Chereads / Alfie / Chapter 14 - Jihan

Chapter 14 - Jihan

Saat ini keluarga Alika sedang makan malam bersama, tidak hanya dirinya dan kedua orangtuanya. Tapi, masih ada Hilda dan keluarganya. Masih ingat dengan Hilda? adik kandung Wahyu.

"Jihan, gimana sekolahnya?" tanya Linda setelah menyelesaikan makannya, begitu pun dengan lainnya. Mereka saat ini sedang duduk santai di sofa, sedangkan Wahyu dan Andre berada di halaman belakang menikmati angin malam.

"Baik, kok, Tante." Jawabnya dengan mata yang masih terfokus pada layar ponselnya

Hilda sebagai ibunya yang melihat itu lantas menegur Jihan, "Simpen dulu Kak, hpnya!"

Gadis yang diketahui namanya Jihan itu hanya melirik sekilas pada Hilda lalu menyimpan ponselnya di atas meja.

Sedangkan Alika yang sedari tadi menatap Jihan menggelengkan kepalanya heran, sebelum Jihan menyadarinya bahwa sedari tadi ia menatapnya, ia langsung mengalihkan atensinya dan mengajak Vano mengobrol lagi.

"Kalo, Alika gimana sekolahnya?" tanya balik Hilda

Alika yang merasa namanya di sebut lantas mendongak lalu tersenyum, "Baik juga kok, Tan,"

"Masih suka sama idola kamu itu?"

"Alfie, Tan?" Hilda menganggukan kepalanya, "masih, dong!" seru Alika

Semua keluarga Alika sudah mengetahui bahwa gadis itu sangat menyukai lelaki yang bernama Alfie, putra yang terlahir dari keluarga Alexander.

Jika membicarakan tentang Alfie pada Alika maka tidak akan ada ujungnya, terus saja sampai mulut Alika berbusa pun gadis itu tidak akan pernah lelah membicarakan tentang Alfie, idola sejatinya sampai kapan pun. Camkan itu!

Sesekali Jihan ikut nimbrung tapi tidak digubris oleh Alika, karena gadis itu membicarakan kejelekan Alfie yang sebenarnya itu tidak benar sama sekali. Kalau pun memang benar faktanya begitu tidak apa-apa kan? bukannya semua manusia tidak ada yang sempurna? setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Sedari tadi Alika menahan emosi yang sudah berubun-ubun. Ia tidak boleh bersikap gegabah, ingat Jihan sepupunya.

"Kemarin sempat ketemu ya di Bandung?"

Lagi, lagi, dan lagi ada orang yang membahas tentang dirinya yang bertemu dengan sang idola. Bukannya tidak senang, tapi sangat senang. Ia hanya khawatir dengan jantungnya yang berdetak sangat cepat, itu tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

"Iya, Tante, sempat ngobrol-ngobrol juga, pokoknya waktu ketemu sama dia aku kayak ketemu teman lama aja. Asik banget dia orangnya,"

"Makin cinta, dong?" goda Hilda

"Palingan juga terpaksa dia ngobrol sama lo, kan lo kecentilan orangnya!" celetuk Jihan

"JIHAN!" marah Hilda saat mendengar ucapan putrinya. Sedangkan Jihan hanya terlihat santai dengan mukanya yang datar. Padahal jika orangtuanya sudah menyebut namanya tanpa embel-embel 'Kak' maka tandanya mereka sangat marah.

Linda yang mendengar perkataan Jihan terkejut, tapi ia berusaha menahan emosinya. Orangtua mana yang tidak marah jika anaknya disebut seperti itu.

Air mata Alika sudah menggenang di pelupuk matanya, mungkin jika ia mengedip sekali saja air matanya sudah jatuh. Alika beranjak dan menyerahkan Vano ke Hilda lalu berlari menuju kamarnya. Teriakan Vano yang memanggilnya tak membuat Alika berhenti, ia tetap berlari.

Saat Alika menutup pintu kamarnya air mata Alika langsung jatuh begitu saja, tanpa seizinnya. Alika menutup mulutnya berusaha agar tangisannya tidak terdengar sampai keluar, gadis itu melangkahkan kakinya menuju kasur dan memeluk guling, saat itu juga Alika langsung menangis sejadi-jadinya.

Hatinya sangat sakit mendengar penuturan Jihan, apalagi Jihan yang notabenya adalah sepupunya sendiri. Alika terus terisak, sampai matanya benar-benar membengkak.

Tok! tok! tok!

Setelah mengetuk pintu orang itu membukanya dan menyembulkan kepalanya, lalu setelah melihat sang pemilik kamar ia memutuskan untuk masuk dan tidak menutup pintunya.

Orang itu mengusap kepala Alika yang tenggelam dalam gulingnya, gadis itu masih sesenggukan akibat menangis terlalu lama.

"Udah cukup nangisnya?" tanyanya dengan lembut seraya tangannya yang tidak berhenti mengusap kepalanya dengan pelan, sangat pelan, seolah jika terlalu kasar akan membuat Alika sangat terluka.

Alika bangkit dan langsung menubrukan tubuhnya pada orang itu, "D-av, e-ma-ng g-ue ce-nti-l?" tanya Alika dengan terbata-bata

Ya, orang itu adalah Davi, sahabat yang selalu ada untuknya. Tapi, bukan kah itu fungsi sahabat? selalu ada untuk orang yang dia anggap sahabat. Entah bagaimana Davi tiba-tiba berada di rumahnya, yang pasti Davi selalu ada ketika ia benar-benar membutuhkan sandaran.

Davi mengusap punggung dan rambut Alika bergantian, "Kata siapa, hm? gak usah dengerin omongan orang!"

Alika menganggukan kepalanya pelan lalu melepaskan pelukannya, tangan Davi terulur untuk mengusap air mata yang masih mengalir di pipi Alika.

"Minum dulu ya, segukan kayak gitu ih!" suruhnya dengan mengambil air yang ada di nakas Alika, gadis itu pun tidak menolak, ia meminumnya sampai habis karena memang kebetulan airnya tersisa sedikit.

***

"Minta maaf sekarang sama Alika, Jihan!" titah Andre

Sesaat Alika masuk ke kamarnya, Wahyu dan Andre berjalan dari halaman belakang, Andre sedikit terkejut ketika istrinya sedang memarahi Jihan. Setelah Andre mengetahui sebabnya lantas saja ia juga memarahi Jihan.

Wahyu pun ingin marah seperti yang dilakukan Andre, tapi ia juga tidak tega melihat Jihan yang wajahnya menunjukkan ketakutan. Sangat terlihat keringat dingin yang mengalir di keningnya.

Hilda menggelengkan kepalanya heran melihat kelakuan putrinya, padahal sedari kecil ia selalu mengajarkan berbicara yang benar pada Jihan. Tapi itu tidak dilakukan oleh Jihan saat ini, jujur saja saat ini Hilda benar-benar malu, ia merasa menjadi ibu yang tidak benar dalam mendidik putrinya. Apalagi Alika adalah putri dari kakaknya sendiri.

"Kak, aku minta maaf atas kelakuan Jihan tadi ya," mohon Hilda pada Wahyu yang berada di sampingnya

"Kamu ke kamar Alika aja bawa Vano!" suruh Wahyu

Ia tidak tahu bagaimana merespon Hilda, karena disini yang salah adalah Jihan. Sedangkan yang melakukan kesalahan tidak merasa bersalah sama sekali.

Linda yang melihat Hilda melewatinya dengan tatapan nanar lantas tersenyum, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Walau jauh di lubuk hatinya ia merasakan sakit hati yang sama seperti Alika.

Hilda berdiri di depan kamar Alika dengan pintunya yang terbuka. Ia melihat Alika yang matanya terlihat bengkak, disana Davi sedang berusaha mengajak Alika berbicara. Perlahan Hilda melangkahkan kakinya mendekati keduanya, Davi yang menyadari keberadaan Hilda pun lantas beranjak dari duduknya.

"Tante titip Vano dulu ya," ucap Hilda sambil menyerahkan Vano pada Davi.

Davi pun membawa Vano keluar dari kamar Alika dan menuruni tangga belakang untuk menuju halaman belakang, agar tidak melewati ruang tengah.

"Alika," panggil Hilda

Alika mendongak lalu tersenyum menatap Hilda, sebenarnya ketika melihat Hilda ia jadi teringat akan ucapan Jihan yang membuat hatinya sakit, ia tidak peduli jika kalian menyebut Alika berlebihan.

Hilda memeluk Alika dan menangis, begitu pun dengan Alika yang kembali menangis. Hilda memang begitu menyayangi Alika, karena Alika keponakan satu-satunya. Jadi ia benar-benar menyayangi Alika seperti anak kandungnya sendiri.

"Tante bener-bener minta maaf, maafin ucapan Jihan tadi, walaupun Tante yakin itu sulit buat kamu." Isak Hilda dengan tangannya yang menangkup wajah Alika

Alika hanya tersenyum tipis, bukannya ia tidak mau memaafkan Jihan. Tapi, ia butuh waktu untuk itu.

***