Memori Vallentco Harianto bergeser ke masa mereka sudah duduk di tahun terakhir SMA.
"Kau mengajak Aqila kencan malam ini? Dia mau?" Vallentco Harianto sedikit mengerutkan dahi.
Pasalnya Aqila Denada jelas tidak pernah menunjukkan ketertarikan kepada Jay Frans selama mereka duduk di tahun terakhir SMA. Jelas sekali Aqila Denada hanya tertarik pada sahabatnya ini setiap kali dia menginginkan bocoran jawaban latihan maupun ujian.
"Iya… Dia mengiyakan sih…" Jay Frans mengangguk antusias.
"Jelas dia hanya menginginkan bocoran soal dan jawaban darimu selama ini, Jay…"
"Tidak kok… Dia mau ikut aku ketika kuajak dia makan bakso di warung seberang sekolah itu. Dia tidak pernah sekali pun mengajakku ke kafe yang mahal-mahal. Dia tahu betul kondisi keluargaku dan dia masih mengiyakan ajakanku untuk kencan malam ini."
"Ke mana kau mau mengajaknya?"
"Ke warung Indomie yang ada di pusat kota tak jauh dari sekolah itu… Soto dan bakso di sana enak-enak… Aku ingin mengajaknya makan di sana…"
Vallentco Harianto semakin mengerutkan dahinya lagi.
"Potongan seperti Aqila Denada itu mau makan di warung Indomie seperti itu? Apa kau yakin, Jay?"
"Lagi-lagi kau meragukan cewek yang ingin kudekati kali ini, Val…" Jay Frans sedikit menundukkan kepalanya dan bernapas kecewa.
"Bukan maksudku untuk meragukan… Namun, kita sama-sama tahu betul bagaimana sepak terjang si Aqila Denada selama ini. Dia sudah bergonta-ganti pacar selama dia duduk di tahun kedua dan tahun ketiga SMA, Jay. Dan semua lelaki yang bisa menjadi pacarnya adalah lelaki-lelaki berduit, tidak seperti… seperti…"
Vallentco Harianto tahu ia agak sedikit berterus-terang. Meski ia sempat mengerem kata-katanya, Jay Frans sudah terlanjur merasa sakit hati.
"Lelaki yang miskin sepertiku ini… Itu kan maksudmu?" Jay Frans Xaverius terlihat tersenyum skeptis.
"Jay… Aku tidak bermaksud begitu… Memang kenyataannya Aqila Denada itu adalah perempuan yang mata duitan dan materialistis – kayak si Violeta Pretty waktu itu…"
"Aku memang tidak bisa mendekati gadis mana pun yang kuinginkan. Tentu saja… Karena aku miskin. Ayah ibuku memiliki penghasilan mereka yang pas-pasan. Uang sekolahku selama ini saja kau yang membayari, iya kan? Otak juga tidak terlalu pintar. Wajah dan penampilan juga biasa-biasa saja. Aku sama sekali tidak berhak mendekati cewek-cewek cantik high class seperti Violeta Pretty dan Aqila Denada ini. Ya… Ya… Aku tidak berhak… Tidak pantas… Kau lebih pantas, Val… Kau berasal dari kelas dan golongan yang sama dengan mereka…"
"Jay… Aku sama sekali tidak bermaksud begitu… Mereka jelas memiliki dunia dan karakter yang bertolak belakang denganmu… Aku hanya tidak ingin kau terluka nantinya – menjadi korban dari perasaanmu sendiri. Aku berharap kau lebih menyeleksi lagi dan bisa menemukan seorang cewek yang benar-benar cocok denganmu…"
Meski hati Vallentco Harianto teriris setiap kali ia mengatakan itu, dalam lubuk hatinya yang terdalam ia tetap mendukung sahabatnya untuk bisa menemukan seorang perempuan yang benaran cocok dengannya. Ia juga tidak bisa memaksakan perasaannya yang sepihak kepada Jay Frans Xaverius.
"Ya… Ya… Cewek yang berasal dari dunia yang sama denganku… Cewek yang juga berasal dari keluarga miskin dan biasa-biasa saja sepertiku… Aku mengerti benar maksudmu…"
Vallentco Harianto sedikit terhenyak kaget sang sahabat bisa melontarkan ironi yang sedemikian sinis.
"Maksudku adalah cewek yang benaran menyukai dan mencintaimu apa adanya, Jay… Bukan maksud lain-lain… Lagipula kita masih muda… Aku rasa tidak usah terlalu getol untuk berpacaran deh…" sungut Vallentco Harianto mulai sinis.
"Kadang aku tidak mengerti dengan segala tindakan dan kata-katamu, Val… Kadang aku tidak bisa membedakan apakah selama ini kau sebenarnya mendukungku atau ingin ikut campur ke dalam urusan pribadiku dan mengatur-ngatur hidupku!" kata Jay Frans Xaverius mulai ketus.
"Aku sama sekali tidak pernah berniat ikut campur ke dalam kehidupan pribadimu dan mengatur-ngatur arah hidupmu, Jay… Aku hanya menginginkan yang terbaik buatmu…"
"Menginginkan yang terbaik buatku sesuai dengan ukuran kacamatamu kan? Apakah itu bukan mengatur namanya! Kau mengatur mana cewek yang boleh kudekati, mana yang tidak, mana yang cocok kudekati, mana yang tidak – tentunya semuanya itu berdasarkan kacamatamu sendiri bukan! Memangnya kau paham apa sebenarnya yang kuinginkan, apa sebenarnya yang bisa membuatku senang dan gembira!"
Vallentco Harianto terhenyak kaget bukan main. Dia menatap sang sahabat dengan mulut yang sedikit terbabang lebar.
"Apakah kau selalu berpikir mentang-mentang selama ini kau membayari sebagian besar uang sekolahku, makanan dan minumanku, lantas kau bisa sesuka hati mengatur-ngatur kehidupan pribadiku!" sergah Jay Frans Xaverius ke Vallentco Harianto dengan sinar mata nanar.
Giliran Vallentco Harianto yang memandangi sang sahabat dengan sorot mata nanar. Sungguh dia tidak menyangka sang sahabat akan mengeluarkan kata-kata yang sedemikian kejam terhadapnya malam ini.
"Baiklah… Sorry… Maafkan aku… Tidak seharusnya aku mengatur-ngatur kehidupan pribadimu selama ini. Aku seharusnya lebih tahu diri selama ini aku bukan siapa-siapa selain hanya gudang uang bagimu," sungut Vallentco Harianto sinis.
"Lagi-lagi kau menggunakan uang yang sudah kaukeluarkan demi aku selama ini untuk menekanku sekarang… Oke deh… Aku minta maaf… Tidak seharusnya aku mengatakan kata-kata kasar kepadamu tadi… Aku mengerti… Aku mengerti kau sebenarnya hanya khawatir aku akan sakit hati dan kecewa nanti…"
"Jangan cemas… Apa yang sudah kujanjikan, aku takkan mengingkarinya. Aku tetap akan membayari uang kuliahmu dan biaya sehari-harimu ketika kita kuliah sama-sama di Sydney nanti. Kau jalanilah apa yang sudah menjadi pilihan dan keputusanmu. Aku takkan ikut campur lagi…"
Vallentco Harianto menyeret langkah-langkahnya yang sedikit terseok-seok masuk kembali ke dalam kamarnya di rumah besarnya di Surabaya.
Jay Frans Xaverius ingin memanggil sang sahabat lagi. Entah kenapa hatinya sedikit berdenyut nyeri menyaksikan sorot mata kekecewaan di mata sang sahabat tadi. Namun, dia sudah kudung janji dengan Aqila Denada malam ini. Dia akan menjemput gadis itu jam tujuh sesuai dengan kesepakatan mereka tadi siang di sekolah.
Jay Frans Xaverius menyambar kunci sepeda motornya dan bergegas meninggalkan rumah besar Vallentco Harianto. Dia memutuskan akan menjelaskan sekali lagi kepada sang sahabat selesai ia kencan nanti. Ia memutuskan akan menginap di rumah besar sang sahabat malam ini untuk memperbaiki sedikit keretakan di antara mereka.
Namun, memang nasib Jay Frans yang sungguh nahas malam itu. Entah dia sudah ditakdirkan akan bersama dengan Vallentco Harianto atau entah memang nasib percintaannya yang sial dan selalu tidak mulus, malam itu sesampainya ia di depan rumah Aqila Denada, ia sudah melihat sebuah mobil berhenti di depan rumah gadis itu.
Aqila Denada keluar dari rumahnya. Si pemuda juga keluar dari mobilnya dan merentangkan kedua tangannya. Kontan Aqila Denada langsung menerjunkan diri ke dalam pelukan pemuda yang bermobil tersebut. Tentu saja hati Jay Frans Xaverius serasa tertikam pedang yang dilumuri dengan racun sianida dosis tinggi. Dalam sepersekian detik, hati Jay Frans Xaverius menjadi mati rasa. Dia hanya berdiri terpaku di tempatnya, tanpa tahu harus berbuat apa, tanpa tahu harus bicara apa.
Aqila Denada berpaling ke arah Jay Frans dengan enteng dan berujar,