"Aku sering melihatmu membuatkan kopi untuk pak Roni, aku sering melihatmu mencuri pandang, bahkan sengaja menatapnya lama."
"Mengajaknya makan siang walau ditolak, bahkan memasak untuknya, aku juga sering melihatmu membuntutinya ketika pulang," jelasnya panjang lebar.
Aku tidak mungkin mengelak lagi, "iya aku menyukainya," jawabku akhirnya, menundukkan kepala lemas.
"Tapi aku bukan baru saja menyukainya, aku menyukainya sejak kami masih SMA," tambahku.
Mendengar hal ini Adit terkejut hingga lupa mengatupkan mulutnya.
"Mingkem dit."
Adit menggelengkan kepalanya cepat dan tak lupa mengatupkan mulutnya dengan kedua tangannya.
"What!? Jadi bener?"
"Jadi aku saingan sama Pak Roni nih?" Kata Adit sambil menyilangkan kedua tangannya.
"Saingan apa…?" Aku tertawa geli.
"Aku yang menyukainya. Justru aku mau minta maaf ke kamu dit, ini pasti melukai hatimu."
"Apa hak aku Nad? Kita kan belum jadian."
"Kecuali sekarang kita jadian aku berhak marah, gimana?"
"Apaan sih," aku tertawa lalu memukul punggung Adit.
"Dih sakit Nad," Adit meringis kesakitan. Beberapa detik kemudian dia menatapku serius.
"Aku tidak akan menyerah Nad, kalau kamu berubah pikiran, katakan saja padaku," pungkasnya.
Aku tersenyum. "Jika nanti aku menerimamu, itu karena aku sudah membuka hati, bukan menjadikanmu pelampiasan.
Sudah setahun lebih aku bekerja di perusahaan Tante Reni. Dan tepat hari ini aku dan semua karyawan, termasuk Tante Reni dan Roni merayakan ulang tahun perusahaan.
Acara kali ini dirayakan meriah di sebuah villa yang sangat besar di Bandung. Menurut jadwal acara kami akan menginap selama 3 hari 3 malam.
Salah satu agenda yang paling disukai apalagi kalau bukan acara outbound. Dan akhirnya acara outbound berjalan dengan lancar.
Acara outbound yang melibatkan banyak karyawan, diselenggarakan pukul 7 pagi sampai jam 4 sore.
Setelah acara selesai tiba-tiba hujan turun. Semua orang telah kembali ke kamar masing-masing. Tapi Roni masih di tempat outbound. Dia duduk di kursi taman tepi danau. Wajahnya tak henti menatap danau,
Dia terlihat kacau, depresi, bahkan aku lihat dia berkaca-kaca.
Ada apa?
Apa yang terjadi padanya?
Ah aku jadi semakin khawatir.
Aku khawatir dia kehujanan, Karena langit mulai mendung. Sebentar lagi pasti hujan.
"Pak, langit mulai mendung, mari kembali ke kamar," ajakku.
"Wajah bapak terlihat sedih, ada apa?"
"Bapak bisa bercerita kepada saya kalau mau?" Saranku.
Tentu saja respon sadis yang ku dapat, kalau responnya lembut mungkin dia sedang kerasukan setan.
"Siapa yang nyuruh kamu disini? Tinggalin saya!" Usirnya.
"Pergi!" Kali ini dia membentakku.
Aku kaget. Dia selalu bersikap dingin padaku. Tapi dia tidak pernah membentakku seperti saat ini. Hingga mataku berkaca-kaca.
Sebenarnya jarak antara danau dan kamar villa tidak begitu jauh. Namun mendung telah berganti gerimis. Dia bisa basah kuyup nanti. Aku juga tidak mau dia sakit karena kehujanan.
Aku berlari sekencang mungkin menuju kamarku, sebelum hujan bertambah lebat.
Ku buka kenop pintu kamarku buru-buru. Lalu aku ambil sebuah payung dalam koperku. Setelah dapat payungnya aku kembali berlari ke tempat Roni berdiri tadi.
Dia masih duduk di sana.
"Nah itu dia," bisikku lega karena masih bisa menemukannya.
"Pak Roni, hujan akan semakin deras, ini saya bawakan payung, saya antar ke kamar anda," ajakku, sambil sibuk menegakkan payung.
"Tetesan air hujan tidak akan membuatku sakit, lagian siapa yang menyuruhmu repot-repot membawakan aku payung?" jawaban Roni menohok, kali ini hatiku sakit sekali, bagai dihujam seribu batu. Aku lupakan kalau tadi dia sudah membentakku.
Tapi aku sakit hati karena usahaku tidak dihargai sama sekali. Aku sudah lelah berlari bolak-balik dari danau ke kamar, disertai hujan pula. Tapi apa yang aku dapat?
Aku benar-benar kesal kali ini. Payung yang sudah siap untuk melindungi dari hujan aku buang begitu saja di depan dia.
"Apa yang kau lakukan, jangan gila pakai payungmu!"
"Hahaha, kenapa? air hujan juga tidak akan bisa melukaiku?" Aku tertawa seperti orang yang depresi.
"Saya sudah berlari, bolak-balik dari sini ke kamar mengambil payung, agar anda tidak kehujanan Pak, tapi kenapa anda tidak menghargai usaha saya?" Tangisku mulai pecah bercampur air hujan.
"Tapi aku tidak memerlukan segala kepedulianmu itu Nadia."
"Aku mohon Nadia, aku mohon, berhenti mengejarku, berhenti mengharapkan aku."
"Ah sudahlah," Roni pergi begitu saja, dia nampak seperti orang yang tidak bersalah sama sekali.
Aku lelah dengan semua ini. Semua yang kulakukan selama ini seperti salah. Semua terasa sia-sia. Dan aku baru menyadarinya.
Entah muncul dari arah mana, Adit tiba-tiba berada di sampingku. Mengambil payung yang telah aku buang tadi. Dan memayungiku.
"Aku bodoh Adit, aku bodoh...benar kan?" Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tanganku. Air mata bertambah deras membasahi pipi, bersamaan dengan air hujan."
"Berhentilah menyakiti dirimu sendiri Nadia, kalau kamu seperti ini, bukan hanya kamu yang merasa tersakiti!" kata Adit dengan wajah yang sangat serius, iya, Adit tak pernah seserius ini, bahkan dia setengah marah padaku.
"Aku capek dit, aku capek!" Aku memeluk Adit sambil menangis sesenggukan.
"Seorang pelari memang harus tau kapan dia harus berhenti." Ucap Adit sambil merangkul ku dari samping, setelah itu mengajakku kembali ke kamar masing-masing.
Pancuran air shower yang aku setel hangat, membuatku betah berlama-lama berada di bawahnya.
Kini hati dan pikiranku telah terbuka. Aku tidak akan lagi mengejar cinta Roni. Sudah cukup. Ditambah lagi, yang dia katakan ketika di danau tadi, terus saja terngiang-ngiang di telingaku. Aku tidak akan melupakan semua ini. Aku tidak akan melupakan yang ia katakan. Tidak akan,-
Seharusnya aku tersadar dari kemarin. Penolakan yang bertubi-tubi. Sakit hati yang ku rasakan setiap hari.
Aku berpindah dari shower ke bath tub, ku isi penuh airnya dengan air hangat yang telah bercampur aroma kesukaanku.
Aku menceburkan seluruh tubuhku ke dalamnya, sampai kepalaku. Dan berkali-kali aku berucap dalam hati. Aku harus bisa melupakannya!
Air yang tadinya hangat berangsur dingin, aku putuskan mengakhiri mandiku.
Aku keringkan rambutku, dengan bantuan hair dryer yang aku bawa dari kost. Tiba-tiba ponselku berbunyi.
Sebuah pesan chat masuk, entah dari siapa. Aku meraih ponselku dengan malas, dan membacanya.
Ternyata pesan dari Adit. Isinya menanyakan apa aku sudah makan? tentu aku jawab belum.
Sepertinya aku baru menyadarinya, aku memang belum makan malam. Terakhir aku makan sebelum outbound, dan itu pukul 12 siang tadi.
Lalu Adit mengajakku untuk makan di luar. Iya, sebenarnya Villa ini telah menyediakan makan pagi,siang dan malam. Hanya saja Adit mungkin tau, jika saat ini, suasana hatiku sedang buruk, jadi mengajakku makan di luar untuk merubah moodku menjadi lebih baik.
Aku mengiyakan ajakan Adit, aku memang ingin ganti suasana, dan sejujurnya aku memang lapar. Kami pergi berdua dengan mobil Adit.
"Di Bandung itu banyak makanan enak, masak udah di sini kita nggak kuliner, iya nggak?" Adit memulai percakapan dan aku hanya tersenyum.
"Kamu mau makan apa?" tanyanya lagi.
"Terserah kamu dit," jawabku pendek.
"Cewek, kalau jawabannya terserah itu malah gawat, endingnya membingungkan lho biasanya."