Brian sangat yakin jika yang terlihat di bandara adalah Zahra, terlebih dua sosok yang bersamanya. seorang anak kecil laki-laki yang berada dalam gendongannya dan seorang wanita yang selalu berada disisi Zahra, wanita yang pernah ia lihat saat di bandara bersama wanita yang mirip dengan Zahra dan anak kecil yang belum genap satu tahun.
"Ben, kamu tahu perjalanan mereka kemana? aku rasa Zahra tidak akan kembali ke rumah neneknya. pasti ada tempat yang lain yang dia tuju." Kata Brian yang di angguki oleh asisten.
"Anda benar, tuan. lalu apa yang akan kita lakukan?" Tanya Ben.
"Kita harus kembali ke negara kita. kamu atur pertemuan ku dengan Alfred, kita selesaikan yang disini setelah itu kita kembali...." Suara ketukan pintu menghentikan ucapannya.
"Masuk!" Ucap Ben.
"Permisi tuan, ada seseorang yang mencari Anda." Kata sekertaris Brian.
"Siapa?"
"Aku!!!" Suara berat kini berdiri di hadapannya. dirinya hampir tidak percaya jika, orang yang sejak lama tidak menemuinya kini berdiri di hadapannya. Ben memilih untuk keluar dari ruang Kerja bosnya dan menunggu tepat di depan pintu ruang kerja Brian.
"Ada apa anda kemari, tuan Wisongko?" Ucap Brian dengan sengit.
"Tidakkah kamu bersikap lembut pada ku? ingat orang tua ini adalah ayahmu." Jawab Wisongko. setelah menghela nafasnya.
"Ada apa anda menemui saya?" Kata Brian cetus. Brian yang tidak terima Ayahnya berselingkuh dengan wanita lain membuat ibunya depresi dan di bunuh oleh wanita yang menjadi simpanan ayahnya, wanita yang tidak lain adalah keturunan dari keluarga Bramantyo. adalah penyebab ibunya dibunuh. Namun kali ini fakta yang mengejutkan, sekarang ibunya masih hidup dengan keluarga barunya yang kini entah tinggal dimana. Brian manatap acuh laki-laki paruh baya di hadapannya. karenanya penyebab dirinya salah melampiaskan dendamnya pada wanita yang tidak ada hubungannya dengan kejadian di masa lalu Ibunya.
"Apa begini, sambutan seorang anak pada ayahnya?" Kata Hendri Wisongko pada putranya.
"Ck! apa yang membawa anda kemari?" Kata Brian. dengan nada tidak bersahabat.
" Oke! kita intinya. Maukah kamu mengurus perusahaan yang akan ayah dirikan di kota kecil yang ada di Indonesia?" Ucap Hendri usai menghela nafas panjang.
"Kenapa harus aku? terlihat bukan anak yang mampu menjadi pemimpin dengan anak yang pandainya hanya menghamburkan uang orang tuanya." Jawab Brian Sinin.
Putra ayahnya dengan wanita simpanan, hanya menghamburkan uang milik keluarga tanpa bisa berbisnis. itulah yang membuat Hendri selalu meminta Brian untuk membantunya.
"Erick Briana Wisongko, bisakah tidak mengajak ayahmu berdebat? ayah kesini hanya ingin kamu mengurus perusahaan Yang akan ayah bangun. dan ayah memintamu untuk melihat lahannya, apakah bisa kita kerjakan sekarang atau masih menunggu dan pastikan dekat dengan pegunungan." Kata Hendri dengan kesabaran jika berbicara dengan putranya. sakit hati Brian saat berusia tiga tahun pada saat sang ayah menampar ibunya tepat di hadapannya. saat ia pulang membawa wanita yang kini menjadi istrinya.
"Ayah akan siapkan rumah sederhana disana, aku yakin kamu akan menyukainya." Kata Hendri memastikan putranya menyetujui keinginannya. Brian menatap wajah sang Ayah yang berharap banyak darinya. meski dirinya sangat membenci ayahnya namun tidak memungkiri jika di hatinya ada rasa sayang iba pada Ayahnya.
Hendri mengulas senyum di bibirnya saat melihat raut wajah Brian yang mengiyakan permintaan dirinya. walau tanpa harus menjawabnya.
"Ini adalah alamat dan..." Hendri kembali tersenyum melihat reaksi putranya.
"Berikan pada Ben!" Jawab Brian dengan suara dinginnya.
"OKE! ayah pergi dulu. jaga kesehatan, ayah ingin kita makan malam bersama. ayah tunggu dirumah." kata Hendri. berharap putranya kembali tinggal dengannya.
"Jangan menunggu. aku tidak akan datang, malam ini aku akan pulang ke Indonesia." Kata Brian. Hendri berhenti dan menatap wajah putranya dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Kamu akan kembali Brian? adakah urusan yang ingin kamu selesaikan disana? bukankah kamu bisa memantaunya dari sini?" Hendri kembali duduk di kursi, berharapan dengan putra sulungnya.
"Ck! bukankah anda yang memintaku kesana? kenapa sekarang seolah-olah aku akan pergi dengan urusanku. lagi pula aku sudah putuskan akan tinggal disana selamanya, dan akan menjadikan cabang perusahaan menjadi pusat." Terang Brian pada Hendri. kini dirinya mengerti kenapa Putranya mengiyakan walau di bibirnya menolak.
"Baiklah kita makan siang bersama, mau disini atau restoran kamu yang atur tempatnya." Kata Hendri.
"Terserah!" Jawab Brian dingin.
"OKE! kita ke restoran langganan ayah, tempatnya sejuk sesuai dengan dirimu." Kata Hendri. Brian mengikuti langkah Ayahnya yang lebih dulu. Hendri yang tahu betul bagaimana sifat putranya yang paling dia sayangi. bahkan putra keduanya tidak pernah mendapatkan perhatian khusus darinya, Hendri bukannya tidak sayang dengan putra keduanya hanya saja sifat nya yang bergonta-ganti pasangan dan menghamburkan uang membuat Hendri enggan untuk memberinya jabatan di perusahaan miliknya, bahkan hampir seluruh aset yang ia miliki atas nama putra sulungnya Brian.
Alfred yang telah menemukan identitas asli Yasmine membuatnya terbang ke indonesian untuk memastikan jika data yang ia dapatkan adalah kebenaran. namun sayangnya, sesampainya di Indonesia tidak ada satupun yang bisa ia mintai keterangan. hingga memutuskan kembali ke Paris mengingat ibunya yang tengah terbaring di rumah sakit, meski dirinya Pergi namun orang kepercayaan mencari informasi tentang seorang Zahra yang tidak lain adalah Yasmine yang pernah menjadi sekertarisnya.
"Kalian, pastikan semua informasi yang kalian dapatkan adalah akurat dan aku tidak ingin ada kata kegagalan." Kata Alfred dingin.
"Baik Tuan!" jawab salah satu orang kepercayaan. Alfred meninggalkan Indonesia dengan pesawat pribadinya. harapan untuk menemukan Zahra sangat kecil namun keyakinannya sangat besar membuat Alfred bertekad akan memindahkan ibunya ke Indonesia untuk memudahkan dirinya mencari Zahra. hati ini adalah usahanya gagal untuk menemukan Zahra, namun dirinya yakin suatu saat nanti pasti akan bertemu.
Suara nyaring anak laki-laki berusia tiga tahun, membuat Zahra dan Erna berlari kekamar dimana Sang putra tunggalnya tengah tertidur.
"Sayang ada apa Nak?" Zahra duduk di samping tempat tidur putranya.
"Mam, Al ngompol..." Kata Al, membuat Zahra dan Erna seketika tertawa lepas melihat kelucuan Putranya.
"Kenapa Mama dan Aunty tertawa seperti itu?" kata Al dengan suara seraknya, kas bangun tidur.
"Sayang, Mama kira. kesayangan Mama ini jatuh atau apa. ternyata hanya ngompol. oke... lain kali dengarkan kata Mama sebelum tidur pipis dulu oke!" Zahra mengangkat tubuh mungil putranya yang kini berat badannya yang bertambah, membuat Zahra mulai keberatan menggendongnya.
"Mama, apa Al semakin gemuk?" Ucap polos Al.
"Tidak Nak, Kenapa?" Zahra mengerutkan keningnya mendengar kata yang terucap dari bibir putranya.
"Kenapa wajah Mama, merah saat menggendong Al?" Zahra menutup mulutnya mendengar perkataan putranya.
"Tidak sayang, Mama selesai masak bersama Aunty Erna sayang dan saat mendengar suara putra Mama yang tampan ini berteriak membuat Mama dan Aunty Erna terkejut dan berlari kesini sayang dan saat mengendong Al, jelas membuat wajah Mama terlihat merah." kata Zahra dengan senyum menggoda putranya.
"Jadi ..." Zahra menghentikan Ucapan putranya.
"Jadi bukan Al yang membuat wajah Mama yang merah." Kata Zahra.
"Nah selesai bukan, saatnya sarapan." Zahra membawa putranya keruang makan, mereka sarapan dengan tenang tanpa adanya suara selain sendok dan garpu. tidak berapa lama mereka telah selesai. dan kini mereka bersantai di ruang keluarga bersama dengan putranya. Zahra yang mulai berbisnis sendiri dengan yang bisa ia kerjakan. apapun hasil akhirnya nanti banginya berusaha lebih dulu.