"Hahaha, kamu kira aku ABG labil? Kita dah kenal lama dit, aku bisa makan apa aja," jawabku sambil menepuk pundaknya.
"Rakus kalau kamu mah," jawabnya meledek.
"Ih malah ngeledekin aku lagi," aku mencubit pinggangnya, dan untung jalanan sepi, jika tidak mobilnya bisa oleng.
Mobil kami menepi. Kami mencari daftar kuliner paling hits saat ini di Bandung. Dan benar saja, Bandung memang benar jika dijuluki pusat kuliner, banyak sekali pilihannya. Sampai-sampai aku bingung memilih yang mana.
"Nah ini ni cewek, bilang terserah yang milih ternyata lama, ini nanti bukan malam lagi ceritanya, makan tengah malam jadinya," gerutunya.
"Hahaha, oke-oke, yang ini aja deh, pandangannya bagus," tunjukku pada sebuah restoran bernuansa Sunda tempo dulu.
Lalu kami berangkat ke restoran tersebut.
***
Keesokan harinya, kami semua bersiap kembali ke pabrik. Tapi sebelum naik bis kami sarapan di halaman depan villa.
Aku mengambil 2 buah piring yang berisi nasi lengkap dengan sayur mayur dan lauk pauk. Aku menghampiri sebuah meja paling ujung. Roni yang saat itu melihatku membuang muka, Ia merogoh kantong jasnya lalu berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
Dia pasti mengira, aku akan datang membawakannya makanan seperti biasanya. Tapi kali ini tebakannya salah. Aku melewatinya, dan langsung duduk di kursi kosong depan meja Adit.
Iya makanan yang aku bawa tadi untuk aku dan Adit, bukan Roni. Aku sudah berjanji akan melupakan Roni.
Adit yang melihat kejadian ini menunjukkan ekspresi kebingungan. Dia menatapku dengan wajah tidak percaya dan heran.
"Kok ngeliatinnya gitu banget, ayo makan?" tanyaku sambil menyelipkan anak rambut ke belakang daun telingaku.
Adit mencondongkan badannya ke arahku, "tumben? bukannya biasanya buat bos?" Bisiknya lirih.
"Bukankah pelari tau kapan dia harus berhenti?" jawabku menaikkan satu alis.
Aku melirik sedikit ke arah Roni. Dia tampak tidak peduli dengan sikapku. Mungkin sekarang dia senang, karena aku tidak mengganggunya lagi.
Sarapan sudah selesai. Seluruh karyawan naik ke bis yang sudah disediakan oleh perusahaan.
Kemarin sewaktu berangkat dari kantor. Aku naik mobil di mobil yang sama dengan mobil yang Roni tumpangi.
Persis seperti yang aku inginkan. Semobil dengannya. Meskipun itu paksaan dari mamanya.
Awalnya Roni protes. Tapi dia tidak bisa apa-apa karena mamanya memilih satu mobil dengan anggota direksi pemilik saham lainnya.
Tapi pulangnya aku menumpang di mobil Adit. Tentu saja Roni tidak akan bertanya, apalagi protes, mungkin dia malah senang.
Tapi berbeda dengan Tante Reni. Dia mencariku ke mobil yang Roni tumpangi. Dia tidak menemukanku malainkan berganti Heri temanku.
Iya, aku sengaja menukar posisiku dengan Heri, yang awalnya ada di mobil Adit. Tapi akhirnya Tante Reni bisa mengerti dengan alasan aku akan mampir ke rumah kerabat sebentar.
Masih terlalu sakit untuk aku ingat kejadian di danau. Aku malas semobil dengan Roni.
***
Liburan telah usai. Saatnya kembali bekerja.
Aku yang harus menata kembali perasaanku untuk kembali ke kantor itu. Bekerja dengan orang yang telah menyakitiku.
Sebenarnya dia tidak sepenuhnya bersalah. Aku sendiri yang tersakiti oleh perasaanku. Aku yang bersalah telah mencintainya. Tapi aku harus bekerja secara profesional.
Sejak pagi aku tidak menyapanya. Aku juga tidak membuatkan kopi seperti kebiasaan ku sebelumnya. Aku juga tidak peduli makan pagi dan makan siangnya.
Sampai jam menunjukkan pukul 4 sore. Saatnya pulang. Aku berjalan keluar dari lobi kantor. Aku melambaikan tangan kepada seseorang di dalam sebuah mobil warna merah. Mobil itu di parkir di seberang jalan sana.
Mobil itu sepertinya juga baru saja sampai. sekali lagi aku melambaikan tangan, ketika jendela mobilnya di buka, agar si pemilik mobil melihatku.
"I'm coming…!" Kataku riang.
Roni turun dari mobilnya, ia membuka kacamatanya, lalu menghampiriku, "apa kamu bilang tadi, kamu mau nebeng pulang sama saya?"
Aku menatapnya heran, mulutku sampai menganga. Tapi sedetik kemudian, "bukan, maaf pak sepertinya anda salah, permisi Pak," aku lalu aku berjalan melewatinya.
Ekspresinya tak kalah heran. Aku tersenyum puas. Ternyata dia hanya merasa ke-GR an. Dia mengira aku mau membonceng mobilnya, padahal aku sedang melambaikan tangan pada Adit di seberang jalan sana.
Sesekali aku melirik ke arahnya. Ekor matanya menatap aku yang sedang berjalan menghampiri mobil Adit.
Tapi itu hanya sekejap saja setelah itu aku tidak memperdulikan lagi reaksinya. Tekadku sudah bulat untuk melupakannya. Dia tidak boleh lagi melukai hatiku. Sudah cukup.
"Aku kira kamu tadi mau bonceng Pak Roni," ledek Adit. Yang aku balas tersenyum tipis.
Sudah 2 bulan berlalu. Semenjak pulang dari villa itu aku tersadar, selama ini usahaku sia-sia. Aku berhenti mengejarnya. Aku mulai menutup pintu hatiku, perlahan. Namun pasti.
Aku menghilangkan kebiasaan ku membuatkan kopi kesukaannya di pagi hari. Aku berhenti menawarinya makan siang, apalagi membawakan bekal hasil masakanku sendiri.
Ow iya, sebenarnya aku juga selama ini sering memasak untuknya di kantor. Lalu menyuruh OB mengantar. Dan tidak pernah ada masalah dengan masakanku. Malah katanya enak. Tapi sekarang sudah tidak kulakukan lagi. Aku tidak peduli lagi padanya.
Aku juga tidak lagi mengikutinya diam-diam dari belakang. Bahkan aku tidak pernah lagi mencuri-curi pandang padanya. Aku sekarang hanya akan bekerja secara profesional di kantornya.
Bahkan ketika Adit menyatakan cintanya sekali lagi, aku langsung menerimanya.
Ketika itu Adit mengajakku pergi menonton film ke bioskop. Film yang kami tonton sangat romantis sekali.
Film itu bercerita tentang perjuangan seorang pria, yang mengejar cinta seorang wanita. Seperti adit, iya Adit, aku jadi teringat perjuangan Adit.
Aku curiga. Apa Adit sengaja mengajakku menonton film ini?
Selesai menonton film Adit mengajakku makan di sebuah restoran.
Pemandangan di restoran ini sangat memanjakan mata. Beginilah tempat yang memang Adit sukai. Indah dan romantis.
Dengan sigap dia menarik kursi untukku duduk. Dia memang sangat perhatian padaku.
Selesai makan dia kembali menyatakan cinta kepadaku. Untuk kesekian kalinya.
Pada akhirnya aku luluh. Aku menerima cintanya.Tapi aku menerima cinta Adit bukan karena pelampiasan,- bukan…
Aku tersentuh atas sikapnya yang manis, perhatian. Dan sepertinya dia tulus mencintaiku.
Selama ini dia yang selalu bisa mengerti aku. Jadi wanita mana yang tidak luluh hatinya jika terus diperlakukan seperti itu.
Lagipula keputusan melupakan Roni sudah bulat. Mungkin ini terdengar naif, tapi aku sudah meyakini, Adit adalah masa depanku.
Tidak ada alasan aku tidak bisa nyaman dengan Adit. Aku bahkan sangat nyaman.
Setiap hari aku dan Adit bertambah mesra saja
Dari hari ke hari, aku malah bertambah cinta pada Adit. Mungkin lebih tepatnya merasa nyaman.
Iya Adit selalu bisa membuat aku nyaman. Dia baik, perhatian. Dan yang paling penting mencintaiku.
Hari-hari yang ku lalui dengan Adit sangat menyenangkan. Kami selayaknya pasangan lainnya. Saling mencintai dan saling mengisi.
Setiap pagi aku sendiri yang menyajikan kopi untuk Adit, memasak untuk dimakan berdua saat makan siang. Dan dia menyukainya.
Bahkan aku sengaja pindah kost dekat rumahnya, agar bisa searah berangkat dan pulang kerja bersama dengan dia.
Dia sangat romantis. Setiap libur kerja kami nonton dan makan di luar. Pada intinya aku sudah sangat bahagia dengan hidupku yang sekarang bersama Adit.
Tidak ada lagi luka, apalagi acara kejar mengejar cinta. Yang ada hanyalah saling perhatian dan sayang.
Namun beberapa hari ini, aku sering sekali melihat Roni nampak berbeda dari hari sebelumnya. Seperti siang ini. Dia tidak terlihat memesan makanan. Tidak ada petugas OB yang datang untuk disuruh membeli makanan.
Aku baru saja dari ruangannya, dan tidak melihat dia membawa bekal makanan.
Aku melihatnya murung, lesu dan tidak bersemangat. Dia seperti kehilangan dirinya sendiri. Seperti bukan dirinya yang kemarin.
Aku tidak bermaksud memperhatikannya, hanya saja ini terjadi beberapa kali di kantor.
Ah sudahlah, mungkin dia sedang ada masalah. Lagipula dia pasti tidak akan suka aku mencampuri urusannya.
Di tempat ini aku hanya perlu bekerja profesional. Sudah itu saja. Aku tidak boleh mengecewakan Tante Reni.