Ciciyo Suzuki menggigit bibir bawahnya ketika malam ini dia berkesempatan melihat tubuh telanjang yang selama ini dirindukannya dan yang selama ini diharapkannya. Malam ini, tubuh itu akan menjadi miliknya seutuhnya – tanpa batasan, tanpa larangan.
"Apa kau yakin, Ciciyo Sayang? Kau yakin kau akan memberikan cinta yang kuinginkan malam ini? Kau tahu dengan memberikanku cinta itu, kau juga telah memberikanku segalanya yang ada pada dirimu… Iya kan?" bisik sang pangeran kekar ketika dia mendaratkan tubuhnya yang kekar ke tubuh Ciciyo Suzuki yang mungil, imut, nan tak berdaya.
Ciciyo Suzuki merasakan adanya semacam batang keras yang menempel di atas ngarai kehangatannya. Dia sungguh tidak bisa menahan lagi desakan gairah dan hasratnya yang semakin menggelegak. Dia tidak bisa memberikan jawaban apa pun lagi. Dia hanya bisa memberikan sebuah anggukan perlahan kepada pertanyaan sang pangeran tampan.
"Ini akan sakit, Ciciyo Sayang… Bertahanlah…" kata Shunsuke Suzuki ketika dia mulai mendorong masuk senjata kejantanannya ke dalam ngarai kehangatan sang putri pujaan hati.
Ciciyo Suzuki sedikit mencicit kesakitan. Selanjutnya, dia mati-matian menahan rasa terbakar yang menyerang perut bagian bawahnya. Dia berusaha untuk tidak mencicit kesakitan lagi, yang nantinya akan menghentikan tindakan sang pangeran tampan mendorong senjata kejantanannya ke dalam liang kehangatannya yang super sempit.
"Gosh! It's super tight!" desah Shunsuke Suzuki penuh dengan sensasi nikmat ketika batang kejantanannya sudah masuk setengah ke dalam ngarai kenikmatan tersebut. Terasa sensasi nikmat yang benar-benar lain ketika bagian yang penting dari dirinya sudah setengah terbalut oleh bagian penting dari putri kesayangannya.
Shunsuke Suzuki sedikit melirik ke bagian bawah perutnya. Tampak darah keperawanan Ciciyo Suzuki sudah menetes-netes keluar dan menodai seprai tempat tidur yang berwarna putih bersih. Ia tersenyum bahagia karena kini keperawanan sang putri kesayangan telah jatuh ke dalam genggaman tangannya.
"Kau kesakitan ya, Ciciyo Sayang?" Kini Shunsuke Suzuki sedikit merasa bersalah. Dia menggunakan kedua sikunya sebagai tumpuan tubuhnya. Dia mendaratkan ciuman bertubi-tubi ke seluruh wajah, leher, rahang dan bibir sang putri pujaan hati supaya rasa sakit pada perut bagian bawahnya sedikit teralihkan.
"Kau ingin berhenti dan nanti kita lanjutkan lagi?" bisik Shunsuke Suzuki lemah lembut.
"Apakah sudah masuk semuanya? Apakah kedua tubuh kita sudah bersatu seutuhnya, Bang Shunsuke?" tanya Ciciyo Suzuki dengan sebersit senyuman tipis dan napasnya yang terengah-engah karena menahan rasa sakit yang masih serasa membakar perut bagian bawahnya.
"Setengah, Sayang…" jawab Shunsuke Suzuki singkat, masih dengan raut wajah bersalah.
"Masukkan saja, Bang Shunsuke... Sambil terus menciumku, kau bisa pelan-pelan mendorong hingga tuntas kan? Aku ingin tubuh kita berdua bersatu malam ini, Bang Shunsuke. Aku ingin menjadi milikmu malam ini juga," bisik Ciciyo Suzuki, masih dengan napasnya yang terengah-engah.
"Aku dorong lagi ya, Ciciyo Sayang… Aku akan bergerak lembut dan aku janji aku takkan menyakitimu. Kau percaya padaku kan?" kata Shunsuke Suzuki selembut mungkin.
Ciciyo Suzuki hanya mengangguk perlahan. Shunsuke Suzuki mendorong masuk lagi. Kembali rasa perih menyerang lagi. Shunsuke Suzuki mendaratkan ciuman ke sekujur wajah, leher, bibir, garis rahang, dan bahkan kedua daun telinga sang putri pujaan guna mengalihkan rasa sakit tersebut. Sambil mencium, dia terus mendorong masuk dengan selembut mungkin. Lewat dua menit kemudian, akhirnya Shunsuke Suzuki tersenyum senang. Kini seluruh miliknya sudah terbenam ke dalam ngarai kehangatan sang putri pujaan hati. Terasa semacam sensasi nikmat yang lain ketika bagian yang penting dari dirinya sudah bersatu total nan menyeluruh dengan bagian yang penting dari sang putri pujaan hati.
"Aku akan bergerak sekarang… Kau sudah siap kan? Habis ini, takkan terasa begitu sakit lagi, Sayang… Aku janji aku takkan menyakitimu. Kau percaya padaku kan?" bisik Shunsuke Suzuki lagi. Ciciyo Suzuki yang tercerai-berai antara rasa sakit dan rasa nikmat, tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia hanya mengangguk pelan.
Shunsuke Suzuki mulai bergerak memompa dengan kecepatan yang sepelan dan selembut mungkin. Semua perasaan cinta dan kasih yang dirasakannya selama ini kepada sang putri pujaan hati, sekarang ini seolah-olah larut dalam pergerakan ini. Dunia berangsur-angsur menjadi sepi nan tak berpenghuni seakan-akan di atas dunia ini hanya ada Shunsuke dan Ciciyo yang tengah memadu kasih dan merajut tali masa depan mereka yang masih diliputi oleh misteri.
Perlahan-lahan rasa sakit mulai didominasi oleh rasa nikmat. Kendati masih merasakan sedikit perih pada perut bagian bawahnya, sekarang sudah lebih banyak terdengar lenguhan dan tarikan napas panjang penuh dengan sensasi kenikmatan yang tiada habisnya, tiada tara, dan tiada tergantikan di seluruh alam semesta. Ketika hasrat dan cinta menyatu padu, begitulah yang dirasakan oleh Ciciyo Suzuki tatkala tubuhnya bersatu penuh dengan tubuh sang pangeran yang didambakannya selama ini.
"Aahh… Uuuhh… Aku mencintaimu, Ciciyo Sayang… Aku berjanji mulai detik ini hanya ada kau seorang… Takkan pernah ada perempuan lain lagi…" Sang pangeran tampan terus mendesau dan meracau tiada henti.
"Aaahh… Bang Shunsuke… Bang Shunsuke…" desah Ciciyo Suzuki terus-menerus seiring dengan puncak kenikmatan yang sudah berada di ambang pintu.
"Jangan ditahan, Sayang… Jangan ditahan puncak itu… Lepaskan saja…" pinta sang pangeran tampan karena dia tahu sang putri pujaan hati sedang berusaha menahan untuk tidak menggapai puncak pelepasannya pada saat itu.
"Tapi kau belum akan…" Ciciyo Suzuki sungguh tidak bisa meneruskan perkataannya lagi karena gairahnya serasa akan menggelegak ke ujung puncak kenikmatannya.
"Kau mau kita sama-sama?" tanya Shunsuke Suzuki, masih dengan gerakan memompanya yang sepelan dan selembut mungkin. Ciciyo Suzuki kembali mengangguk perlahan.
"Oke… Mari kita sama-sama terbang ke surga, Ciciyo Sayang…" kata Shunsuke Suzuki. Dia menghujani sekujur tubuh, wajah, leher, garis rahang dan bibir sang putri pujaan dengan ciumannya yang bertubi-tubi dan mulai mempercepat gerakan pinggulnya yang memompa keluar masuk ngarai kehangatan sang putri pujaan.
"Aku akan keluar, Sayang… Bersiaplah…" Terdengar Shunsuke Suzuki yang sedikit memekik.
Terdengar tarikan panjang napas sang putri pujaan, dengan seluruh otot tubuhnya yang menegang dan otot ngarai kenikmatannya yang berkontraksi hebat. Tampak sekujur tubuh dan kepalanya yang menggelung ke belakang petanda dia sudah menggapai titik puncak pelepasannya.
"Jepitanmu sungguh luar biasa, Sayang… Aku tidak bisa menahannya lagi…" pekik Shunsuke Suzuki halus.
Akhirnya, sang putri pujaan hati merasakan kehangatan luar biasa dari semburan cairan vital sang pangeran tampan di dalam liang kewanitaannya. Terlihat sekujur otot tubuh sang pangeran tampan menegang dan dia memejamkan erat kedua bola matanya seiring dia menggapai puncak pelepasannya. Gerakan memompa menjadi semakin dan semakin lambat tatkala sejoli tersebut kini mulai memasuki tahap relaksasi mereka.
Pelan-pelan Shunsuke Suzuki memisahkan bagian penting dirinya dari bagian penting sang putri kesayangannya. Dia kini berbaring di atas kasur dan membiarkan tubuh sang putri pujaan hati berada di atas. Dengan peluh yang menempel pada sekujur tubuh keduanya, kini terlihat sang putri pujaan hati merebahkan kepalanya ke dada bidang kekar bedegap Shunsuke Suzuki. Tangan mulai naik dan membelai perlahan dari kepala hingga punggung sang putri pujaan hati.
"Apakah… Apakah… kau keberatan jika kuajak kau menikah denganku, Ciciyo Sayang?"
"Kau melakukannya karena apa yang terjadi di antara kita berdua malam ini?" tanya Ciciyo Suzuki dengan mata yang membulat penuh.
"Karena aku mencintaimu, Ciciyo Sayang… Aku ingin besok malam dan malam-malam berikutnya kita tetap bisa melakukan apa yang kita lakukan barusan. Aku ingin memilikimu secara utuh untuk selama-lamanya. Tidak bisakah aku memilikimu, Ciciyo Sayang?" bisik Shunsuke Suzuki dengan sepasang bibirnya yang begitu dekat dengan ujung kepala sang putri kesayangan.
Ciciyo Suzuki tergelak ringan. Dia mempererat pelukannya pada sang pangeran tampan.