Napas Bram memburu melihat orang itu yang rupanya adalah pria yang sudah melecehkan Briel. Bram mengepalkan tangannya. Ingin rasanya memaki orang itu saat ini juga.
"Ehem! Meeting ini ditunda satu jam lagi," ucap Bram.
"Apa?" ucap semua orang yang ada di ruang pertemuan tersebut.
"Saya harap kalian semua memaklumi ini, dan kembalilah satu jam lagi!" ucap Bram dan keluar dari ruang pertemuan.
Salah satu klien-nya, bergegas menghampiri Bram. Rasanya, ada yang tak beres dengan Bram, pikir dirinya.
"Tuan Bram!"
Bram menghentikan langkahnya, kemudian berbalik melihat orang tersebut.
"Ya, Tuan Handoko?" ucap Bram.
Ya, pria itu bernama Handoko Tjandra. Dia adalah salah satu klien Bram yang tinggal di Bandung saat ini. Bram datang ke Bandung pun karena untuk pertemuan dalam urusan pekerjaan dengan Handoko dan beberapa klien lainnya.
"Ada apa, Tuan? Mengapa sepertinya Anda marah setelah melihat anak Saya memasuki ruang pertemuan?" tanya Handoko.
Bram mengerutkan dahinya. Dia tak mengerti maksud Handoko.
"Anak Anda? Apa maksudnya? Siapa yang anak Anda?" tanya Bram.
"Ya, Erland. Pria yang terakhir memasuki ruang pertemuan, dia adalah anak Saya," ucap Handoko.
Bram membulatkan matanya. Dia bergegas mendekati Handoko.
"Jangan bercanda, tolong!" ucap Bram tak percaya.
"Apanya yang bercanda, Tuan? Saya mengatakan kejujuran. Pria tadi, namanya Erlando Adiputra Tjandra, dia putra semata wayang Saya," ucap Handoko.
Bram lagi-lagi membulatkan matanya. Dia sontak mengepalkan tangannya. Dunia ini benar-benar sempit bahkan pria bajingan yang sudah melecehkan Briel rupanya adalah anak dari klien-nya sendiri.
"Tak bisakah Anda mengajari anak Anda dengan benar, ha?" tanya Bram dengan nada bicaranya terdengar geram.
Handoko mengerutkan dahinya. Dia tak mengerti apa maksud ucapan Bram. Dia bahkan tak tahu jika rupanya Bram dan Erlando, atau pria yang biasa disebut Erland itu rupanya pernah bertemu. Pasalnya, ini adalah pertama kalinya Handoko membawa Erland turut dalam pertemuan penting untuk membahas masalah pekerjaan.
"Pa!"
Bram dan Handoko melihat ke arah datangnya suara. Terlihat di pintu ruang pertemuan Erland tengah berdiri dengan wajahnya yang jelas sekali tampak tegang tetapi dia berusaha tetap tenang. Dia tak bersalah, itulah yang ada di pikirannya. Dia bahkan telah dirugikan. Karena selain kehilangan banyak uangnya, dia pun mendapatkan pukulan dari para bodyguard Briel. Sedangkan dirinya tak mendapatkan apapun yang dia inginkan.
Erland mendekati Bram dan Handoko.
"Beraninya menampakan wajahmu!" geram Bram seraya mencengkram kerah kemeja yang Erland kenakan.
Handoko pun menjadi panik. Entah apa yang anaknya itu lakukan sehingga membuat Bram tampak marah besar seperti itu. Handoko dengan cepat melerai kejadian di hadapannya. Dia menarik Bram agar menjauh dari Erland.
"Tenang, Tuan. Ada apa ini sebenarnya?" tanya Handoko.
"Pi!" panggil Briel dan perhatian ketiga pria itupun tertuju pada Briel.
Briel yang melihat Erland dari kejauhan pun membulatkan matanya. Dengan cepat dia melepas wedges-nya.
Pletak!
"Shit!" Erland meringis seraya memegang kepalanya setelah wedges yang Briel lemparkan tepat mengenai wajahnya. Bahkan menghantam hidungnya.
Briel bergegas menghampiri Erland. Dia mendorong tubuh Erland.
"Dasar sialan! Kamu menikmati tubuhku, dan pergi begitu saja!" pekik Briel.
Bram terperangah. Tidak, jangan sampai apa yang dikatakan Briel didengar oleh orang lain. Semua itu adalah aib keluarga dan dia tak ingin sampai publik mengetahui berita itu. Apa lagi media pasti akan dengan cepat menyebarkan isu yang belum jelas kebenarannya.
Bram menarik Briel agar tak terus memukul Erland.
"Pi, Kakak akan menghukum dia. Papi tak tahu apa yang Kakak alami semalam. Dia memaksa melakukannya pada Kakak, dia bahkan--"
Tubuh Briel bergetar. Dia teringat kejadian semalam yang mana Erland memaksa membuka bathroobs mandinya, kemudian memaksanya untuk melakukan kehendak Erland. Namun, setelah itu Briel tak mengingat apapun. Entah apa yang sudah dilakukan Erland tetapi Briel benar-benar takut jika Erland benar-benar melakukannya dan bagaimana masa depannya kelak?
Briel terisak memeluk Bram. Dia tak tahan lagi untuk tak menangis.
"Kakak takut, dia jahat," ucap Briel.
Plak!
Semua orang terkejut ketika Handoko melayangkan tamparan ke wajah Erland. Erland meringis, dia memegang wajahnya.
"Kurang ajar! Apa yang kamu lakukan, ha?" geram Handoko.
"Papa tak tahu apapun, Papa jangan menyalahkan aku terlebih dahulu. Di sini, aku tak bersalah. Bahkan aku telah membayar wanita ini semalam," ucap Erland.
Bram terperangah. Apa yang dikatakan Erland sebenarnya? Tak mungkin Briel menjual tubuhnya.
Briel pun tak kalah terkejut. Dia menatap Erland dengan tajam.
"Aku tak pernah menjual tubuhku! Jangan omong kosong!" teriak Briel.
Erland terkekeh. Dia menarik tangan Briel.
"Kamu pikir, aku bodoh, ha? Aku mengeluarkan banyak uangku hanya untuk membayar dirimu! Jangan sangkal hal itu! Jangan seolah-olah dirimu tak berdosa, di sini!" tegas Erland.
Briel semakin terisak. Apes sekali nasibnya. Erland benar-benar menyudutkannya. Briel bahkan tak merasa menerima uang sepeserpun dari Erland.
Plak!
Briel melayangkan tamparan ke wajah Erland, membuat Erland menggeram. Erland akan mendekati Briel tetapi dia mengurungkan niatnya ketika mendengar teriakan Handoko.
"Sudah cukup! Nikahi gadis ini, Erland!" tegas Handoko.
"Apa?" Erland terperangah. Apa dia tak salah dengar? Menikahi gadis kasar itu? Entah apa yang merasuki Handoko.
"Tidak akan pernah!" tegas Erland dan melangkahkan kakinya menjauhi ketiga orang itu.
"Jika kamu tak mau bertanggung jawab, Papa akan mencoret namamu dari daftar keluarga, dan jangan harap kamu akan mendapatkan sepeserpun harta warisan Papa!" teriak Handoko.
Erland menghentikan langkahnya. Ancaman yang terlalu menakutkan bagi Erland dan dia tak ingin itu semua sampai terjadi.
"Mulai detik ini, jangan pernah kembali ke rumah! Bahkan lepaskan semua pakaianmu sekarang juga!" tegas Handoko.
Erland terperangah. Lantas dia berbalik dan menghampiri Handoko.
"Apa maksud Papa? Apa Papa ingin mempermalukanku?" tanya Erland syok sekaligus tak percaya papanya meminta dia membuka pakaiannya di hadapan umum.
"Kenapa? Semua pakaianmu dibeli menggunakan uang Papa! Jangan lupakan itu! Dan mulai hari ini, kamu takan mendapatkan fasilitas apapun, begitupun uang dari Papa!" tegas Handoko.
"Astaga!" Erland mengusap wajahnya. Apa dia benar-benar harus menjadi gelandangan sekarang? Jelas sekali Handoko terlihat tak main-main dengan ancamannya.
Erland melihat Briel yang masih saja menangis. Dia benar-benar muak melihat wajah Briel yang sok sedih. Entah mengapa, Erland merasa yakin bahwa Briel tengah memanfaatkan situasi saat ini.
"Pergi dari sini!" bentak Handoko.
"Ya, aku akan menikahinya!" pekik Erland.
Briel yang masih saja menangis, dia lantas mengusap air matanya. Apa dia harus senang karena Erland mau bertanggung jawab? Tapi, mengapa dia merasa tak rela harus menikah dengan pria kurang ajar seperti Erland? Namun, di sisi lain Briel pun merasa tak memiliki pilihan lain. Dia benar-benar dibuat pusing gara-gara Erland.