Hari ini adalah hari terakhir Sasya di rumah sakit, namun sejak pagi hari tadi Bryan belum juga muncul.
Sasya mendecak pelan, dirinya merasa bosan.
Ugh.. andai saja Sasya bisa melihat. Pasti ia sekarang sedang jalan-jalan di sekitar rumah sakit untuk membunuh rasa bosannya.
Kaki Sasya perlahan turun, sebisa mungkin dirinya konsentrasi. Menajamkan pendengaran juga meraba benda di sekitar.
Sasya tersenyum ketika berhasil memijak lantai.
Dengan keberanian yang entah seberapa, setidaknya. Sasya ingin mencoba berjalan tanpa bantuan seseorang.
Yah.. dari pada Sasya berdiam diri saja? Masih mending dirinya berusaha bukan?
Satu, dua, tiga... langkah Sasya tak menemukan apapun. Tangannya terulur, menyerong dan tak menemukan apapun. Hanya ada udara kosong didepannya.
Ternyata tempat ini cukup luas, pikirnya.
Kakinya melangkah lagi, kali ini ia menemukan sebuah benda seperti papan. Bentuknya panjang, mungkinkah itu pintu?
Tangannya menurun, menemukan engsel dan membukanya perlahan.
Diluar pintu Bryan terkejut, baru saja ia akan membuka pintu. Tetapi pintu itu sudah terbuka duluan.
Bryan menunggu beberapa menit, dan ternyata sosok yang membuka pintu ialah Sasya.
Menatap dingin, ia menghalangi Sasya yang akan melangkah keluar.
"Kamu mau kemana?" Suaranya tenang. Tapi tidak dengan raut wajahnya.
Sasya mendongak, ia mengerjap pelan. Bodohnya Sasya ia mengerjappun tidak membuatnya bisa melihat. "Aku bosan didalam terus. Mau jalan-jalan sebentar."
Bryan menghela nafas, tak habis pikir dengan gadis didepannya ini.
"Kamu tau ngga? Diluar itu bahaya, banyak orang jahat." Tangannya terulur, menuntun Sasya untuk kembali masuk kedalam.
"Nanti saya temenin kamu, jangan keluar sendiri." Di belakang Farrel dan Sharon mengikuti.
Sasya menyadarinya, Bryan tidak sendiri kesini. Ia meraba, mencari lengan Bryan. Tak dipungkiri Sasya ketakutan.
"S-siapa mereka?" Tanyanya dengan nada bergetar. Bryan menyadari, Sasya cukup peka dengan orang asing.
"Jangan takut, mereka itu orang kepercayaan saya."
Sasya lebih rileks saat mendengarnya, tapi tangan Sasya masih memegang lengan Bryan.
Bryan sendiri tak protes dengan hal itu, ia menyuruh Farrel untuk mengurus administrasi Sasya. Hari ini juga Bryan ingin Sasya pulang.
Sedang Sharon ditugaskan untuk menebus obat Sasya di apotek.
"Kamu ganti baju dulu sama suster, saya tunggu disini." Ujar Bryan kalem.
Sasya pun menurut, ia berjalan ke kamar mandi dibantu suster untuk mengganti baju.
.
Beberapa menit kemudian, Sasya keluar dari kamar mandi dan tentunya sudah berganti baju.
Bryan beranjak dari duduknya, semua keperluan sudah diurus. Ia mengambil tangan Sasya yang lebih kecil darinya. "Kita pulang sekarang."
Sasya hanya mengangguk saja, ia mengikuti langkah Bryan. Meski sesekali terseret karena langkah kaki yang membedakan.
Bryan berbalik, menyebabkan Sasya yang dibelakangnya terbentur dada bidangnya.
"K-kenapa tiba-tiba berhenti?" Tanya Sasya kesal. Hidungnya cukup sakit, sebenarnya ia menabrak tembok apa manusia?
"Kamu jalannya lama, biar saya yang gendong kamu." Detik itu juga, Sasya berada dalam gendongan Bryan.
Bryan pun melanjutkan langkah mereka yang sempat terhenti.
Semua orang menatap mereka kagum serta iri. Banyak juga yang mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Jika saja, mereka tahu Sasya tidak bisa melihat. Pasti mereka malah mencela keberadaan dirinya yang berada di gendongan Bryan.
"Kamu jangan banyak mikir yang enggak-enggak." Bisik Bryan di telinga Sasya.
Gadis itu mengeratkan pelukannya di leher Bryan. Sasya sendiri heran, kenapa ia menurut dan merasa nyaman di dekat Bryan? Bahkan saat bertemu Bagas pertama kali pun Sasya merasa takut.
Eh..
Kenapa Sasya teringat Bagas lagi? Bukankah laki-laki itu sudah menyakitinya?
"Kenapa kamu nolong aku?" Tanya Sasya tiba-tiba.
Bryan menoleh, menatap mata yang kini kosong juga meredup.
Kenapa katanya?
"Tentu saja karena kamu pantas saya tolong." Jawab Bryan enteng.
Kini mereka sudah sampai di parkiran dan segera masuk ke mobil.
.
.
Nara yang kebetulan tengah di rumah sakit juga tidak sengaja melihat Sasya di parkiran tadi. Meski sekilas, Nara tau.. dirinya yakin kalau memang benar dia sahabatnya! Pasti itu Sasya!
Tapi siapa laki-laki yang menggendong Sasya tadi?
Dengan cepat, Nara meraih ponselnya dan menghubungi Dimas..
"Ayo angkat kak! Cepet angkat!" Ucapnya berulang-ulang.
Lama menunggu.. sampai suara operator yang menjawab panggilan Nara.
"Ck! Kenapa disaat darurat kayak gini kak Dimas gak angkat telpon!"
Bagas menghampiri adiknya, sedikit heran karena melihat Nara mencak-mencak tak jelas. "Lo kenapa si?"
Nara menoleh, sedikit ada harapan Bagas muncul disini.
"Tadi gue liat Sasya! Disana!" Bagas melihat arah yang diTunjuk. Tapi disana tak ada apa apa.
"Lo salah liat kali, disana gak ada apa apa." Ucap Bagas tenang.
Nara ikut menoleh, matanya terbelalak ketika mendapati mobil yang dinaiki Sasya sudah tidak ada ditempatnya. "Pokoknya kita harus kejar mobil itu, mungkin aja masih deket disekitar sini. Cepetan bang!"
Nara menyeret Bagas menuju mobil kakaknya itu.
"Semoga aja masih ke kejar." Nara membatin.
.
.
Next?