Hari Pertama Bekerja
Iya aku sangat terkejut dengan seseorang yang baru saja membuka pintu toilet itu. Bagaimana tidak, dia adalah sahabatku Rena. Kami sama-sama heboh dan berpelukan.
Kami rindu satu sama lain, dulu kami sangat dekat sekali bagai anak kembar. Tak pernah terpisahkan. Kalau saja kami tokoh kartun kami seperti Upin Dan Ipin yang selalu kompak dalam segala hal.
Karena ide gilanya, saat itu Roni menjadi dingin padaku seperti sekarang ini. Dia mengatakan pada Roni kakaknya, kalau aku menyukainya, dan celakanya dia mengatakan tepat di depan aku dan Roni.
Aku tentu saja tidak bisa mengelak waktu itu. Aku bukan pengecut yang sudah ketahuan lalu diam atau berbohong.
Aku mengingat dengan baik kejadian itu. Mana bisa aku lupa. Aku merasa dialah cinta pertamaku.
***
Sore itu kami berjalan di halaman sekolah bersama. Ada aku, Roni dan adiknya yaitu Rena.
"Kak Roni aku mau bilang sesuatu," celetuk Rena pada kakaknya.
Roni yang berjalan di depan kami terhenti dan menengok ke belakang, "mau ngomong apa? ngomong tinggal ngomong aja."
"Sebenarnya selama ini Nadia suka sama kakak," Rena mengatakan itu enteng sekali seperti tidak memikirkan perasaanku.
Aku membeku. Wajahku seketika memerah malu. Rasanya aku seperti ditelanjangi.
Roni terkejut, lalu menoleh padaku, "apa itu benar Nadia?" tanya Roni memastikan.
Aku tentu saja tidak dapat berkutik. Aku menghela napas dalam-dalam, "ah Rena sialan! aku sudah terjepit begini mana mungkin aku berkilah," runtukku pada Rena dalam hati.
"Iya," jawabku pendek, akhirnya aku mengaku-terpaksa.
Dia mengernyitkan dahi lalu mengaruknya padahal tidak gatal.
"Rena kamu bisa tunggu kakak di mobil, nanti kakak susul, kakak mau bicara sama Nadia dulu," suruhnya yang langsung di turuti adiknya itu.
"Kita duduk disana ya?" Roni menunjuk pada kursi taman yang terbuat dari besi dan di cat hitam khas kursi taman. Aku mengangguk.
"Ini bukan suatu penolakan, tapi mungkin kamu belum tau kalau aku berprinsip aku tidak akan punya pacar sebelum aku bisa bekerja dan sukses," Roni menjelaskan alasan penolakannya.
Aku terkejut, tubuhku melemas seketika, hampir saja air mata membasahi pipi tapi ku tahan, aku tidak boleh menangis di depannya.
Aku bahkan berusaha membujuknya agar mau menerima cintaku.
"Kita berteman aja ya?" Ungkapnya.
"Nggak, aku nggak mau, aku udah punya banyak temen, aku janji aku nggak akan ganggu kakak, tapi terima cinta aku kak."
"Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri."
"Tapi aku bukan adikmu, aku tidak mau seperti itu!"
"Aku sudah berusaha berubah demi kamu kak, aku jadi rajin, presentasiku mulai meningkat dan sekarang aku cantik, apa alasan kamu menolak aku?"
"Aku sudah jelaskan tadi apa kamu tidak mengerti?"
"Ah sudahlah aku capek mau pulang," dia berlalu dengan wajah kesal. Sedang aku merasa kecewa, sakit sekali, dadaku rasanya sesak seperti dihujam batu. Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mata membasahi pipi. Aku terlanjur menginginkannya.
Sekolah telah sepi,hanya ada tukang kebun yang kadang masih berlalu lalang. Aku harus pulang. Aku tidak bisa terus berada disini kan?
Dengan langkah gontai aku melangkah menuju parkiran. Semoga aku selamat sampai perjalanan pulang. Aku bagai raga tanpa nyawa saat ini. Karena perasaanku masih hancur. Pikiranku kacau. Aku terluka saat ini. Sulit bagiku menerima penolakan ini.
Di perjalanan pulang aku murung. Namun 2 detik kemudian aku mengernyitkan dahi. Tidak, aku tidak boleh menyerah. Aku akan kejar cintanya.
Tiba-tiba semangat itu terpatik lagi. Aku harus mendapatkan dia.
Aku berbaring di atas kasur empukku. Meski tak ku rasakan nyaman seperti sebelumnya. Perasaanku bercampur aduk saat ini. Aku lelah aku harus istirahat.
Namun suara telepon pada ponselku berhasil membuat gagal tidurku sore itu.
Aku meraih malas ponselku yang berada di atas nakas dekat kasurku. Aku menghela napas, ternyata Rena yang menelpon.
Aku menekan tombol silent dan membiarkan ponsel itu terus berdering oleh panggilan Rena. Aku sedang tidak ingin berbicara dengannya saat ini. Aku sedikit kesal padanya.
Gara-gara dia semua jadi kacau. Dia lancang sekali mengatakan itu tanpa memikirkan perasaanku.
Aku melengos kesal lalu menutupi seluruh tubuhku dengan selimut.
Jam menunjukkan pukul 3 pagi. Biasanya aku masih tidur nyenyak dan bangun paling awal jam 5 pagi.
Aku memijat-mijat kepalaku. Bukan rasa segar yang aku dapatkan malah kepalaku rasanya pusing sekali.
Ketika memasuki pintu kelas aku terkejut, Rena sudah duduk di bangkuku padahal kami beda kelas, namun dia sengaja menemui aku pagi ini.
Aku menghela napas lalu berjalan ke bangkuku untuk menaruh tas. Aku hanya melirik ke arahnya sinis.
Reflek dia berdiri dan meminta maaf padaku. "Kamu pasti marah ya sama aku?"
Udah tau pakai nanya batinku. Aku tidak menjawab.
"Nadia maafin aku, niatku cuma bantuin kamu aja."
"Dan hasilnya?" Aku tersenyum sinis.
Tapi Rena tidak berhenti membujuk agar aku memaafkannya. Dan akhirnya aku tidak tega, iya aku memaafkannya.
Tapi sepertinya bukan itu alasanku memaafkannya. Tapi karena dia juga mengatakan akan membantuku mendapatkan hati Roni kakaknya. Aku tersenyum licik tanpa Rena ketahui. Biarkan saja dia yang membuat masalah jadi dialah yang harus bertanggung jawab.
Tapi entah kenapa setelah Roni lulus Rena memutuskan pindah sekolah dan anehnya setelah itu juga aku kehilangan kontak dengannya.
***
Kami saling bertukar kabar dan berbincang-bincang sedikit. Padahal ini toilet, seperti tidak ada tempat yang layak saja untuk mengobrol.
"Lanjut ngobrol di kantin yuk, masa ngobrol disini," ucap Rena sambil tertawa, disusul olehku.
Rena menjelaskan bahwa dirinya akan ke kantor cabang mulai besok. Dia akan memimpin perusahaan yang memang lebih kecil jika dibanding perusahaan ini. Mia sekretaris lama Roni yang akan mendampinginya dengan menjadi sekretaris Rena. Maka dari itulah aku disuruh Tante Reni menggantikan posisi Mia.
Rena menarik kursinya dan mendekatkan wajahnya padaku lalu bertanya, apa aku masih menyukai kakaknya Roni?
"Kamu masih suka sama kak Roni?"
Aku tersenyum tipis, sambil menyedot jus alpukat kesukaanku. Tidak perlu menjawab, Rena tau arti dari senyuman dan ekspresi wajahku.
Rena mengulum bibirnya ke dalam, wajahnya terlihat seperti orang cemas. Lalu meraih tanganku. "Tapi kamu harus sabar ya kalau sama kak Roni," kata-kata Rena membuatku menjadi penasaran.
Aku menaikkan satu alis. "Hati-hati kenapa?" tanyaku balik.
Rena menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Gimana ya jelasinnya?"
"Kamu pokoknya harus punya stok sabar lebih kalau sama dia, soalnya dia itu nyebelin banget sekarang."
Rena menghela napas, "Sekretarisnya yang lama berhenti bekerja karena nggak betah sama kak Roni, dan itu nggak satu dua orang aja," desah Rena yang gagal menyedot jus orange.
Jelas sekali Rena berbicara dengan nada bicara mengeluh menggelengkan kepalanya.
"Masa sih, nyebelinnya gimana, bukannya dulu dia baik?" tanyaku seakan tak percaya. Memang sulit dipercaya. Kak Roni dulu setauku orang yang baik dan penuh pengertian pada siapapun.
Rena hanya mengangguk sambil melanjutkan menyedot jusnya yang tadi dibiarkan menganggur.
"Aku juga bingung jelasinnya. Besok kamu bakal tau sendiri pokoknya."
Mungkin ucapan Rena ada benarnya. Seseorang bisa saja berubah karena sesuatu. Dilihat dari caranya tadi berbicara padaku dia memang terlihat berbeda. Iya aku tahu sejak penolakan itu dia menjadi dingin padaku, tapi tadi sudah parah, dia juga begitu pada Mia tadi.
Tapi aku masih belum menyerah untuk mengejar cintanya. Aku justru penasaran dan ingin segera mencoba bekerja dengan bos yang katanya menyebalkan itu.
Aku terkekeh, "nggak papa, akan aku coba," kata ku yakin. Padahal dalam hatiku sedikit ragu.