Nadia tersenyum samar. Ia menghela napas lega. Bagaimana tidak. Walaupun tadi sempat terjadi pertarungan sengit, tapi akhirnya Roni berhasil mengalahkan preman-preman itu.
Padahal awalnya Nadia meremehkan kemampuan Roni. Ia sangat takut Roni akan bernasib sama seperti Adit.
Nadia mengerutkan keningnya. "Aku harus menolong Adit." Nadia menjadi teringat akan pacarnya yang sudah tergeletak di jalan, setelah melihat situasi sudah aman.
Tapi ternyata tidak. Salah seorang preman bangun dan berhasil memukul kepala Roni dengan sebuah kayu besar di pinggir jalan.
Nadia menyesal, ia tidak sempat melihat gerakan preman tadi mengambil balok kayu itu sewaktu ia melepaskan seat belt dan membuka pintu mobil.
Ia melirik ke motor preman. Di sambarnya helm hitam metalik yang cukup tebal terjatuh dekat ban belakang roda motor. Sepertinya milik salah seorang preman. Lalu ia beranikan diri mengambil dan memukulkannya ke kepala penjahat itu kencang.
Prrookkk!!
Nadia membanting helmnya sembarangan. Preman itu mengaduh kesakitan tapi belum berhasil membuatnya pingsan apalagi terjatuh.
Mata Nadia membulat. Ia memundurkan kakinya. "Gawat!" ucapnya takut.
Tapi tidak dibiarkan oleh Roni. Dengan kepala menahan sakit ia menarik baju preman itu dari belakang lalu menindih pundaknya dengan lengannya kuat-kuat. Dan itu berhasil membuat si penjahat jatuh.
Hanya butuh waktu 5 detik polisi datang dan segera mengamankan kedua preman tersebut. Nadia segera menghampiri Roni. Ia takut bosnya akan mengamuk karena ia terluka karena sudah menolongnya dengan Adit.
"Aku tidak apa-apa, kenapa kau kesini, cepat tolong pacarmu yang lemah itu," ucapnya.
"I-iya Pak," jawab Nadia gugup bercampur bingung.
Lalu Reni dan sopirnya keluar dari mobil, mereka segera memapah Roni ke kursi belakang. Sementara Nadia dibantu Pak Didi memapah Adit ke mobilnya. Dan sekarang kedua mobil itu beriringan ke rumah sakit.
Nadia sudah tidak memedulikan lagi rasa lelahnya. Ia berusaha memfokuskan pandangannya untuk menyetir mobil Adit. Ia juga segera melupakan momen mengerikan kejadian pembegalan tadi. Yang ia pikirkan ia harus mengantar Adit ke rumah sakit, dan disaat yang sama menghawatirkan kondisi Roni.
Bagaimanapun juga Roni terluka olehnya. Ia harus memastikan kedua laki-laki itu baik-baik saja.
Tiga puluh menit kemudian. Mobil Adit dan Roni tiba di rumah sakit. Mereka berdua juga sudah ditangani oleh dokter dan sekarang masing-masing diharuskan dokter untuk menjalani rawat inap.
Meski tadi sempat menolong Nadia. Tapi luka di kepala Roni cukup serius. Mama Roni juga meminta dokter untuk lebih meneliti tentang cidera di kepala Roni.
Adit saat ini berada di ruang VIP Flamboyan no 3 di lantai 3. Nadia duduk di kursi samping tempat tidur Adit. Tadi Adit pingsan cukup lama setelah mencoba menghadapi begal, kini ia sudah sadar dan bisa diajak bicara.
Namun Nadia hanya berbincang-bincang sebentar dengan Adit, mengingat kondisinya yang masih lemah. Ia menyuruh Adit segera tidur, agar kondisinya segera pulih.
"Ini sudah hampir pagi Adit. Sebaiknya kamu cepat tidur. Agar kamu segera pulih," usulnya sambil mengusap lembut lengan kekasihnya.
Namun Adit justru mengkhawatirkan Nadia. Bagaimana cara Nadia pulang. Ia takut seseorang akan melakukan kejahatan seperti tadi yang baru saja mereka alami.
"Tapi bagaimana caramu pulang, aku takut akan terjadi sesuatu lagi padamu. Siapa yang akan menjagamu?" tanyanya.
"Aku tidak akan pulang, biar aku menginap disini menunggumu, dan pulang kalau sudah pagi," jawab Nadia.
Jawaban Nadia berhasil membuat Adit tenang.
Ia mencoba memejamkan mata, tapi hanya dua detik kemudian membukanya lagi. Ia terganggu dengan wajah Nadia yang seperti memikirkan sesuatu.
Sebenarnya memang ada hal lain yang menggangu pikiran Nadia saat ini. Ia mengkhawatirkan kondisi Roni. Dan tentu raut wajah Nadia dapat dibaca secara mudah oleh Adit.
"Apa ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan? Kamu seperti sedang mencemaskan sesuatu?" tanya Adit.
Adit tidak mengetahui bahwa Roni celaka karena menolong mereka dari 2 preman itu.
Nadia ingin menjenguk Roni dan ia menjelaskan bagaimana kronologi kejadian tadi, agar Adit tidak menjadi salah paham padanya.
"Saat ini Pak Roni juga dirawat di rumah sakit ini, dia cidera di kepala karena nolongin kita tadi."
Adit terkejut, bahkan ingin bangkit dari ranjangnya. Tapi ia masih merasakan nyeri di sekujur tubuhnya.
"Sudah-sudah, jangan bangun dulu, kamu masih sakit," cegah Nadia.
"Emm..Apa boleh aku menjenguknya?" Nadia bertanya ragu.
"Tentu saja, aku sebenarnya juga menghawatirkannya. Pergilah, sampaikan terima kasih padanya, juga rasa bersalahku karena membuatnya celaka."
"Iya," jawab Nadia diikuti senyum lembutnya.
Nadia sudah bertanya pada perawat jaga di mana Roni di rawat. Sesegera mungkin ia menemui Roni. Ia memencet tombol 4 saat sudah dalam lift. Roni dirawat dilantai 4, tepatnya di kamar Flamboyan VVIP no 2. tepat selisih satu lantai dari Adit. Ia menyusuri satu persatu kamar.
Tidak butuh waktu lama, hanya beberapa detik ia lalu melihat Reni.
Nadia berjalan mendekati Reni perlahan. Saat ini Nadia melihat Reni sedang menekuri lantai. Ia sedang harap-harap cemas dengan dokter yang masih ada di dalam ruangan Roni. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran Nadia.
Nadia menepuk pundak Reni pelan. "Tante?"
Reni mendongak. "Duduklah Nadia, Tante sedang menunggu dokter keluar."
Beberapa menit kemudian dokter akhirnya keluar dari ruangan Roni. Reni dengan sigap menghampirinya.
"Bagaimana dengan kondisi anak saya dok?" tanyanya cemas.
"Pak Roni sudah sadar. Dan sekarang dia mencari anda Bu," jawab dokter tersebut.
Reni tersenyum lega. "Syukurlah, terima kasih dok. Sekarang saya akan menemui anak saya dok."
"Silahkan Bu," jawab dokter.
Tanpa sadar Nadia ikut tersenyum. Ia juga bersyukur karena Roni telah sadarkan diri.
Tante Reni meraih tangan Nadia . "Ayo Nad, kita masuk," ajak Reni. Dan Nadia hanya menurut ia segera mengekor kepada Reni. "I-iya Tante."
Sampai di dalam kamar Nadia menatap wajah Roni dengan iba. Dia yang biasanya galak, dingin dan menyebalkan, ternyata terlihat menyedihkan juga kalau sakit. Apalagi semua ini karena dia dan kekasihnya. Ia bahkan belum sempat minta maaf kepada Reni atas musibah yang mereka alami.
"Sa- saya minta maaf, Pak, Tante, karena menolong saya dan Adit Pak Roni menjadi celaka seperti ini," ucap Nadia hati-hati.
"Kalian memang selalu menyusahkan aku," sambar Roni sinis.
"Maafkan saya Pak," Nadia semakin bersalah. Ia tertunduk lesu.
"Ah sudahlah, semua ini musibah, yang penting kamu kan tidak apa-apa," sahutnya. Reni selalu bersikap baik pada Nadia, terlebih ketika tahu ia sahabat putrinya. Ia bahkan sudah menganggap Nadia seperti anaknya sendiri.
Tapi meski Reni sudah berkata seperti itu, tetap saja Nadia merasa bersalah pada Roni.
"Kondisi Adit gimana Nad?" tanya Reni.
"Adit sudah sadar Tante, dan sekarang sedang istirahat."
Reni tersenyum. "Syukurlah kalau begitu."