Mimpi Yang Aneh
"Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu," bisiknya lembut.
"Aku akan melakukannya dengan hati-hati," imbuhnya.
Ia menatapku begitu tajam. Aku terus menangis. Lalu dia memasukan sebuah obat, entah apa itu secara paksa ke mulutku. Obat itu sangat kecil. Celakanya obat itu tertelan olehku.
Entah karena aku sudah lelah meronta atau karena ada setan yang merasukiku. Atau karena Obat tadi?
Akhirnya akupun pasrah-
Aku seperti menyerahkan diriku begitu saja - Tanpa perlawanan lagi.
Tubuhku kini terasa panas. Wajahku memerah. Bahkan di kamar yang AC-nya begitu dingin tidak mampu membuat suhu tubuhku menjadi normal bahkan kedinginan," ada apa ini?"
Baju yang kurang bahan ini juga rasanya ingin kulepas karena kepanasan. Tubuhku menggeliat karena terasa panas dan seperti gatal, entahlah.
Terlebih ketika ia mulai membelai rambutku lembut. Entahlah - Kini aku mulai menikmatinya.
Akupun terlarut. Kepalaku mendongak dan tanpa sadar berputar manja. Dan itu membuat ia semakin nekat berbuat lebih.
Aku seperti bergairah dan ingin melakukannya. Astaga ini obat perangsang. Aku membiarkan tangannya meraih resleting belahan dadaku yang rendah. Lalu menurunkannya.
Perlahan tapi pasti dia melucuti semua bajuku. Tangannya mengabsen setiap jengkal tubuhku tanpa luput.
Dia mulai memainkan puncak gundukan di dadaku dengan bibir dan lidahnya. Sedang salah satu tangannya sibuk meremas bagian dadaku yang lain.
Tangan lainnya tak ia biarkan menganggur memainkan bagian intimku. Napasku seperti terengah-engah. Jantungku mulai berdegup kencang tak beraturan.
Semakin lama kami semakin berbuat jauh. Iya kami melakukan itu - Kalian tahu kan maksudku?
Rasa sakit yang kurasakan saat organ intimku dimasuki paksa kepunyaannya. Itu karena aku masih perawan sampai saat ini.
Aku meronta-merintih kesakitan. Tapi obat ini yang memaksaku menikmati sakitku.
Malam menjelang pagi suara desahan kami saling bersahutan. Setelah itu aku tidak sadar lagi apa yang kulakukan.
Paginya aku mencari Roni. "Pak,- Pak Roni!" teriakku sambil memegangi pahaku yang terasa begitu kaku.
Aku mencarinya ke berbagai sudut pada apartemennya ini. Sudah ku cari ke kamar mandi, ke dapur dan terakhir ke ruang tamu. Tapi aku tak menemukan batang hidungnya sama sekali.
Kemana dia pergi? apa dia tega meninggalkan aku sendirian setelah peristiwa semalam?
Aku masih mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku kemudian menelponnya lewat whatsapp tapi tak diangkat. Aku tak putus asa, Aku chat dia segera.
"Pak Roni angkat telpon saya!" bunyi chatku.
Tak lama ponselku berdering, sebuah panggilan dari Roni. Mataku berbinar. Ku hapus air mata di pipiku. Bibir tersenyum senang.
"Ha, halo Pak Roni?" jawabku gugup.
"Halo Nadia, ini Tante, Roni tadi pulang pagi-pagi sekali lalu tergesa-gesa pergi dan meninggalkan ponselnya" jelas Tante Reni.
"Lalu Tante lihat ponselnya berdering berkali-kali dari kamu ya udah Tante hubungi balik takutnya penting, ada apa Nad?" imbuhnya lagi.
Sesaat bibirku kelu tak bisa bicara. Tubuhku mematung. Mataku mulai basah.
"Halo Nad kamu masih disana?" tanya Tante Reni.
"Hiks." Suara tangisku mulai terdengar membuat Tante Reni bingung bercampur khawatir.
"Nadia kamu nangis? ada apa sebenarnya Nad? jangan bikin Tante khawatir Nad," tanya Tante Reni khawatir.
Aku berusaha menenangkan diri. Aku tidak ingin masalah ini bertambah rumit. Aku menghela nafas panjang.
"Nadia nggak papa Tante, Nadia boleh tutup telponnya nggak Tante?" pintaku menahan tangis.
"Bener kamu nggak papa?" Tanya Tante Reni memastikan. Tante Reni menambahkan " kalo ada apa-apa kamu bisa cerita ke Tante kok, siapa tau Tante bisa bantu?"
"Haha,iya Tante tapi beneran nggak papa, tadi cuma soal kerjaan aja, Nadia butuh tanda tangan Roni aja," jawabku asal.
"Ok, Tante tutup telponnya ya, see you." Tante Reni pamit.
" Iya Tan." Aku menjawab pendek.
Aku mulai kacau. Aku terduduk lemas di lantai. Tangisku pecah. Ternyata dia benar meninggalkan aku.
Dengan sisa tenaga yang kumiliki. Dan dengan hati yang hancur, aku pulang ke kost menggunakan taksi online.
Aku berjalan menuju taksi dengan langkah pincang, sambil memegangi kaki Sebelah kanan.
Sepanjang jalan aku menangis. Pak Sopir, eh salah! Bu Sopir karena yang mengemudi taksi wanita ternyata, melihatku dari kaca kecil di sebelah kiri atas kepalanya menatapku penuh tanya," ada apa mbak,kok nangis terus dari tadi?"
"gak papa Bu," Jawabku singkat
Dia tak bertanya lagi. Tapi dari kaca spion dalam mobil, dia menatapku sekali lagi ke arah bajuku, dengan tatapan heran.
Mungkin yang ingin dia tanyakan. Kenapa rambutku berantakan. wajah kucel. Dan memakai baju pria. Entahlah, apa itu benar atau hanya perkiraanku saja.
Aku memang sengaja menarik baju seadanya dari lemari Roni. Dan yang ada baju setelan kerja pria miliknya.
Tapi iya penampilanku benar-benar kacau pagi ini. Begitupun hatiku.
Penuh dengan sejuta pertanyaan bercampur ketakutan.
Kenapa Roni meninggalkan aku sepagi itu, bukankah Tante Reni pernah bilang Roni paling susah bangun pagi? Tapi mengapa dia tega, apakah dia pengecut tak mau bertanggung jawab?
Atau ketakutan dan ingin lari dari tanggung jawab?
Bagaimana kalau sampai aku hamil? Mama juga pasti akan sedih dan terpukul akan hal ini.
"hiks," Terdengar suara Bu Sopir menangis. Membuatku menghentikan tangis dan ketakutanku. Pandanganku menelisik ke arahnya.
"Ibu kenapa menangis?" tanyaku penasaran.
"Wajah adik membuat saya teringat sama adik saya, mirip," ucapnya.
"Tapi kenapa Ibu nangis, Adiknya udah meninggal ya bu?" Tanyaku heran.
Dia malah memicingkan matanya ke arahku.
Keringat dingin mulai bercucuran. Aku menggeser posisi dudukku, "Waduh!!! kenapa nih,apa aku salah ngomong ya?!" membuatku takut.
"Bukan! tapi dia lebih cantik dari saya, sehingga laki-laki yang saya suka malah memilih adik saya,hiks!" dia mulai menangis lagi.
Aku menggaruk kepala tak mengerti.
"Astaga aku kira aku salah bicara mengira adiknya telah meninggal" Aku menatap kesal.
"Sabar ya bu." Aku mencoba menenangkannya.
"E e eh,bu kenapa nih mobilnya?" Tanyaku takut.
Mobilnya sekarang melaju secara tidak beraturan. Untung saja jalanan sepi saat ini.
Si ibu malah mendadak pingsan . Aku segera pindah ke bangku depan. Aku goyang-goyangkan pundak Si Ibu.
" Bu, bangun bu…"
Akhirnya si Ibu bangun-Aku lega.
"Kepala Ibu pusing, adik bisa nyetir mobil gak?" tanyanya
Si ibu menangis. Aku yang tidak tega akhirnya terpaksa menurut. Aku sedang bersedih tapi rasanya aku mau menertawakan diriku sendiri.
Kalau Aku paksa Si Ibu ini nyetir yang ada nanti Aku bisa celaka. Kalau Aku tinggalkan Si Ibu tak tega rasanya.
Wajahku terlihat sedih tapi Mulutku seperti tersenyum-tapi juga cemberut apa kalian mengerti.
Di tambah Si Ibu malah tak henti-hentinya menangis dan Curhat masalah hidupnya, aku hanya mengiyakan saja.
Akhirnya mobil yang dikemudikan sampai di halaman kost-ku. Ah, akhirnya.
"Aduh!" aku mengaduh kesakitan memegangi perutku yang terasa seperti kram.
***
"Hhhhh! Hhhhh! Hhhhh!" Aku terbangun dari tidurku dengan napas terengah-engah. Aku meraba bagian intimku. Tidak sakit,-
Aku mengelus dada. Syukurlah. Aku hanya mimpi ternyata.
Mimpi yang aneh sekali.