Pulang ke apartemennya, Nea hanya bisa diam berdiri setelah ia masuk tiga langkah. Terdengar suara pintu apartemen yang tertutup perlahan.
Tatapannya kosong. Kedua kakinya pun segera melangkah memasuki apartemennya lebih dalam. Tanpa menggunakan alas kaki rumahan yang empuk. Telapak kakinya pun langsung merasakan lantai ubin yang dingin. Suasana apartemen yang selalu sunyi sangat mendukung rasa sedihnya.
Nea duduk di salah satu kursi meja makan. Ia sudah memegang segelas air putih, lalu meminumnya pelan.
Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Otaknya masih terus memutar momen percakapan dengan Ezra tadi. Nea benar-benar tidak bisa menahan emosinya. Pikirannya ingin menyambut Ezra, namun tindakannya menjadi lain.