Max Julius memisahkan penyatuan tubuh mereka berdua. Terdengarlah Junny Belle mendesis keperihan dan kesakitan. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Sekujur tubuhnya kini bergelugut hebat karena menahan mati-matian rasa perih dan sakit yang menyayat-nyayat daerah selangkangannya.
"Ingatlah… Si dokter jantung itu bisa memberimu hal seperti ini; lelaki-lelaki lain di luar sana bisa memberimu kenikmatan yang seperti ini, ingat saja… Aku bisa melakukannya berpuluh-puluh kali lipat lebih hebat daripada mereka…"
Sambil tersenyum sinis dan tertawa renyah, Max Julius beranjak dari ranjang, meninggalkan Junny Belle sendirian di sana, dan mulai bergerak ke kamar mandi.
Junny Belle masih terisak-isak lembut di atas tempat tidur hotel dengan tubuh telanjang yang hanya berbalut selimut putih.
Ya Tuhan… Sakit sekali… Kenapa aku mesti mengalami siksaan cinta seperti ini? Kenapa aku tidak bisa mengungkapkan cinta padahal ia ada? Kenapa aku sulit menyatakan cinta padahal ia ada? Apa kesalahanku sebenarnya di masa lalu sehingga di masa kini Engkau mesti menghukumku dengan cara yang seperti ini?
Sesampainya di dalam kamar mandi, Max Julius juga hanya berdiri terpaku di depan cermin wastafel kamar mandi.
Ya Tuhan… Jika Engkau benar-benar ada, aku ingin menanyakan suatu hal kepada-Mu. Apakah sebenarnya Junny Belle mencintaiku atau tidak? Apakah perempuan yang sudah kugerayangi tadi sesungguhnya juga memiliki perasaan yang sama terhadapku atau tidak? Mohon beri aku petunjuk, Oh Tuhan… Kalau Engkau benar-benar ada, aku mohon jangan terus siksa aku dengan cinta yang menyakitkan seperti ini… Aku mohon…
Tanpa disadarinya, setetes air mata gelingsir di pelupuk mata. Max Julius menyeka ekor matanya. Dia cepat-cepat membersihkan dirinya dan keluar dari kamar mandi.
Max Julius meraih kembali pakaian-pakaiannya dan mengenakannya kembali. Setelah berpakaian rapi, ia kembali menghampiri si gadis cantik jelita yang masih tertelentang tak berdaya di atas tempat tidur. Dengan sedikit kasar, ia mencengkeram dagu sang gadis cantik jelita dan memandanginya dengan sorot mata penuh amarah.
"Jangan khawatir… Aku sudah menikmati tubuhmu tadi kan? Aku akan membayarmu… Aku akan transfer 100 ribu lagi ke rekeningmu nanti. Aku takkan menikmati tubuhmu secara gratis di sini…" Max Julius mencium bibir Junny Belle secara paksa.
Junny Belle hanya bisa pasrah menerima perlakuan kasar dan segala penghinaan dari sang lelaki tampan nirmala. Air matanya terus berlinang dan berjatuhan tiada henti.
"Jangan pernah menangis di hadapanku, Junny Belle! Jangan pernah menangis di hadapanku! Kau yang menginginkan semua ini! Semua yang terjadi di antara kita hingga detik ini adalah keputusan dan pilihanmu sendiri!"
Max Julius melepaskan cengkeramannya pada dagu sang gadis cantik jelita.
"Terima kasih untuk pelayananmu ya… Aku akan transfer uangnya nanti…" bisik Max Julius sembari tersenyum sinis dan kemudian berlalu begitu saja.
Kembali Junny Belle ditinggalkan begitu saja setelah dinikmati. Ia sungguh tidak bisa berbuat apa-apa selain melanjutkan isakan lembutnya tadi. Dia tenggelam semakin dalam ke dalam jurang kesedihan dan ketidakberdayaannya. Dia terpuruk ke dalam jurang duka dan nestapa yang semakin dalam tatkala dirasakannya jarak di antara dirinya dan Max Julius sudah semakin jauh dan semakin jauh.
Junny Belle berharap bumi akan terbelah pada saat itu juga dan menelannya hidup-hidup. Dia sungguh ingin berhenti dan menyerah pada saat itu juga.
Rasa-rasanya aku ingin berhenti dan menyerah sekarang juga… Aku sungguh tidak sanggup melanjutkan langkah-langkah ini. Di antara semua cobaan hidup, cobaan perasaan adalah yang paling berat. Di antara semua siksaan hidup, siksaan cinta adalah yang paling menyakitkan. Aku sungguh tidak bisa menahan semua siksaan cinta ini lagi… Biarkan aku tenggelam saja ke dalam lembah kematianku, Oh Tuhan…
Keriap sedih dan ruap lara membelungsing di lubuk sanubari Junny Belle Polaris yang terdalam.
***
Tiga hari berlalu semenjak kejadian itu. Junny Belle Polaris menunggu sampai rasa perih dan sakit pada ngarai kewanitaannya menghilang dulu baru ia kembali masuk kerja. Hari ini menjadi hari pertamanya masuk kerja setelah tiga hari ia mengambil cuti.
Pagi harinya sebelum naik bus berangkat ke toko roti tempat ia bekerja, Junny Belle sempat pergi ke ATM dan mengecek isi tabungannya. Ia harus membayar biaya rumah sakit Gover Robin lagi hari ini. Alangkah terhenyaknya dirinya tatkala dilihatnya isi tabungannya sudah bertambah 100 ribu lagi. Benaran Max Julius Campbell memperlakukannya layaknya seorang wanita penghibur, yang akan dibayar setelah tubuhnya dinikmati. Rasa sakit bagai dicubit kembali terasa melilit dalam padang sanubari Junny Belle Polaris. Namun, kembali dia tidak bisa berbuat apa-apa. Apa yang dikatakan oleh sang lelaki tampan nirmala ketika di kamar hotel tiga hari lalu itu memang benar adanya. Segala yang terjadi di antara mereka berdua hingga detik ini memang adalah keputusannya, adalah pilihannya. Ia hanya bisa menerima dan menjalaninya.
"Kau baik-baik saja, Jun? Kau mengambil cuti tiga hari… Kami jadi mencemaskanmu di sini…" kata Tasma Jones.
"Aku baik-baik saja, Kawan-kawan… Tak apa-apa… Jangan khawatir…" Junny Belle tersenyum lemah lembut seperti biasa.
"Sebenarnya kau pindah ke mana sih? Kami datang ke rumah besarmu itu. Kata mereka rumah besar itu sudah kausewakan kepada mereka sejak dua tahun lalu. Sebenarnya kau kini tinggal di mana, Jun?" dengus Aira Antlia sedikit gusar.
"Aku sudah pindah ke sebuah apartemen yang lebih kecil, Aira. Untuk menghemat biaya bulananku… Dengan gajiku sekarang, jelas aku takkan sanggup tinggal sendirian di rumah sebesar itu dan mengurusnya. Biaya bulanannya bakalan sangat banyak. Untuk itulah, kuputuskan kusewakan saja rumah besar itu. Hitung-hitung, biaya sewanya bisa kupakai jika sewaktu-waktu aku membutuhkan apa yang namanya dana dadakan."
Aira Antlia, Daniela Helena dan Tasma Jones hanya bisa menghela napas panjang.
"Kami ke rumah besarmu itu dan tidak bisa menemukanmu di sana. Kami jadi bingung kau sebenarnya sakit apa sehingga mendadak mengambil cuti lagi selama tiga hari," ujar Daniela Helena Johnson.
"Sebenarnya kau sakit apa?" desak Tasma Jones kali ini.
Kali ini giliran Junny Belle yang menghela napas panjangnya. Ia mulai melantunkan sepenggal cerita mengenai apa-apa saja yang sudah terjadi antara dirinya dan Max Julius Campbell mulai dari mereka kecil hingga hari ini. Karena Aira Antlia Dickinson sudah mengetahui sebagian besar isi cerita tersebut, dia lebih banyak membisu seribu bahasa. Namun, sepenggal akhir dari cerita tersebut sungguh membuatnya terhenyak kaget.
"Hah? Jadi tiga hari lalu ia menculikmu ke hotel dan berbuat tidak senonoh lagi terhadapmu?" Kedua mata Aira Antlia sampai membeliak dengan mulutnya yang terbabang lebar.
Junny Belle hanya bisa mengangguk lirih.
"Dia adalah pemilik hotel The Pride kan? Akan kudatangi dia hari ini dan minta penjelasannya kenapa dia mesti berbuat begitu," geram Aira Antlia dengan gigi-giginya yang bergemeretak.