"Biasanya siapa?" Mia malah menanya balik. Aida tahu orang yang dimaksud Mia.
Pandangan Mila teralih ke Dila. Ia segera mengambilkan teh gelas yang ada di sana. "Si Tante kaya nenek-nenek aja." ledeknya.
Dila memicingkan mata. Ia merebut gelas yang disodorkan oleh Mia, kemudian menengguknya sampai tersisa setengah.
"Siapa yang bilang kaya gitu ke lo? Si setelan ganggu lo lagi? Biar gue kasih pelajaran ke itu anak!" geram Dila.
"Jangan. Nanti dipanggil guru BK loh," cakap Mia dengan malas. Ia terus saja mengaduk-aduk gelas dengan sedotan. Es teh itu bahkan belum Mia minum sama sekali.
Dila seketika melemas. Pernah dirinya masuk ke ruang BK gara-gara ulah Stella, Mindi dan Loli. Mereka bertiga pandai berakting terutama di depan para guru.
"Kak Mia..."
Mia, Aida dan Dila otomatis menoleh ke sumber suara.
"Lia?" Mia tergemap. Baru pertama kali adik kelasnya yang terkenal pemalu itu datang padanya. "Ada apa?"
"Kakak disuruh ke perpustakaan." tutur Lia.
"Disuruh siapa?"
"Enggak tau. Pokoknya Kakak harus ke sana sekarang." Lia segera beranjak. Yang terpenting, tugasnya kini sudah selesai.
Mereka bertiga saling menatap heran.
"Menurut kalian, gue harus ke sana gitu?" tanya Mia.
"Ke sana aja. Siapa tau, ada murid cowok yang nembak lo." ucap Dila dengan tatapan menggoda.
Sedangkan Mia? Ia begitu jenuh lantaran setiap hari ada saja yang menyatakan perasaan padanya. Aida menyarankan Mia untuk menerima laki-laki yang menembaknya itu, namun ia tolak. Mia tak mau berpacaran dengan orang yang sama sekali tak ia sukai. Mia ingin bertemu seseorang yang bisa membuat dirinya lengkap ketika berada di dekat Laki-laki itu.
"Kalian jangan ikut," ujar Mia.
"Loh, kenapa?"
"Kalian belum selesai makan kan?"
Dila dan Aida terdiam. Memang benar sih, apa kata Mia.
Suasana perpustakaan yang cukup sepi membuat Mia sedikit merasa takut. Tak ada satu murid pun yang ke tempat itu.
Semuanya memilih untuk mengisi perut di kantin. Kalau ada murid, itu pun saat masa ujian saja.
Apa Lia bohong? Enggak. Enggak. Dia orangnya bukan kaya gitu. batin Mia.
Mia memilih duduk di bangku yang ada di sana. Sesekali ia menguap lantaran mengantuk. Tadi malam ia begadang hanya untuk maraton drama.
"Ternyata lo dateng lebih cepet dari yang gue duga."
Suara berat itu... Mia mengenalnya. Itu suara Galang, kakak kelas yang akhir-akhir ini bertingkah aneh padanya. Bagaimana tidak? Setiap Mia pulang, Galang selalu menawarkan tumpangan motor. Saat jam pelajaran berlangsung, Galang mengintip dari jendela hanya untuk mengecek keadaannya. Galang juga pernah datang ke rumah Mia pekan lalu. Untung saja mamahnya menganggap Galang itu sebagai sahabatnya. Bukan teman 'Spesial'.
Galang berdiri di depan Mia. Dia menyembunyikan sesuatu di belakang badannya.
"Ada apa panggil Mia ke sini?"
"Gue mau nembak lo." tandas Galang.
Mia tak menyangka Galang bisa mengatakan itu dengan mudahnya. Galang berbeda dengan laki-laki lain. Tak ada keringat yang menetes dan juga tangannya tidak nampak gemetar.
"Kalau Mia ditembak, berarti mati dong."
Galang terkekeh. "Bukan itu maksud gue." ia berdeham beberapa kali. "Langsung to the point. Lo mau jadi pacar gue untuk selamanya?"
Sudah Mia duga. Lagi-lagi, ia mematahkan satu hati lagi hari ini. "Selamanya?"
"Iya."
"Berarti seumur hidup, Mia enggak boleh nikah sama laki-laki dong. Kan Mia udah punya pacar."
"Ho'oh. Lo enggak boleh nikah sama laki-laki manapun kecuali, nikah sama gue." kata Galang yang membuat cewek seketika dimabuk cinta.
Mia berusaha menyembunyikan ekspresi jenuhnya dengan senyuman manis.
"Lo makan gula kebanyakan ya?" tanya Galang.
"Enggak lah. Nanti diabetes tau. Emangnya kenapa Galang tiba-tiba tanya kaya gitu?"
"Muka lo manis banget."
Gombal pasaran! batin Mia.
"Masa sih?" Mia tertawa kecil.
"Iya. Jadi gimana? Lo mau nerima gue?"
"Mia sebelumnya minta maaf." jawab Mia ragu-ragu.
Hati Galang mendesir perih. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Mia. Cokelat yang tadi ia genggam, spontan terjatuh. Tanpa basa-basi, Galang memeluk erat Mia.
"Gue cinta mati sama lo, Mi. Setiap malam, wajah lo selalu terngiang-ngiang dipikiran gue." jelas Galang.
Mia merasa sangat bersalah sekali. Ia tak bisa memaksakan hatinya untuk menyukai ataupun mencintai Galang. Setiap berada di dekat Galang, Mia tak merasakan hal apapun. Rasanya hambar seperti makanan tanpa bumbu.
Ada jeda hening di antara Mereka berdua.
"Mia, lo kenapa diam aja?" tanya Galang memastikan. Ia melepaskan pelukan.
Kedua matanya kini benar-benar basah.
"Galang jangan nangis dong. Kata-kata Mia buat Galang sedih ya?"
"Enggak. Gue Cuma terharu aja."
"Terharu kenapa?" Mia semakin merasa bersalah.
"Terharu karena gue akhirnya bisa nyatain perasaan gue ke lo. Pertanyaan gue belum dijawab, Mi. Apa lo butuh waktu dulu?"
"Mia mau jawab sekarang." dia menarik nafas sejenak, kemudian membuangnya secara perlahan. "Mia enggak bisa jadi pacarnya Galang."
Deg
"Galang jadi sahabatnya Mia aja. Lagian, apa bedanya sahabat sama pacaran? Keduanya sama aja kan?" lanjut Mia dengan raut muka seperti anak kecil sekaligus polos.
Gadis yang di hadapannya ini memang benar-benar tak tahu atau pura-pura? Sahabat dan pacaran itu memiliki makna yang sangat berbeda. Galang berusaha menahan emosinya mati-matian.
"Ucapan Mia, benar atau salah? Galang, kok malah ngelamun?" Mia mengibas-ngibaskan telapak tangannya tepat di depan wajah Galang. Refleks lamunan Galang terbuyar.
"Kenapa?" Galang malah bertanya. Ekspresinya sekarang seperti orang dungu.
"Enggakpapa. Mia cuma bingung lihat Galang tiba-tiba melamun kaya gitu." Mia mengubur pertanyaan tadi dalam-dalam sebab tak ingin menyakiti lagi hati Cowok yang ada di depannya ini.
"Bro!" panggil Zion, teman akrab Galang. "Gue mau nyampein kabar penting." katanya setelah berada di depan temannya itu.
"Gue mau bicara sama dia sebentar ya," kata Galang pada Mia.
Mia terkesiap ketika Galang tiba-tiba memegang pipi tirusnya sejenak.
Galang menjauh dari Mia beberapa langkah. Ia tak mau Mia mendengar percakapannya dengan Zion.
"Kabar apa?"
"Ada sekolah yang ngajak tawuran."
"Sekolah mana?"
"SMA Basujaya."
"Sial! Mereka melanggar kesepakatan. Gue paling males kaya gini." Galang menggertakkan giginya pertanda sudah sangat kesal.
"Kata mereka, kesepakatan itu enggak ada artinya. Mereka terus ngejek sekolah kita. Gue juga benci! Bila perlu, kita tebas aja tangannya."
"Lihat aja nanti." Galang menyeringai membuat siapa pun yang melihatnya ketakutan termasuk Mia.
Tanpa disadari Mereka, Mia menguping semua percakapan tadi. Rasa bersalah kini telah hilang sebab keputusan yang Mia ambil membuatnya terhindar dari Galang. Tampang Galang begitu sangar apalagi ketika marah. Bisa-bisa Mia kejang-kejang setiap hari kala berpacaran dengan Cowok tersebut.