Sebenarnya Roni merasakan sakit luar biasa pada kepalanya. Tapi ia tahan, Roni tidak mau menampakkan pada mamanya. Ia tidak ingin mamanya sedih juga khawatir. Ia mencoba memejamkan matanya.
Roni membuka matanya kembali. Ia teringat adiknya Rena. Ia memberi pesan kepada ibunya juga Nadia agar tidak memberi tahu Rena tentang kejadian malam ini. Kalau tidak diberi tahu terlebih dahulu ia takut ibunya akan memberi tahu kondisinya saat ini.
Hal itu hanya akan merusak momen bahagia Rena bersama ayahnya. Ia juga tidak ingin Rena khawatir akan kondisinya.
"Ma, tolong jangan katakan kejadian malam ini pada Rena, aku tidak ingin merusak kebahagiaan Rena. Saat ini dia pasti sedang bahagia karena dia akan tinggal bersama ayah," ucapnya sambil tersenyum samar.
"Aku juga tidak ingin dia khawatir," imbuhnya.
"Iya, mama mengerti," jawab Reni menurut. Ia tahu bagaimana sifat anak lelakinya yang tidak mau terlihat lemah, demi untuk membuat dirinya juga adiknya khawatir.
"Saya harap kamu juga sudah paham ya Nadia?" tanya Roni melirik ke arah Nadia.
"Iya Pak, saya paham," jawab Nadia.
"Ma, bisakah aku tidur?" pinta Roni pada mamanya, kemudian memalingkan wajahnya. Nadia merasa kata-kata Roni seperti ingin mengusirnya. Lagipula tidak ada lagi alasan dia berlama-lama di tempat itu, malah akan mengganggu jam istirahat Roni.
"Oke, mama akan tidur di sana untuk menemanimu," jawab Reni, sambil menunjuk sebuah bed di ujung ruangan dengan llirikan matanya.
Ia ingin memastikan apakah kondisi anak pertamanya itu baik-baik saja atau tidak. Dilihatnya dengan saksama, karena jika diingat kembali luka yang ia alami lumayan berat. "Mukamu sangat pucat, apa kepalamu masih sakit?" tanya Reni mengerutkan keningnya.
"Udah nggak kok ma…" jawabnya bohong. Ia tidak mungkin jujur kepada ibunya. Kalaupun ia sakit, dia akan berusaha untuk segera sembuh tanpa menampakkan rasa sakitnya. Roni berusaha menampakkan senyumnya agar ibunya berhenti mencemaskannya.
Baginya kebahagiaan adik dan mamanya yang terpenting. Mereka sangat berarti bagi Roni melebihi nyawanya sendiri.
"Kalau gitu Nadia pamit ya Tante," ucapnya tak enak hati.
"Iya," jawab Reni pendek.
Ceklek!!
Nadia meninggalkan kamar FlamboyanVVIP no 2. Ia menyusuri jalan yang sudah mulai sepi, begitu juga saat di lift, hanya dirinya seorang diri yang berjalan menuju kamar Adit.
Ia membuka pelan pintu kamar Adit. Ternyata kekasihnya sudah tertidur pulas. Ia pandangi sebentar wajah Adit.
Nadia mengelus dadanya sendiri. "Syukurlah dia bisa tidur nyenyak malam ini. Cepat sembuh ya," ucap Nadia dengan tersenyum samar.
Setelah itu Nadia membaringkan tubuhnya pelan pada bed yang disediakan oleh rumah sakit, yang hampir sama seperti di kamar Roni.
Baik kamar Adit dan kamar Roni dirawat memang disediakan tempat tidur khusus untuk pengunjung yang ingin menemani pasien. Hanya saja karena kamar Roni VVIP jadi perbedaan hanya pada luas dan interior, dan tentunya kamar Roni lebih nyaman karena lebih mahal.
Nadia menarik selimutnya sampai ke dada. Ia memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur. Tapi ternyata sulit.
Sebenarnya saat ini ia sangat lelah, ia juga merasa mengantuk. Tapi nyatanya ia belum bisa tidur dengan nyenyak. Lalu ia duduk, masih dalam posisi di tengah kasur dengan menyibukkan sedikit selimutnya.
Ia teringat akan ponselnya yang mati karena baterainya habis. Untung saja ia selalu membawa chargernya dalam tas. Ia lalu mengambil ponsel beserta chargernya.
Nadia menarik sedikit sudut bibirnya. Ia sibuk mencari stop kontak. "Nah itu dia, ada stop kontak," ucapnya lega.
Nadia menghubungkan charger dan ponselnya, lalu mencolokkan pada stop kontak yang berada tepat di atas nakas.
Nadia kembali membaringkan tubuhnya di ranjang. Kali ini dia menenggelamkan kepalanya dalam selimut. Ia mencoba tidur tapi memori tentang pembegalan itu malah terbayang di otaknya. Ia juga terus saja dihantui rasa bersalah pada Roni.
Nadia memang seorang yang terlalu pemikir. Ia akan terus-menerus memikirkan sesuatu hal buruk yang dia alami.
Nadia sendiri sampai tidak tau kapan tepatnya ia bisa tidur pagi itu. Lebih tepatnya ia tidur karena lupa.
Di tempat lain di kamar Roni. Reni sudah sudah tertidur pulas, sementara Roni tadi hanya berpura-pura tidur. Sebenarnya ia belum bisa tidur.
Kepalanya masih terasa sakit. Dilain sisi ia juga teringat tentang meeting besok pagi. Meeting itu akan membahas tentang proyek besar untuk perusahaannya.
Roni meraih ponselnya yang ada di atas nakas. Ia lalu mengirim pesan chat kepada Nadia untuk menggantikannya meeting besok pagi.
"Mungkin saat ini dia sudah tidur, dan bisa membacanya besok pag," bisiknya.
Roni benar. Pesan itu tidak akan terbaca oleh Nadia malam ini karena ponselnya mati dan baru saja di charge.
Ia meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Dan sepertinya hatinya sudah lega, ia sudah mulai mengantuk sekarang.
***
Pagi harinya Nadia membuka matanya yang terasa masih berat. Ia memijat-mijat kepalanya karena terasa pusing. Tapi ia harus tetap bekerja. Bosnya sakit, sebagai seorang sekretaris tentu ia harus menggantikan tugasnya.
Ia melirik ke arah Adit yang masih tertidur pulas. Lalu tersenyum tipis, sepertinya Adit dapat tidur nyenyak.
Nadia menghela napas kasar, berbeda sekali dengannya yang diliputi rasa gelisah karena masih merasa bersalah.
Nadia meraih ponselnya yang ia charger di atas nakas malam itu. Saat ini ponselnya dalam mode off. Lalu ia memencet tombol power on.
Ada sebuah chat masuk. Tertulis nama 'Pak Roni' pada nama pengirim. Ia segera membuka pesan chat tersebut.
Rasa kantuk dan nyawa yang seakan belum terkumpul seketika ia paksa menjadi fokus kembali.
Roni: Gantikan aku meeting di kantor jam 9 pagi. Kalau kau telat, kau akan mendapat masalah'
Padahal walau tidak diingatkan sekalipun ia masih tetap ingat akan meeting itu. Ia sendiri yang sudah mengatur jadwal bertemu client, jadi mana mungkin ia lupa.
Chat dari Roni membuat Nadia sangat terintimidasi. Bagaikan sebuah mantra, titah dari bosnya mau tidak mau harus ia turuti. Tidak peduli selelah apapun ia sekarang. Ia tidak mau masalahnya berbuntut panjang. Ia masih ingin bekerja di kantor Roni.
Seketika pandangannya tertuju pada jam dinding yang terletak di atas pintu. Ia harus bergegas pulang. Ia mengambil tas selempang coklat miliknya, lalu menulis memo pada kertas putih kecil 'Maaf ya Dit, aku tinggal kerja, nanti sore aku akan ke sini. Nadia'
Setelah selesai menulis memo tersebut diletakkan pada atas nakas putih. Nadia akan terlambat jika harus menunggu Adit bangun.
Nadia buru-buru karena takut telat.