Chereads / Menara Cinta / Chapter 2 - Semangat Baru

Chapter 2 - Semangat Baru

Malam hari tiba, namun Bryan masih enggan meninggalkan Sasya meski untuk sekedar makan malam.

Bahkan ia menyuruh Farrel untuk membawakan makan malamnya.

Menghela nafas pelan, Bryan menatap Sasya lembut. Entah kenapa saat menatapnya ada ketenangan sendiri.

Bryan sudah menyelidiki tentang kecelakaan yang dialami Sasya. Kecelakaan itu murni, tanpa rekayasa.

Tapi didalam lubuk hati Bryan masih menyangkal. Pasti ada sesuatu dibalik ini semua.

Melihat Sasya tertidur di ranjang rumah sakit tanpa ada tanda-tanda gadis itu akan sadar membuat Bryan sedih.

Andai saja gadis itu segera sadar, pasti dirinya kini memiliki teman bicara.

Bryan bosan kalau harus berbicara dengan Farrel atau pun Lian.

Mereka tak bisa di goda.

Perlahan jari-jari Sasya bergerak, kelopak matanya juga bergulir. Melihat itu, Bryan segera menghubungi dokter Lian.

Tak lama setelah Bryan menghubungi doker Lian masuk dengan didampingi suster.

Mengecek denyut nadi, tak ada masalah apapun. Detak jantung pun stabil. Saat dokter Lian memeriksa mata Sasya.

Lian terdiam, ia menolehkan kepala pada Bryan. Kemudian menatap pasiennya lagi.

Ini sungguh berat, kebanyakan pasien yang mengalami kebutaan tidak bisa menerima kenyataan.

Lian meringis, ini pasiennya yang pertama kali mengalami hal seperti ini.

"Perkembangan kesehatannya cukup baik, gua takjub. Awalnya gua pikir kalo dia gak bisa bertahan." Ucap Lian jujur.

Bertahan sampai disini pun adalah keajaiban menurutnya.

"Kapan dia bisa pulang?" Bryan menggenggam tangan yang lebih kecil darinya.

Lian menatap Sasya lagi, dahinya mengernyit. "Dua hari lagi. Dia boleh pulang."

Bryan mengangguk, tersenyum tipis ia menepuk pundak Lian cukup keras.

"Jangan lupa sama matanya."

"Gua belum pikun, dan gua belum mau mati." Balas Lian sarkas.

Bryan sedikit tergelak karenanya.

Sayup-sayup Sasya mendengar suara tawa seorang lelaki. Dahinya berkerut, siapakah laki-laki itu?

Mungkinkah.... Bagas?

Menggeleng pelan, Sasya yakin. Itu bukan suara Bagas maupun Dimas, Sasya juga merasa suara itu asing baginya.

Sasya mencoba membuka matanya perlahan, jarinya terasa hangat karena digenggam seseorang.

Gelap

Sasya yakin, dirinya sudah benar-benar membuka matanya.

Tapi kenapa gelap? Sasya tak bisa melihat apapun!

Apakah lampu diruangan ini mati?

Ya, mungkin saja begitu.

Bryan tersenyum melihat Sasya membalas genggaman tangannya. Tapi senyum itu tak lama, luntur setelah melihat ketakutan di wajah Sasya.

"Hei.. kau kenapa? Apa yang membuatmu takut?" Bisik Bryan lirih.

Di sampingnya, Lian menipiskan bibir.

"G-gelap.. aku takut gelap! Tolong nyalakan lampunya! aku m-mohon.." Suara Sasya tercekat. Ia semakin menggenggam erat tangan Bryan.

Tersenyum lembut meski Bryan tau Sasya tak akan bisa melihat senyumnya, namun ia tetap tersenyum. Tangannya yang bebas mengusap lembut pipi Sasya.

"Kamu gak perlu takut, saya disini sama kamu." Bryan berkata pelan, sebisa mungkin ia membuat gadis ini tenang.

Kata-kata Bryan membuat Sasya tenang, walaupun sedikit. Ia masih menggenggam erat tangan Bryan, setidaknya diruangan ini ada orang lain selain dirinya.

Bau antiseptik serta suara alat pendeteksi jantung membuat Sasya sedikit mengerti. Ini di tumah sakit.

Lian menghela nafas, bagaimana pun. Ia harus menjadi dokter yang baik.

"Nona Sasya... betul?" Lian bertanya setengah ragu.

Bryan mendelik jengkel padanya, tapi Lian tidak perduli.

Sasya mengangguk, suara ini berbeda dengan suara orang yang menengkannya tadi.

"Nama saya Sasya Arletta." Jelasnya.

Mengambil nafas sejenak, Lian menimbang bagaimana caranya menyampaikan berita ini.

"Apa anda merasa gelap?" Tanya Lian pelan.

"Ya. Disini sangat gelap! Ku mohon nyalakan lampunya!"

"Perlu nona Sasya ketahui, sedari tadi lampu disini menyala terang." Ucap Lian tenang. Matanya melihat reaksi Sasya yang begitu terkejut.

Sudah diduga. Ini sedikit sulit.

"Kamu.. kamu jangan berbohong! Kalau.. ka-kalau sedari tadi lampunya.. lampunya menyala.. kenapa aku... aku gak bisa liat? Kamu berbohongkan? Cepat nyalakan lampunya!" Ujar Sasya histeris. Air matanya berlinang, isakan lirih terdengar jelas dimalam yang semakin sunyi.

Sasya memiringkan tubuhnya, berusaha berhadapan dengan Bryan. Ia belum melepaskan tautan mereka, "Aku mohon padamu.. tolong nyalakan lampunya.. aku takut gelap.. sungguh.. aku sangat ketakutan."

Bryan memberi kode untuk Lian agar sahabatnya itu pergi dari ruangan tersebut.

Lian pun mengangguk, ia menyerahkan penjelasan ini pada Bryan.

"Kamu gak perlu takut, ada saya disini. Saya janji bakal bikin kamu bisa liat lagi." ujar Bryan tenang.

Sasya masih terisak pelan. Bryan membawanya kedalam pelukan.

"Saya janji, saya akan ngelindungin kamu. Saya akan carikan donor mata buat kamu. Secepatnya." kali ini Bryan merasa tubuh Sasya bergetar.

"Apa gadis ini belum menerima kalau dia itu buta?" Bryan membatin.

"Kamu jangan bohong! Kamu harus tepatin janji kamu." Ucap Sasya parau.

Bryan menyeringai, usahanya berhasil.

"Saya gak bakal bohong sama kamu. Kalau saya bohong. Saya rela motong mulut saya sendiri." Ucap Bryan sambil terkekeh.

Kekehan yang terdengar sangat mengerikan.

"Jangankan mata, apapun akan saya beri buat kamu." Batin Bryan.

Next....