"Lo mau apa? Lo jangan macam-macan ke gue! Gue jago bela diri!" Mia ketakutan melihat Laki-laki itu mendekatinya.
'Ya Tuhan, tolong maafkan dosa-dosa Mia. Mia tau, Mia itu orang baik, makanya di ambil duluan.' batin Mia merasa hidupnya tak lama lagi.
Dugaannya ternyata salah. Laki-laki bertubuh gempal itu malah mendekati salah satu pintu yang masih tertutup rapat.
"Eh, lo mau ngapain? Itu di dalam masih ada orang." dengus Mia.
Lelaki gemuk itu malah berjongkok seakan-akan mau mengintip. Kepanikan Mia semakin menjadi. Haruskah ia menelefon polisi sekarang? Tapi, ia takut Laki-laki itu marah dan malah menyerangnya.
"Lo jangan ngintip! Gue telefon polisi nih!" ancam Mia, namun Lelaki tersebut malah bersikap santai dan tak memedulikan ancaman Mia.
Pikiran Mia sudah traveling ke mana-mana saat Lelaki itu mengeluarkan sebuah bungkusan plastik. Mia takut, jangan-jangan di dalam isi bungkusan itu terdapat pisau yang akan siap menusuk perutnya!
"Dasar tukang ngintip!" Mia menendang kepala Lelaki tersebut sampai-sampai terjatuh ke samping.
"Gue enggak akan biarin lo ngintip! Enggak akan pernah!"
Bugh
Satu tamparan mendarat di pipi tembam Laki-laki asing tersebut. Semua orang yang ada di dalam kamar mandi kontan keluar. Orang-orang yang tadinya hanya melintas di depan kamar mandi, kini masuk ke dalam untuk menyaksikan kejadian itu.
Hancur sudah image yang Mia jaga selama berada di mall ini. Mia memegang kerah Laki-laki itu, kemudian memukul pipi Lelaki tersebut tanpa henti membuat sudut bibir Laki-laki tersebut mengeluarkan cairan merah.
"Tunggu. Jangan pukul dia." Seorang Gadis yang berasal dari kamar mandi melerai Mereka. "Delon, lo enggakpapa?"
"Jangan kasihani dia, Mbak. Dia mau ngintip Mbak tadi," terang Mia.
"Diam kamu!" hardik Gadis itu. Matanya kembali menatap Delon. "Kenapa kamu enggak ngelawan?"
Yang ditanyai hanya diam. Benak Mia mulai bertanya-tanya. Seharusnya dia yang diberi perhatian, tapi ini malah pelakunya.
"Dia ke kamar mandi ini buat nganterin barang. Kamu jangan menghakimi dia dulu. Tanya penyebabnya ke sini tuh buat apa," jelas Wanita yang nampaknya seumuran dengan Mia. Ia meraih bungkusan yang sedang digenggam oleh Delon, lalu membukanya. Semua orang tergemap melihat isi dari bungkusan itu.
"Pembalut?" Mia menatap tak percaya sekaligus jijik.
"Dia itu pramuniaga di toko sebrang sana. Kamu jangan nuduh dia yang enggak-enggak."
"Ada apa, Nak? Kok semuanya pada ngumpul di sini?" tanya Fera yang baru saja sampai.
Mia memilih tak menjawab pertanyaan. Ia pergi begitu saja karena malu. Terdengar sebagian orang berbisik-bisik sembari memicingkan mata ke arahnya. Mia menyesal. Seharusnya ia tak memukul Laki-laki itu, namun yang membuat Mia kesal, kenapa Lelaki itu tak menjawab pertanyaannya?
"Dasar cowok aneh!" gumam Mia.
***
Dila tertawa terbahak-bahak mendengar cerita Mia barusan. Mia mendecak kesal. Seharusnya Dila prihatin atau panik, sama seperti dirinya, tetapi malah tertawa seperti itu.
"Lo masih waras kan?" Mia memandangi setiap inci wajah Dila.
"Tenang, samyang. Gue masih waras. Enggak kaya lo yang udah gi-"
"Ih! Percuma gue curhat ke lo." rengek Mia. Wajahnya memerah karena marah, akan tetapi bagi orang yang melihatnya terlihat seperti bayi menggemaskan baru lahir. "Si bumbu Aida kok belum dateng?"
"Aida masih ngebo. Oh ya, makanya lo jangan main pukul. Selidiki dulu ke benarannya, Mi." usul Dila.
"Prett! Gimana mau nyelidiki kalau yang ditanya diam aja?" Mia menghentak-hentakkan kakinya. Gara-gara kejadian kamar mandi itu, Mamahnya memarahi Mia habis-habisan. Image nya juga menjadi korban. Mia berdiri. Niatnya mau ke kelas, namun ia urungkan setelah melihat Brian berjalan ke arahnya. Brian itu teman sekelas Mia. Sering dipuja oleh para gadis sebab wajahnya yang tampan, tapi imut. Bisa dibilang, Brian mirip oppa-oppa Korea.
"Dia mau nembak lo," cakap Dila yang mendadak sudah ada di belakang Mia.
"Aish, gue capek nolak mulu."
"Terima aja. Simple kan?"
"Enggak lah. Gue sama sekali enggak suka cowok itu." gerundel Mia selirih mungkin agar tidak terdengar oleh Cowok yang bernama Brian itu.
"Kabur aja yuk!" ajak Dila. Mia menggeleng pelan.
"Loh, kok enggak mau?"
"Kalau gue kabur, dia pasti bakal nyariin gue lagi. Gue mau jawab sejujurnya aja. Bodoamat kalau dia sakit hati atau apa kek." tandas Mia. Tinggal beberapa langkah lagi Brian sampai di depannya.
"Sebaiknya lo pergi dulu." pinta Mia pada Dila.
"Oke, Samyang." Dila berjalan mundur. Ia kembali ke kelasnya menggunakan jalan pintas yang ada di halaman belakang sekolah.
"Samyang-samnyang! Lo kira gue makanan?!" dongkol Mia. Tanpa disadari, Brian mendadak sudah berdiri tepat di depannya.
"Lo ngomong apa?"
Mia terkesiap. Pelan-pelan ia membalikkan tubuhnya. "Eh, Brian." Mia cengengesan. Tahi lalat yang berada di atas ujung bibirnya membuat Mia semakin manis ketika tersenyum.
"Eum... mau apa nemuin gue?" tanya Mia pura-pura tidak tahu walaupun dirinya sudah melihat bunga mawar sedang digenggam oleh Brian.
"Gue sebenernya ragu mau ngomong soal ini ke lo, tapi gue udah enggak bisa nahan perasaan ini lebih lama lagi," ungkap Brian. Terlihat tangannya sedikit gemetar. Keningnya basah gara-gara keringat yang keluar.
"Kok lo jadi kelihatan gugup sih?"
"Ah, iya. Gue biasa kaya gini,"
"Lo enggak bawa tissue?" tanya Mia.
"Enggak. Gue lupa."
"Bentar," Mia mengeluarkan tissue yang ia bawa tadi. Tangan Mia terulur mengusap keringat Brian yang bercucuran.
Brian tak bisa berkata-kata. Melihat wajah manis Mia sedekat ini membuat jantungnya berdetak begitu kencang.
"Udah. Lo se-"
"Gue suka sama lo. Lo mau jadi pacar gue?" Brian dengan cepat memotong perkataan. Akhirnya ia bisa mengatakan seperti itu setelah 1 tahun dipendam dalam-dalam.
Sudah Mia duga sebelumnya. "Hah? Apa?" ia berlagak terkejut.
"Gue sayang dan suka banget sama lo. Gue tanya sekali lagi, apa lo mau jadi pacar gue?" tanya Brian penuh harap. "Kalau lo mau jadi pacar gue, lo terima bunga ini. Kalau enggak, lo jangan ambil bunga ini."
"Sebelumnya maaf banget. Mia mau Brian itu jadi sahabat Mia selamanya. Mia ngerasa enggak cocok buat Brian." gaya bicara Gadis itu berubah seperti anak kecil polos.
"Jadi lo nolak gue?" tanya Brian memastikan.
Kepala Mia manggut-manggut.
Bunga yang digenggam Brian kontan jatuh ke tanah.
"Brian enggakpapa?"
'Pake tanya lagi!' sungut Brian di dalam hati.
"Enggakpapa. Semoga lo dapat cowok yang lebih baik daripada gue," tanpa berkata apapun lagi, Brian meninggalkan Mia sendirian di sana. Hatinya terasa tercabik-cabik.
Setelah punggung Brian tak kelihatan lagi, Mia mendesau lega. Ia tak bisa menerima perasaan Brian sebab dia sama sekali tak menyukai laki-laki tersebut dan juga Brian bukan tipenya.
"Sandiwara lo cukup bagus." suara Wanita terdengar dari arah belakang sana. Mia kontan menoleh.
"Gue lagi males ribut." Mia tak menghiraukan ucapan Stella yang memancing emosi. Sejak dirinya masuk ke SMA ini, Stella selalu membuat gara-gara supaya Mia terpancing emosi. Cukup image nya hancur di mall, tapi di sekolah, Mia tak akan menghancurkannya lagi.
"Dasar cewek bermuka dua! Di depan cowok, lo pura-pura manis, tapi kalau di depan gue muka lo berubah. Wajah cantik, tapi kelakuannya mirip iblis!" hardik Stella.
Dahi Mia mengernyit. "Ck. Kapan gue bersikap jahat ke lo?" Mia menggeleng-gelengkan kepala. Ia berbalik badan hendak ke kelas.
Baru beberapa langkah, Mia berhenti. "Muka gue cuma satu, bukan dua." tegas Mia tanpa menolehkan kepalanya.
"Awas aja lo!" murka Stella.
Stella tak kalah populer dari Mia di SMA Nusantara ini. Stella terkenal karena kecantikannya, sedangkan Mia berkat prestasi dan juga wajah yang manis. Sifat Mereka berdua bagaikan langit dan bumi. Sangat berbeda.
Mindi dan Loli kompak memegang pundak Stella.
"Gue akan bantu lo balas dendam." ujar Loli.
"Gue juga." tambah Mindi.
***
"Makanan itu dimakan. Bukan diaduk-aduk enggak jelas." protes Dila dengan mulut penuh makanan.
"Lo ngomong apa?" dahi Mia mengerut.
Dila mengunyah cepat makanannya, kemudian menelan dengan susah payah. Mia yang melihat itu semakin penasaran.
"Lo kenapa enggak makan? Lo diet lagi?" tanya Dila.
"Enggak."
"Ya udah! Makanannya buat aku aja ya?" sergah Aida seraya bergabung duduk di antara Mereka. Tanpa menunggu jawaban dari Mia, dia mengambil mangkuk yang berisi bakso itu.
"Udah selesai ngerjain hukumannya?"
Mulut Aida yang sudah sesak karena makanan, hanya bisa mengangguk.
Dila yang cuek bebek kembali melanjutkan aktivitasnya.
"Ay, Dil," panggil Mia.
"Hm?" sahut Aida bersamaan dengan Dila.
"Emang sifat gue mirip iblis?" tanya Mia lirih.
"Uhukk... uhukk..." kontan Dila tersendak.
"Apa?! Siapa yang bilang itu ke kamu?" sungut Aida.