Pagi itu, café terlihat ramai. Ada banyak pengunjung yang datang untuk sarapan di sana. Victoria sibuk melayani para pelanggan karena Courtney tidak masuk kerja hari ini. Mariah sibuk membuat kopi, sementara Sean sibuk memasak dibantu koki yang lainnya.
Victoria melihat ada dua orang yang duduk di meja yang paling ujung dan belum ada yang melayani. Ia baru saja selesai menyimpan secangkir kopi untuk pengunjung di meja nomor tiga. Lalu ia berjalan menghampiri dua orang itu.
Seperti biasanya, Victoria hanya mengingat pakaian yang dikenakan para pengunjung tanpa benar-benar memandang wajahnya. Pengunjung itu adalah seorang wanita dengan kaus tanpa lengan berwarna merah dan celana panjang hitam.
Satu orang lain adalah seorang pria dengan kemeja hitam dan celana jeans biru yang sangat bagus dikenakan olehnya. Victoria berdiri di hadapan mereka, menyapa seperti biasa.
"Halo, apa kabar? Aku Victoria. Mau memesan apa?"
Victoria menyerahkan buku menu di meja, kertas catatan siap di tangan. Ia menunggu selama beberapa detik dan tidak ada reaksi apa pun dari mereka berdua.
"Menu spesial pagi ini ada roti lapis, roti tanduk, pancake almond, dan kopi Americano. Oh ya, roti bawangnya pun baru saja siap. Apa kalian mau memesan sesuatu?" tanya Victoria dengan nada monotonnya seperti biasa.
"Uhm …." Hanya itu suara yang keluar dari wanita yang ada di hadapan Victoria.
Ia paling benci jika orang-orang membiarkannya berdiri menunggu sementara mereka duduk diam dan sibuk memperhatikannya. Demi Tuhan, ia bukanlah sebuah patung hiasan ruangan. Waktunya habis hanya untuk ditatap oleh orang-orang aneh.
"Permisi. Apa kalian mau memesan sesuatu?"
Victoria sudah kehabisan kesabaran. Ia menarik napas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, ia harus berpikir positif. Mungkin orang-orang ini bukan berasal dari Amerika.
Sayang sekali, ia tidak pernah benar-benar mempelajari bahasa Spanyol dengan benar, atau Perancis. Sekarang, ia menyesalinya. Apa boleh buat? Victoria hanya akan berbicara dalam bahasa Inggris.
"Silakan dilihat-lihat dulu buku menunya. Aku akan kembali lagi jika kalian memanggilku."
Victoria berlalu dan menghampiri meja nomor empat yang meminta bon. Ia berjalan ke kasir dan meminta struk pembayarannya, menyelipkannya di dalam sebuah map dan menyerahkannya pada sang pelanggan.
Sembari ia berjalan menuju ke dapur, sudut matanya melihat sesuatu yang aneh. Ia tidak berani untuk menatap wajah pengunjung, tapi ia yakin, sepertinya ia mengenal salah satu pengunjungnya yang duduk di ujung ruangan.
Seharusnya, sejak tadi ia mendongak dan menatap pria itu dengan dengan lebih jelas lagi. Namun, ia tidak pernah berani melakukan hal itu kecuali saat ia berhadapan dengan Raymond.
Ah, ia menyesalinya. Mungkin seharusnya, ia tidak pernah berkenalan dengan seorang pengunjung. Namun, tak ada salahnya jika ia melihat sedikit.
Victoria menolehkan wajahnya dan memberanikan diri untuk melihat wajah pengunjung itu. Wajah pria itu kini sedang menunduk sambil melihat buku menu.
Ia hendak memperhatikan wajah pria itu lebih saksama, tapi kemudian Sean menekan bel. Victoria mendecak kesal. Namun, ia harus bergegas untuk mengambil makanan itu dan mengantarkannya ke meja nomor sepuluh.
Setelah Victoria selesai mengantar makanan, ia kembali melirik ke arah meja ujung itu dan terkejut karena meja itu sudah kosong, yang tersisa hanya buku menu yang tergeletak di sana.
Victoria jadi merasa tidak enak hati. Apa jangan-jangan mereka pergi karena ia telah berkata tidak sopan pada orang-orang itu? Victoria menggelengkan kepalanya. Lalu ia kembali ke meja itu untuk mengambil buku menu yang terabaikan.
Suasana café semakin ramai. Victoria benar-benar tidak menyadari saat orang-orang itu keluar dari sini. Ia jadi penasaran, apa yang menyebabkan orang-orang itu pergi?
Victoria lanjut bekerja dan tidak ingin memikirkan tentang orang-orang itu lagi. Ada kamera CCTV yang mengawasi dari atas sana, ia tidak bisa bermalas-malasan.
Saat sore hari tiba, Victoria mengelap meja dan menunggu giliran temannya yang lain untuk menggantikan jam kerjanya. Ada Candice dan Viona yang baru saja datang dan menyapa Victoria.
Lalu ia masuk ke ruang ganti dan mengganti seragam kerjanya dengan kaus dan celana jeans. Setelah selesai berpakaian, Victoria bergegas menuju ke tempat parkir dan mengendari sepedanya.
Matahari bersinar cukup terik, membuat mata Victoria menjadi silau. Saat ia baru menempuh sekitar beberapa ratus meter, ia merasakan seperti ada seseorang yang mengikutinya.
Ia menoleh ke belakang beberapa kali, tapi tidak menemukan apa pun. Mungkin semua ini hanya perasaannya saja. Ia tidak bisa terus menerus menoleh ke belakang karena ia bisa saja menabrak sesuatu di depannya.
Victoria mendesah. Di dunia ini ada banyak sekali kejahatan. Namun, semenjak hal yang terjadi kemarin padanya, Victoria cukup yakin jika ia bisa melawan siapa pun yang berani menganggunya.
Akankah tangannya berubah menjadi hijau lagi seperti waktu itu? Jika hal itu benar-benar terjadi, maka ia harus bersiap-siap.
Victoria menepi dan berhenti di supermarket karena ia harus membeli telur. Perasaan aneh itu muncul kembali saat ia masuk ke dalam supermarket.
Ada seseorang yang membuntutinya, tapi terlalu pengecut untuk menampakkan dirinya. Victoria jadi kesal. Satu-satunya hal pikirkan; sepertinya itu adalah para preman yang kemarin ia pukul.
Victoria sedang mengambil sebotol jus buah dan terkejut ketika seseorang berada di belakangnya dan hendak mengambil jus buah itu juga. Ia berbalik dan terperangah ketika melihat pria yang sepertinya sudah tidak asing lagi.
Pria itu adalah pria yang sama yang berada di café tadi pagi. Ia ingat dengan kemeja hitam dan celana jeansnya.
"Kamu!" seru Victoria.
"Ya, aku. Ada apa?" ucap pria itu dengan wajah polos, tak berdosa.
"Kamu mengikutiku sejak kemarin, ya kan?" tuduh Victoria.
"Aku? Kenapa aku mengikutimu? Aku tidak mengenalmu," kata pria itu sambil tersenyum.
"Kamu pasti berbohong! Kamu tadi pergi ke café dan mencoba untuk menggangguku, ya kan?" Victoria mundur selangkah.
"Aku tidak berbohong," kata pria itu.
Victoria mendongak dan memberanikan diri untuk menatap wajah pria itu. Kakinya langsung terasa lemas dan lututnya gemetar.
Pria itu sangat tampan dan mempesona. Tidak ada satu pun pria Amerika yang tampak sekeren dan seseksi itu.
Kulitnya berwarna eksotis, rambutnya hitam, matanya tampak tajam, dan penuh misteri. Ada jambang tipis yang menghiasi dagu dan pipinya. Tubuhnya tinggi dan kekar. Victoria penasaran seperti apa bentuk tubuhnya jika pria itu tidak mengenakan pakaian.
Namun, saat Victoria memperhatikan pria itu lebih saksama, sepertinya pria itu tampak seperti pria yang tadi malam muncul dalam mimpinya. Ia pikir ia sedang bermimpi melihat pria tampan dan tiba-tiba pria itu menghilang. Mungkin pikirannya sedang kacau akhir-akhir ini setelah ia melawan para preman itu.