POV Author.
"Bisa-bisanya aku mimpi seperti itu. Menjijikkan sekali," gumam Nadia. Dia merasakan sebuah kengerian setelah menyadari mimpinya semalam.
Nadia menelan ludah ketika mengingat mimpi itu. Tenggorokannya yang kering ia basahi dengan segelas air putih yang berada di atas nakas.
Belum sempat ia menghabiskan minuman itu, air tersebut langsung keluar lagi dari dalam mulutnya ketika ia melirik jam yang ada dinding sudah menunjukkan pukul setengah tujuh lewat. Dia segera beranjak dari tempat tidurnya dan menuju kamar mandi agar tidak telat masuk kerja.
Mimpinya yang aneh benar-benar membuatnya kelabakan. Karena seharusnya jam segini dia sudah rapi dan hanya tinggal berangkat saja.
TING TONG
Tiba-tiba suara bel berbunyi saat Nadia masih berkutat di meja riasnya.
"Siapa sih datang pagi-pagi begini?!" dumelnya dalam hati.
"Adit? Kamu ngapain ke sini?"
"Kamu mau ke mana rapi begitu?" Adit justru bertanya balik pada Nadia.
"Aku? Mau kerjalah. Memangnya mau apa lagi?"
Tawa Adit meledak melihat kepolosan kekasihnya tersebut.
"Kenapa? Kenapa kamu malah ketawa?" Nadia masih bingung dengan reaksi dari Adit.
"Ini kan hari sabtu sayang. Kamu lembur?"
Pundak Nadia merosot begitu mendengar pernyataan dari Adit jika hari ini ternyata hari sabtu. Dan dia seharusnya libur.
Nadia memijat keningnya yang karena malu. Dia kemudian berbalik dan melempar blazer yang sudah dia pakai ke atas tempat tidurnya.
Nadia yang malu merebahkan tubuhnya dan memunggungi Adit yang ikut masuk ke dalam apartemennya.
"Udah nggak usah malu. Karena kamu udah terlanjur dandan, mending kita jalan-jalan." Adit duduk di tepi ranjang Nadia yang bertingkah menggemaskan.
"Jalan-jalan ke mana sepagi ini?" kata Nadia masih dalam posisi yang sama.
"Kita cari sarapan dulu. Abis itu kita ke Mall oke? Kamu udah lama nggak shopping kan?"
Begitu mendengar kata shopping Nadia langsung melompat dan mengaitkan tangannya pada lengan Adit.
"Ayo!" ucapnya begitu semangat.
"Nah begitu baru pacarku." Adit mengelus rambut panjang Nadia dengan lembut.
ita udah nikah—kamu gak usah kerja ya?" pinta Adit membuat Nadia tiba-tiba terdiam.
"Ke—napa?"
"Ya—aku mau kamu cukup jadi istriku aja. Bisa kan?"
Nadia hanya mengulum senyumnya. Apa ini karena Adit takut akan terjadi sesuatu antara aku dan Roni?
***
Di tempat lain Rena, sahabat Nadia mengutarakan keinginannya untuk melanjutkan kuliah S2 ke luar negeri. Ia ingin kuliah di Polandia. Di tempat ayahnya tinggal. Sebagai orang tua yang baik, juga mampu secara finansial Reni, mamanya Rena dan juga Roni kakaknya mendukung penuh keputusan Rena. Hal ini juga demi kemajuan perusahaan.
Rena akan berangkat ke luar negeri 3 hari lagi. Waktu yang mendadak memang. Ia sengaja melakukan itu. Karena jika jauh-jauh hari ibunya akan melarangnya dengan berbagai alasan. selain untuk belajar disana. Alasan Rena pergi ke Polandia untuk tinggal bersama ayahnya.
Rena berencana akan mengundang Nadia untuk mengantarkannya ke bandara terakhir kalinya. Ia menelepon Nadia. Ia ingin ke rumah Nadia siang ini.
Rena meraih ponselnya, lalu menghubungi Nadia. Dan pada saat itu masih ada Roni juga mamanya.
***
Di tempat lain Nadia yang saat ini sedang nonton film. Ia masih berada di mall yang sama. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia merogoh ponselnya dalam tas. Ternyata itu telepon dari sahabatnya, Rena. Ia meminta izin kepada Adit untuk keluar dari ruangan bioskop, untuk mengangkat telepon dari sahabatnya itu. Dan diiyakan saja oleh Adit.
"Halo, iya kenapa Ren?"
"Kamu apa kabar? Kita lama lho nggak telponan?"
"Kabar aku baik Nad, kamu sendiri gimana? iya nih aku sibuk banget, sampai lupa nggak pernah hubungi kamu, sorry ya, " Sahut Rena.
"It's okay, nggak apa-apa, aku bisa ngerti kesibukan kamu kok Ren. Kapan kita bisa meet up, kangen nih? " Memang sudah sejak lama Nadia dan Rena tidak berjumpa. Bahkan di acara gathering dulu, Rena tidak bisa ikut, karena harus bertemu dengan papanya, yang katanya sedang merayakan ulang tahunnya di luar negeri.
"Siang ini kamu ada acara nggak? Kalau nggak nanti aku ke rumah kamu deh," tanya Rena.
Rena belum tahu saja, kalau Nadia terpaksa pindah dari rumahnya yang nyaman ke kost-kostan sempit dan kecil, karena tekanan batin yang kakaknya berikan.
"Aku sekarang tinggal di kost-an dekat kantor Ren, kamu Dateng aja nanti siang, nanti aku share lokasi, ya?"
"Oke, nanti siang aku kesana ya Nad, see you," ucap Rena mengakhiri telepon.
"Oke, see you, aku tunggu ya."
Dan tepat jam 1 siang, ketika Nadia pulang dari mall, Rena datang ke kost Nadia. Dan pada saat itu Rena diantar sendiri oleh Roni.
Iya, ini memang rencana Rena. Ia ingin kakaknya dekat dengan Nadia.
Rena mengetuk pintu kost Nadia.
"Nadia, ini aku, Rena."
Awalnya Nadia begitu senang mendengar suara Rena. Ia segera membukakan pintu untuk sahabatnya itu.
Namun ketika pintu dibuka. Nadia malah menampakkan wajah kesal, dan segera menutup pintu. Tatapannya penuh kebencian kepada Roni.
Roni dan Rena saling menatap heran, keduanya bahkan lupa menutup mulut mereka.
Rena mengerutkan alisnya, lalu memandang kakaknya penuh curiga. "Ada apa sih kak?"
"Mana ku tau," Roni berusaha menjawab dengan tenang. Padahal dalam hatinya dia juga bertanya-tanya, atas sikap Nadia yang berubah menjadi seperti itu.
Apa dia bersikap seperti itu karena peristiwa mati lampu kemarin?
Sementara itu. Di balik pintu Nadia nampak kacau. Ia sibuk menata hatinya. Bagaimanapun juga Roni tidak bersalah, itu hanyalah mimpi. Ia juga tidak enak hati jika Rena menunggu terlalu lama.
Nadia menghela napas panjang. "Ayolah Nadia, itu hanya mimpi," Nadia berusaha melupakan mimpi buruknya tadi malam. Lalu perlahan membuka pintu.
Nadia berusaha menghindari pandangannya pada Roni, entah mengapa mimpi itu terus saja menghantuinya.
Rena menatap khawatir wajah sahabatnya itu. Nadia terlihat ketakutan. "Nadia, kamu nggak apa-apa kan?"
"Nggak Ren, aku hanya capek, mungkin karena kebanyakan lembur," jawab Nadia menyindir Roni.
"Itu sudah tugasmu!" ungkap Roni ketus..