperti trik memilih acak, aku merasa penjelasannya tidak terlalu memuaskan, entah karena aku belum selesai merasa bersalah atau akibat hal lainnya. Kalau sebelumnya Amel menganggap kehadiranku lebih penting dari acara jalan-jalan hari ini, kini dia mengingatkanku pentingnya berimbang di antara kami.
Bukan hanya karena dia merasa kecewa, dan aku, yang nampak mengecewakan. Pun soal prinsip tak ada pihak lebih bersalah dari yang lain. Intinya, kesalahan sama sekali tidak muncul dan tidak pernah ada. Kesalahanku tidak berhubungan dengan hasil akhir. Yang telah terjadi biarlah terjadi, tidak perlu menyesalinya karena kesempatan kedua niscaya akan datang pada lain waktu.
Aku mungkin kehilangan banyak penguasaan bola, namun skor akhir kelihatannya akan berakhir seri.
"Terus, sarannya?"
"Saran… Masukan…"
Amel kembali memberi jeda, memejamkan matanya, terlihat kesulitan menentukan anjuran tepat dan bagus untukku.
Ayolah, kenapa dia begitu kesusahan hanya pada waktu berpikir saja? Apa hinaan dan sindirannya benar-benar keluar dari mulutnya tanpa proses berpikir? Apa pusat kekreatifannya terletak pada tulang belakang?
Lucu sekali.
"Kelihatannya, rencana kencan dalam kurun jangka pendek mesti dibatalkan," ucap Amel, lagi-lagi bertentangan dengan perkataannya sendiri.
"Ulangi lagi?"
"Aku sudah pernah bilang ini sebelumnya, kamu mesti diberi pelajaran dulu."
"Kamu mau nge-bully aku? Apa itu plot twist-nya?"
Apa kita kembali ke garis awal? Bukan misterius, bukan teledor pula, dia sebetulnya sadis? Itu tidak lucu sama sekali.
Walaupun, sebagian sindirannya patut digolongkan pada kategori yang mengoyakmu dalam-dalam. Aku bahkan tidak sedang bercanda.
"Bukan, bodoh. Maksudku, kita berdua jangan pergi berduaan seperti sekarang untuk sementara waktu. Menginap, nonton ke bioskop, atau tur es krim, kurasa belum saatnya," koreksi Amel.
"Hm, kenapa? Kukira kamu bilang gak ada yang salah."
Aku hampir ingin mengomentari beberapa gagasan lain yang sudah muncul di kepalanya, tapi kuurungkan. Sebab, alasannya mengurungkan semua rencana itu lebih menarik perhatianku. Lagi pula, dia belum selesai dengan sarannya, sehingga tidak etis memotong tanpa alasan kuat.
"Ya. Tapi, aku juga bilang frekuensi kita terlalu berlainan. Dengan kata lain, kita mesti saling kenalan dulu. Di sekolah, terutama. Jangan sungkan ngobrol denganku di kelas kita, oke?"
"Sebentar, aku jadi kurang paham. Kita kan memang gak jadi berpacaran, buat apa kita saling, uh, mempelajari satu sama lain?"
"Eh, kamu ini. Apa kamu pikir segalanya cuma bisa dijelasin pakai istilah pacaran dan perasaan? Kita ini kan teman, ingat?"
"Oh ya…"
Hubungan kami, antara Amel dan aku, kuakui belum berhasil kukelompokkan sebagai apa. Tidak mungkin sebagai pacar karena sudah gugur. Sebagai teman pun masih boleh diperdebatkan. Ah, mungkin teman sekelas?
Tapi, itu masih belum memuaskan, kurang mewakili.
Tunggu, justru mungkin karena itu, Amel ingin memulai pertemanan—menjalin hubungan denganku? Apa dia pun sadar memaksaku berpacaran dengannya tanpa aral melintang berakhir kurang memuaskan?
"Nah, sapa aku di sekolah, ya? Tunggu, janjiin aku, oke," ralat Amel.
Amel kelihatannya ingin aku menjanjikan sesuatu lagi.
Kenapa dia tidak sabar? Janji terakhir di antara kami saja, yaitu kencan ini, belum selesai. Kini, dia meminta hal lain lagi.
Sungguh misterius. Sungguh teledor. Luar biasa sadis.
"Nanti akan kujelasin saran lainnya."
"Masih ada sisanya?!"
"Kiki, apa kamu sebenarnya gak sabaran? Kita kan pergi ke sekolah besok. Gak seru kalau aku beberkan semua. Hihi."
Oh ya, hari ini akhir pekan, hari Minggu tepatnya. Tentu saja, aku tak menyebutkan latar waktu kencan kami sebab sudah pasti aku tidak mau mengambil risiko mengajaknya pada hari biasa., sehingga satu-satunya pilihan adalah mengambil hari libur.
Sabtu kemarin Amel menghadang jalan pulangku, hari ini pergi kencan kurang menggembirakan bersamanya, dan besok, kami akan bertemu kembali di sekolah.
"Sekarang, antar aku pulang!"
"Boleh kutolak?"
"Jika kamu keberatan, aku akan ngantar kamu pulang. Hihihi!"