Dua hari berlalu begitu saja. Setelah mengambil satu box kertas HVS dari ruang penyimpanan, Nea melihat layar ponselnya baru saja meredup.
Benda pipih berwarna hitam itu tergeletak di atas meja kerjanya yang rapi. Dan Nea segera mengecek ponselnya, apakah baru saja ada notifikasi pesan atau tidak.
Ternyata ada satu pesan yang baru dikirim oleh Lita. Nea membua pesan itu.
From : Lita
Mbak, David nanyain lagi nih. Maaf ganggu, pasti Mbak Nea lagi kerja yah. Aku cuman ngasih tahu aja Mbak. Kayaknya David sendiri agak terburu-buru gitu. Nanti pulang kerja bisa ketemu aku nggak Mbak?
13:42 PM
Nea hanya bisa mendenguskan napasnya pelan. Pikirannya terasa sangat berat. Banyak sekali yang harus ia pikirkan sekaligis dalam waktu bersamaan.
Padahal saat ini Nea baru saja mengeluh perihal beberapa customer yang banyak permintaan dan kritik. Data input sistemnya juga belum selesai. Belum lagi Nea harus bisa mengajukan beberapa dokumen dan harus selesai hari ini juga.
Terlebih lagi, di tanggal sekarang sudah mendekati akhir bulan. Akhir bulan adalah momok yang paling Nea takutkan. Yaitu lembur kerja bisa sampai malam. Bahkan ia pernah baru pulang kerja di jam sepuluh atau sebelas malam.
Namun jika kondisinya seperti ini, rasanya Nea ingin cepat-cepat resign saja. Benar kata ibunya, untuk apa ia terlalu memforsir pikiran dan tenaganya.
Kedua ibu jari Nea tampak bergerak di layar ponselnya. Ia sedang mengetikkan balasan untuk Lita dan mengirimkan balasan pesan itu dengan segera.
From : Nea
Gini aja Ta.. kamu bisa gak jemput aku? Jam setengah 5 sore gimana?
13:45 PM
From : Lita
Boleh Mbak. Kan sore aku udah bebas dari kafe. Nanti kalau aku udah di depan kantor bank, aku hubungin Mbak.
13:46 PM
Nea mengangguk pelan. Setidaknya nanti ia bisa berkeluh kesah secara langsung pada Lita. Dirinya sendiri sudah sangat lelah menjalani kehidupan ganda seperti ini.
Kehidupan ganda? Iya. Nea adalah seorang pengusaha dan sudah memiliki dua kafe. Kafe pertama ukurannya luas dan hampir menjadi tiga lantai. Lalu kafe kedua baru resmi dibuka di kota Depok. Namun ia masih bekerja keras menjadi seorang Customer Service di kantor bank? Sungguh, Nea itu definisi perempuan penggila kerja kelas kakap.
Penasaran ke mana uang gaji Nea sebagai Customer Service? Uang gajinya ia sumbangkan 70 persen ke sebuah panti asuhan yang dekat dengan perumahan elite rumah orang tuanya. Sedangkan yang 30 persen ia gunakan untuk belanja camilan sederhana untuk dirinya sendiri.
Terdengar aneh? Tapi memang begitulah Nea. Kalau tanggungan untuk orang tuanya sudah ia sendirikan dan dari hasil dua kafe tersebut. Tabungannya saat ini juga sudah banyak. Pantas saja jika ibunya menyuruhnya lebih baik bersantai saja dan fokus mencari pasangan.
Pasangan. Mengingat kata itu Nea terdiam dan termenung sejenak.
Dunia imajinasi. Haruskah Nea ke sana lagi? Selama dua hari berlalu ini Nea tidak merasakan ada pesan kiriman dari pria maskulin itu. Dan Nea juga tidak mengecek serbuk gliter yang ia taruh di dalam laci lemari.
Mengingat hal itu hanya membuat kepala Nea semakin pusing. Lebih baik ia fokus dengan apa yang ia kerjakan dulu di dunia nyata.
Hari Jum'at ini suasana kantor bank dominan sepi. Gak terlalu banyak customer rewel dan antrian panjang. Hal itu membuat Nea sangat lega sekali. Setidaknya ia bisa bernapas leluasa dan pikirannya sedikit adem. Dan ia bisa mencicil pekerjaannya yang belum selesai, agar nanti ia bisa pulang tepat waktu dan bertemu dengan Lita.
"Ney.. hari ini Gilang gak kelihatan ke mana ya. Apa dia sakit?" Tanya Dina.
Nea hanya mengedikkan kedua bahunya. Pandangannya tetap fokus pada layar komputer.
"Ck. Kamu gak peduli banget sih Ney sama dia. Padahal Gilang itu cukup ngebikin suasana kantor terasa ramai dan gak serius-serius amat. Gak ada yabg ngejahilin rasanya hambar." Gerutu Dina bosan.
"Kamu telpon aja dia ada di mana beres kan. Aku lagi sibuk dan mau ngebut nyelesaiin pekerjaan yang belum kelar." Kata Nea.
"Gak asik kamu Ney!"
"Ini kantor Din. Jangan ngebahas hal yang di luar kantor. Mungkin Gilang ada urusan pribadi. Kalau kamu mau bahas hal kayak gitu jangan sama aku. Sama yang lain aja. Ini kan jam kerja." Kata Nea sedikit sarkas.
Dina hanya bisa mencebikkan bibirnya. Akhir-akhir ini Nea kalau bicara memang suka ketus dan keramahannya berkurang.
Dina sedikit merasa sedih dan galau ketika sikap Nea berubah. Jika tidak berbincang dengan Nea, ia harus berbincang dengan siapa lagi? Meja Customer Service hanya ada dua. Ya. Customer Service di bank itu memang hanya Nea dan Dina.
Jumlah Teller ada empat orang. Penanganan di bank itu memang diharuskan cepat, cekatan, dan teliti. Meskipun Customer Service hanya dua, tapi setiap hari selalu bisa menangani banyak pelanggan.
***
Sekarang sudah pukul setengah tiga sore. Tiba-tiba Arumi keluar dari ruangan kerjanya. Perempuan muda yang cantik itu berjalan ke arah meja Dina dan Nea. Ia tersenyum ramah.
"Kalian nggak pulang molor kan hari ini?" Tanya Arumi ramah.
Dina dan Nea menggeleng bersamaan. "Nggak. Ada apa?" Tanya Nea.
"Bisa sekalian ikut barbeque di rumahnya Kevin? Nanti di sana kita sekalian bahas rapat rutin. Kata Pak Rudi isi rapatnya cuman singkat jadi bisa sambil dibikin santai. Jadi manti kalau pulang jangan pada mencar ya, kita saling tunggu dan bareng ke rumahnya Kevin." Kata Arumi.
Tentu saja Dina yang paling terlihat antusias dan energik. Gadis itu langsung mengiyakan ajakan Arumi.
Sebenarnya rapat itu hanyalah rapat rutin yang membahas event promo tabungan bank, tabungan berupa emas, dan hadiah lainnya. Nea tentu saja tidak bisa mengikuti rapat tersebut karena sudah ada janji dengan Lita.
"Nea kenapa? Nggak bisa ikut ya?" Tanya Arumi.
Kemudian Nea meringis kecil dan mengangguk. "Iya nih Rum.. udah ada janji penting sama orang. Lagian tumben banget sih rapatnya gak diumumin di grup chat?"
"Tauk tuh Pak Rudi. Dadakan sih emang. Si Mita juga gak bisa dia. Mau aku ijinin sekalian?"
"Boleh deh Rum.. emang Pak Rudi ke mana? Gapapa kamu yang ngijinin aku?"
Arumi terkekeh. "Ya gapaa lah. Rapat pentingnya kan masih satu minggu lagi. Rapat yang ini kamu boleh skip kalau emang bener-bener gak bisa. Tenang aja, nanti aku bilang ke Pak Rudi."
"Oke deh. Makasih ya Rum."
"Sama-sama Nea. Ya udah guys, aku balik ke ruanganku dulu." Ujar Arumi sambil melambaikan tangannya pelan.
Nea mengangguk dan tersenyum.
"Kenapa sih gak ikut aja? Ada barbeque loh." Kata Dina.
Nea menggelengkan kepalanya. "Aku lagi ada urusan yang lebih penting, Din. Lagian kenapa kamu gak hafal juga sih? Mendekati akhir bulan kan pasti Pak Rudi ngajakin makan-makan. Alasannya biar bikin kita semua semangat kerja dan closingan sampe malem. Aku juga yakin nanti di barbeque itu gak ada pembahasan apapun."
Dina terdiam. Ia merasa lebih baik diam saja dan tidak mengajak Nea bicara lagi. Kenapa makin hari Nea sangat ketus dan sensitif ya?
*****