Baron mengambil salah satu skateboard dari tangan laki-laki itu dan membuatnya terkejut. Baron segera menggunakan skateboard itu untuk mengejar Victoria.
Majer mengikutinya dengan menggunakan skateboard yang lain. Baron tidak peduli jika orang-orang di sana terkejut melihat skateboard yang bisa menggelinding sendiri.
Ia menggunakan kekuatan di kakinya agar bisa maju lebih cepat. Tampaknya Majer sedikit kesulitan menggunakan skateboard. Sebenarnya, ini adalah kali pertama bagi mereka menggunakan benda yang ada di dunia manusia.
Baron mencoba menyeimbangkan tubuh di atas benda pipih dengan empat roda di bagian bawahnya itu. Dan sejauh ini, ia cukup menikmatinya. Skateboard itu sangat menyenangkan.
Ia dan Majer meluncur cukup cepat sehingga mereka dapat menyusul Victoria. Namun, Baron tetap harus berjaga-jaga. Jangan sampai ia terlalu dekat dengan Victoria. Ia khawatir akan membuat wanita itu ketakutan.
"Di sebelah sana!" seru Baron sambil menunjuk dengan tangannya.
Mereka melewati jalan raya di mana mobil berlalu lalang dengan cepat. Beberapa orang memperhatikan saat skateboard yang Baron dan Majer naik di atasnya tampak seperti yang bergerak sendiri.
Seorang lelaki terperanjat saat melihat skateboard itu. Ia mengumpat dan kemudian menepuk bahu temannya untuk melihat hal tersebut. Namun, Baron bergerak dengan cepat dan segera menghilang dari hadapan orang itu.
Baron dan Majer terus bergerak menyusul Victoria. Wanita itu berbelok ke kanan dan kemudian berhenti di sebuah café.
Baron tidak menyangka jika wanita itu akan tiba di tempat tujuannya dengan begitu cepat. Ia bergerak terlalu cepat hingga ia tidak dapat menghentikan laju skateboard-nya.
"Oh tidak!" seru Baron.
Seketika ia menabrak tiang listrik dan tepat mengenai hidungnya. Majer berhasil berhenti dengan selamat sebelum ia mengalami hal yang sama seperti Baron. Ia pun turun dari skateboardnya dan kemudian menghampiri Baron.
Majer menolong Baron untuk berdiri dengan wajah yang menahan tawa.
Baron memegangi hidungnya yang berdarah. "Oh tidak! Hidungku berdarah."
Akhirnya, Majer pun tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
"Kamu lucu sekali. Kamu meluncur begitu cepat sampai tidak tahu jika di sana ada tiang besi."
"Tutup mulutmu," kata Baron dengan suara yang terjepit karena hidungnya dipencet. "Itu namanya tiang listrik." Majer tertawa lagi mendengar gerutuan Baron.
Baron buru-buru menoleh ke arah café. Kelihatannya, Victoria telah masuk ke dalam sana. Setidaknya, Baron cukup beruntung karena tidak kehilangan Victoria.
Majer ikut menoleh ke arah café. "Sepertinya dia masuk ke dalam sana."
"Yeah," ucap Baron masih sambil memencet hidungnya.
"Apa kamu bisa berdiri?" tanya Majer yang sudah bisa menguasai dirinya.
Ia membantu Baron untuk berdiri dengan sebelah tangannya. Baron pun menegakkan tubuhnya dan mengeluarkan kain dari kantung ajaibnya. Ia mengelap hidungnya yang berdarah dengan kain itu.
Hidungnya terasa berdenyut-denyut sakit. Semoga saja hidungnya baik-baik saja. Lalu Baron teringat untuk mengeluarkan serbuk ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam kecil dan kemudian menghisapnya hingga serbuk itu habis.
Pendarahan di hidungnya berhenti seketika dan rasa sakitnya menghilang. Baron merasa lebih baik dan siap untuk menghampiri Victoria.
"Ayo, Majer! Kita harus masuk ke dalam sana," ajak Baron sambil menunjuk ke arah café itu.
"Tunggu dulu!" Majer menahan dada Baron. "Apa yang akan kamu lakukan? Kamu harus memiliki rencana untuk mendekatinya. Kamu tidak mungkin tiba-tiba mendekatinya begitu saja."
"Uhm, begitu ya," ujar Baron.
Majer benar. Baron tidak mungkin mendekati Victoria begitu saja. Berbagai kekhawatiran menerpa pikirannya. Baron harus mempertimbangkan segalanya dengan lebih baik lagi.
Ini sedikit merepotkan. Ia biasanya tidak ambil pusing ketika ia mendekati manusia, asalkan manusia itu bukanlah The Catcher.
"Dia bisa melihatku. Bagaimana jika dia adalah seorang The Catcher?" ujar Baron yang tampak tidak yakin dengan perkataannya.
Majer menggelengkan kepalanya. "The Catcher tidak akan berpenampilan seperti itu. Mereka biasanya akan langsung mengetahui keberadaanmu dan menghajarmu tanpa basa-basi. Dan lagi, The Catcher tidak akan berangkat ke café dengan menggunakan sepeda."
Baron mengangguk. "Kamu benar."
Teori Majer terdengar masuk akal. Namun, jika wanita itu benar-benar salah satu dari The Catcher, ia akan bersiap-siap dengan pedangnya.
"Baiklah. Kita akan masuk ke dalam café itu dan duduk di sana. Kita tunggu hingga wanita itu memperhatikan kita."
"Apa kamu yakin?" Majer menatapnya tidak percaya.
"Kita lihat saja."
Baron merapikan kemejanya dan masuk ke dalam café. Majer mengikuti di belakangnya dengan wajah tegang. Baron tahu jika Majer akan mengeluarkan pedangnya kapan saja jika melihat ada sesuatu yang mencurigakan.
Café tampak ramai pengunjung. Aroma kopi tercium begitu kuat. Orang-orang berbincang satu sama lain sambil mengunyah roti dan cangkir kopi di tangan satunya.
Baron yakin jika orang-orang yang berada di tempat itu tidak ada yang menyadari kehadiran Baron dan Majer. Untuk mencegah hal-hal yang diinginkan, ia memilih untuk duduk di kursi pojok, menanti takdir menghampirinya.
Majer tampak gusar di tempat duduknya. Ia terus menerus mengedarkan pandangannya dengan ekspresi waspada. Baron tahu jika tangannya yang satu lagi sedang menggenggam pedangnya dari balik kantung ajaib.
"Majer, apa kamu baik-baik saja?" tanya Baron, membuatnya melonjak terkejut.
"Aku … aku baik-baik saja," ujarnya yang terdengar sedang berbohong.
"Bagiku, kamu tampak tidak baik-baik saja. Majer, tenanglah. Kita akan baik-baik saja. Tidak ada manusia yang dapat menang melawanmu. Kamu kan kuat dan hebat," ucap Baron untuk menenangkannya.
Namun, apa pun yang Baron katakan, tidak mampu membuat Majer tenang. Ia terus menerus menatap bengis setiap orang yang ada di café itu. Baron jadi mengikuti arah pandang Majer.
Beberapa orang yang berada di tempat ini tampak santai dan tidak ada sesuatu hal yang mencurigakan. Tak ada satu pun orang yang peduli dengan kehadiran mereka.
Seharusnya hal ini sudah cukup untuk membuat Majer tenang. Akhirnya, Baron meremas tangan Majer hingga membuat wanita itu menoleh padanya.
"Majer, tenanglah. Kita tidak sedang dalam bahaya," ucap Baron sungguh-sungguh. "Letakkan pedangmu. Kita tidak akan melukai siapa pun di sini. Oke?"
Majer menghela napas. "Oke," ucapnya terpaksa.
Wanita itu sedikit lebih relaks. Ia menghirup dalam-dalam udara yang ada di sana.
"Wangi apa ini?" tanya Majer.
"Ini adalah wangi kopi. Apa kamu belum pernah mencoba kopi? Cobalah. Rasanya sangat nikmat," ucap Baron sambil tersenyum.
"Apa yang akan terjadi jika mereka tidak melihatku? Aku tidak mungkin minum kopi di tempat ini. Aku pikir, sebaiknya kita pergi saja."
Majer sudah hampir berdiri hingga Baron menahannya. "Majer! Jangan pergi dulu! Aku perlu membuktikan jika wanita itu bisa melihatku, sementara yang lain tidak. Apa kamu tidak penasaran akan hal itu?"
Majer menghela napas. "Aku tidak yakin …."
"Kita tunggu saja. Kita akan sama-sama melihat sesuatu yang ajaib dalam sepuluh detik. Satu dua tiga empat lima enam …."
Seorang wanita yang sejak tadi ia tunggu, akhirnya berjalan menghampiri mereka. Baron menahan napasnya, sementara Majer kembali meremas pedang di balik kantung ajaibnya.