Keadaan sekitar begitu senyap. Mia menengok ke setiap sudut rumah yang ukurannya lumayan besar. Sama sekali tidak ada orang di rumah. Ia bisa memaklumi, hari ini merupakan hari senin. Wajar saja kalau kedua orangtuanya belum pulang sama sekali walaupun hari sudah larut malam. Namun, dirinya bisa bebas ke mana pun ia mau. Mia merebahkan tubuhnya di sofa.
Hari ini begitu melelahkan. Ia telah menghadiri pesta ulang tahun Haya yang begitu meriah.
Hari ini juga, Mia telah mematahkan satu hati. Hampir setiap hari ada laki-laki yang menyatakan perasaannya. Memang tak masuk akal, tapi itulah kenyataannya.
Suara mobil terdengar di gerbang sana. Mia bergegas melangkah ke kamarnya agar ia tidak ketahuan pulang selarut ini. Untung saja Bi Surti sudah terlelap. Kalau tidak, Mia pasti sudah diinterogasi 7 hari 7 malam.
Badannya sudah terasa lengket, namun Mia tetap menidurkan diri di kasur tersebut. Sekujur tubuhnya ia tutupi selimut tebal. Tak lupa, lampu di ruangan itu Mia matikan.
"Mia sudah tidur atau sama sekali belum pulang?"
Itu suara ayahnya! Mila panik. Ia memejamkan mata seolah-olah sudah tertidur. Semoga saja aktingnya ini berhasil.
Pintu perlahan dibuka, Jeno menilik ke arah putri semata wayangnya disusul oleh Fera yang mengikuti dari belakang. Seketika Keduanya mendesau lega.
"Aku kira anak kita belum pulang." ujar Fera.
"Putri kita enggak akan seperti itu," Jeno menilik ke arah istrinya.
"Iya, aku tau." sudut bibir Fera terangkat. Saat Jeno hendak berbalik, Fera tiba-tiba berdiri di depan Suaminya tersebut.
"Ada apa?"
"Besok aku mau ajak Mia ke mall boleh?" tanya Fera.
"Aku enggak pernah ngelarang kamu ka-"
"Yeay! Besok ke mall!" Mia begitu senang. Saking senangnya, ia lupa bahwa akan sandiwaranya itu.
Fera dan Jeno saling menatap heran. Seketika Jeno menggeleng-gelengkan kepala.
"Kamu belum tidur, Nak?" tanya Fera. "Loh, kok bajunya masih sama kaya waktu pagi?"
Kesadaran Mia kembali. Ia baru ingat tentang sandiwaranya! Mia terdiam sejenak. Ia terkekeh tanpa beban seraya mengusap lehernya yang tak gatal.
"A-anu... Mia... Mia tadi belum mandi, Mah. Badan Mia enggak enak banget. Kepala Mia pusing gitu."
Ekspresi wajah Fera berubah khawatir sama seperti Jeno. Langsung saja Mereka berdua menghampiri Mia.
"Ya ampun... kamu kok dari tadi enggak bilang?" Fera meletakkan telapak tangannya di kening Mila. Tidak terasa panas sama sekali.
"Mas, cepet telefon Dokter." perintah Fera pada Jeno.
"Ehh... tunggu. Jangan, Mah. Nanti juga Mia pasti sembuh sendiri." tolak Mia. Tangannya memegang erat lengan Fera.
"Enggakpapa, Nak. Penyakit sekecil itu bisa jadi penyakit serius loh," Fera melepaskan gengaman Mia.
'Aduh. Gimana ini... seharusnya gue enggak bangun. Dasar bodoh!" gerutu Mia di dalam batin.
Jeno merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. Setelah dapat, ia mencari nama 'Dokter' di list kontaknya.
Semoga jangan diangkat... semoga jangan diangkat... batin Mia sembari menatap serius ponsel Ayahnya.
"Tidur, Nak. Jangan duduk nanti kepala kamu tambah sakit," tegur Fera.
"I-iya, Mah."
"Telefonnya enggak dijawab." Jeno memasukkan ponselnya kembali ke saku.
"Astaga. Aku khawatir banget. Nanti anak kita kenapa-kenapa gimana?"
"Mah, sakit kepalanya udah baikan kok. Aku mau tidur ya," Mia pura-pura menguap.
"Tapi, kamu..."
"Tenang aja, Mah. Aku udah baikan kok. Tinggalin Mila sendiri. Mau tidur," senyum khas Mila tampakkan membuat Fera dan Suaminya seketika luluh sekaligus menuruti permintaan putri Mereka.
"Beneran?"
"Iya, Mamah." jawab Mia lemah lembut.
Jeno dan Fera saling menatap sejenak, kemudian Mereka kompak keluar dari kamar itu. Namun, saat Fera akan menutup pintu, Mia memanggilnya.
"Besok jadi ke mall kan, Mah?" tanya Mia memastikan.
"Jadi. Tapi, kalau kamu sudah sembuh." Fera menyunggingkan senyum.
***
Semua orang yang ada di tempat perbelanjaan itu menunduk. Hari ini, istri dan anak pemilik bangunan megah itu datang. Siapa lagi kalau bukan Fera dan Mia. Jeno memiliki banyak tempat perbelanjaan. Salah satunya bangunan yang sedang dipijak oleh Mia dan Fera saat ini.
Pintu mobil berwarna merah tersebut dibuka oleh dua orang bertubuh kekar. Detik kemudian, dua wanita keluar dari dalam mobil tersebut.
Pakaian yang dikenakan Mia sangat sederhana. Hanya celana jeans serta kaus putih polos bergambar strawberry, namun mampu menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Putri dari pasangan bernama Fera dan Jeno itu sudah terkenal karena kecantikannya. Tahi lalat yang terletak di atas ujung bibir membuat senyuman Mia sangat manis. Tubuhnya yang tinggi membuat Mia sering ditawari menjadi model, akan tetapi Mia tolak mentah-mentah. Ia tak mau merasa tertekan setelah menjadi model dengan jadwal yang diperkirakan sangat padat itu.
"Apa Mamah bakal beliin aku kalung lagi?" tanya Mia menghiraukan mata semua orang yang sedang menatapnya.
"Tentu saja. Apapun yang kamu minta, pasti Mamah turutin." jawab Fera.
Mereka berdua di antar ke sudut mall yang terdapat toko perhiasan di sana. Mood Mia berubah menjadi baik sekali ketika melihat emas-emas terpampang indah di hadapannya!
"Mau yang mana?" Fera melirik Mia.
Tangan Mia menunjuk kalung emas silver yang masih tersimpan dan dilapisi kaca.
"Ambilkan," perintah Fera pada karyawati yang ada di sana.
1 kotak perhiasan berisi kalung emas silver tersebut dikeluarkan. Mata Mia berbinar-binar. Tetapi, sebuah cincin berlian berhasil mengalihkan perhatian Gadis tersebut.
"Aku mau cincin itu juga, Mah!" seru Mia.
"Oke. Ambilkan cincin itu," perintah Fera kedua kalinya.
"Aku mau dua-duanya boleh kan?" Mia bertanya ragu-ragu. Sudah 3 kali dalam seminggu ini dia membeli perhiasan. Entah kenapa, hal yang ia lakukan saat ini membuatnya begitu bahagia.
"Boleh."
Selesai membeli perhiasan, Mia beralih bagian toko baju.
"Selamat datang, Nona Mia." sambut seorang wanita paruhbaya dengan senyuman ramahnya. "Ada gaun yang baru saja di impor dari Perancis. Gaun itu dibuat oleh penjahit terkenal di kota Paris. Apa Nona Mia akan mencobanya?"
"Pasti!" wajah Mia berseri-seri.
"Mamah mau beliin aku gaun dari Perancis itu kan?"
"Iya, sayang."
Tak memakan waktu lama, wanita paruhbaya tadi kembali menghadap Mia sembari membawakan gaun berwarna merah yang berkilauan indah.
"Woah..." takjub Mia. Ia langsung meraih gaun itu. "Aku coba dulu boleh kan?"
Fera bertanya, "Kamu suka gaun itu?"
"Iya,"
"Berapa harganya?"
"Dua ratus juta, Nyonya."
Fera meraih tas mini yang disangkutkan di bahunya. Ia mengambil dompet, lantas mengeluarkan kartu kredit. "Gesek saja," ucapnya sembari menyodorkan kartu itu.
"Mah, gaun ini kemahalan." Mia terkejut bukan main. Ia menggantungkan gaun itu.
"Enggakpapa."
"Tapi ka-"
"Sudah... sudah. Mamah enggak mau dengar penolakan dari kamu, oke?"
Mia mau tak mau mengangguk.
"Tolong bungkus gaun ini se rapih mungkin ya? Jangan sampai ada bagian gaun yang rusak."
"Baik, Nyonya."
Belum cukup, Mia membeli makanan berlapis emas yang harganya tak kalah mahal dari gaun berwarna merah yang barusan ia beli. Fera sama sekali tidak melarang anaknya. Dia akan menuruti apapun permintaan Mia asalkan, Mia bahagia setiap detik.
"Mila mau ke kamar mandi dulu ya, Mah." dia beranjak. Fera menganggut-angut, tak bisa menjawab karena mulutnya sedang mengunyah makanan.
Semua pintu kamar mandi dikunci dari dalam. Badan Mia seketika lemas. Ia harus menunggu untuk beberapa saat. Sembari menunggu, dia meraih ponsel untuk men-scroll media sosialnya.
15 menit berlalu. Mia masih fine-fine saja. Ia membalas semua komentar yang ada di postingannya.
17 menit, Mia menilik salah satu pintu. Tidak ada satupun yang keluar.
20 menit, Mia merasa jengah! Ia tak bisa menahan buang air kecilnya lagi. Dia melangkah mendekati salah satu pintu untuk mengetuknya. Mia tak peduli jika orang di dalamnya marah atau apa. Lagian juga, kamar mandi ini milik ayahnya.
Akhirnya suara pintu yang dibuka terdengar oleh Mia. Bukan pintu kamar mandi melainkan, pintu utama.
"Maaf, ini kamar mandi cewek. Bukan cowok."