Victoria terkejut menemukan dirinya bisa melakukan bela diri dan kini pria tampan di hadapannya membuatnya sesak napas, padahal pria itu tidak melakukan apa pun padanya.
"Halo?" Pria itu menggerak-gerakkan tangannya di hadapan wajah Victoria.
Victoria mengerjapkan matanya dan berdeham. "Hai."
Pria itu terkekeh. "Dengarkan aku, Nona. Aku tidak pernah bermaksud untuk mengganggumu. Aku hanya ingin mengambil itu." Ia menunjuk jus buah di balik punggung Victoria.
"Oh, maafkan aku," ucap Victoria dengan wajah yang memerah karena malu.
Victoria pun menyingkir, memberi ruang untuk pria itu. Senyuman manis menghiasi wajah pria yang tampan itu. Victoria merasakan air liurnya menetes saat melihat pria itu tersenyum.
"Hmmm, bagaimana kamu bisa melihatku?" tanya pria itu sambil menautkan alisnya.
"Aku … aku melihatmu. Ya, kamu berada di café tadi pagi, ya kan. Tentu saja aku melihatmu. Aku ingat pakaian yang kamu kenakan."
"Pakaian? Pasti ada banyak manusia yang mengenakan pakaian sepertiku." Pria itu menganggukkan kepalanya.
"Uhm, memang ada banyak manusia yang datang dengan berpakaian sepertimu. Omong-omong, kita semua manusia," imbuh Victoria yang terdengar aneh karena perkataannya sendiri. "Tapi aku tidak mungkin salah. Aku yakin kalau kamu adalah orang yang sama seperti tadi pagi."
Victoria pasti terdengar keras kepala karena telah menuduh seorang pria tampan membuntutinya. Semoga saja ia tidak terdengar murahan.
"Aku ingat, kamu sedang bersama seorang wanita yang mengenakan kaus merah dan celana hitam."
"Aku sendirian sekarang," timpal pria itu. "Mungkin kamu salah lihat."
Victoria memberengut. Ia jadi tampak seperti wanita yang suka menguntit, padahal ia yang menjadi korban di sini.
"Hei, tenanglah. Kita belum saling kenal sebelumnya." Pria itu mengulurkan tangannya. "Namaku Baron."
Nama yang sangat cocok untuk wajahnya yang tampan. Bukankah Baron adalah sebuah gelar kehormatan untuk orang Inggris? Mungkin nama Baron cukup populer di Amerika, entahlah. Victoria tidak pernah memikirkan tentang hal itu. Bisa jadi Baron bukan berasal dari Amerika.
Victoria mengulurkan tangannya ragu-ragu. "Victoria."
"Senang berkenalan denganmu," kata pria itu sambil tersenyum.
Victoria merasakan pipinya memanas seperti ada api yang menyala di bawah kulitnya.
"Kamu berasal dari mana?" tanya Baron.
"Aku berasal dari Phoenix. Kamu?"
"Aku bukan berasal dari sini."
Victoria mengangguk. Tentu saja, pria itu tidak akan memberitahu asalnya dari mana. Semua itu bukan urusannya sama sekali. Namun, Victoria terus saja mengajaknya bicara sekedar supaya ia bisa mendengar suara pria itu terus.
"Oh, jadi kamu sedang berlibur di sini?"
Baron terkekeh sambil mengangguk. "Ya, kamu bisa mengatakannya seperti itu. Maksudku, apa kamu berasal dari dunia ini?"
Victoria mengernyitkan wajahnya. "Apa yang kamu bicarakan? Tentu saja aku dari dunia ini. Apa kamu pikir aku mirip seperti alien?"
Baron tertawa lagi. Suara tawanya begitu menyenangkan, mengingatkan Victoria saat sedang berlibur di taman bersama ayah dan ibunya. Mereka tertawa bersama-sama dan semua itu adalah hal yang sangat indah, yang tak akan pernah terulang kembali.
"Apa itu alien?" tanya Baron.
"Makhluk luar angkasa," jawab Victoria.
"Apa?" Pria itu menautkan alisnya dan seketika matanya tampak semakin tajam dan misterius. "Tidak ada makhluk apa pun di luar angkasa. Bagaimana mereka bisa hidup jika hampa udara? Uhm, menurutku kamu adalah manusia yang sangat cantik di dunia ini.
"Omong-omong, aku pernah bertemu dengan makhluk yang lebih cantik darimu, tapi aku langsung pergi menghindar ketika dia mengeluarkan tanduk di atas kepalanya dan berubah menjadi badak."
"Apa? Kamu pasti terlalu banyak menonton film fantasi," ucap Victoria yang bermaksud untuk mengejeknya, tapi pria itu tampak begitu serius.
"Aku tidak pernah menonton film. Kalau kamu melihatnya langsung, kamu pasti akan ketakutan, sama sepertiku."
Victoria menggaruk-garuk kepalanya dan merasa bingung dengan apa yang Baron ucapkan. Pria itu selalu mengucapkan kata manusia, seolah ia sendiri bukanlah seorang manusia.
Mungkin, Baron memang bukan seorang manusia. Dia adalah seorang malaikat tampan yang diutus Tuhan untuk menjadi kekasihnya. Victoria tertawa dalam hatinya. Tidak ada sesuatu hal semacam itu. Sejauh ini ia tidak pernah berhasil menarik perhatian pria selain Raymond.
"Oh ya, apa kamu sendirian? Bolehkah aku mentraktirmu minum kopi?"
Victoria menautkan alisnya. Ia pikir ia telah salah dengar. Apa Baron bermaksud mengajaknya untuk berkencan? Ia terkekeh dalam hati, ada beberapa pria tampan yang tiba-tiba masuk dalam hidupnya beberapa hari ini.
Haruskah ia terima tawaran Baron? Kenapa tidak?
"Boleh juga," jawab Victoria.
Victoria segera mengambil telur. Sejujurnya, ia hampir lupa tujuannya datang ke supermarket untuk apa. Untung saja pikiran warasnya telah kembali ke dalam otaknya sehingga ia langsung teringat akan telur.
Setelah itu, ia kemudian berjalan ke kasir ditemani oleh Baron.
"Bolehkah aku menitip jus buah ini di keranjangmu? Ini uangnya," kata Baron sambil menyerahkan selembar uang lima dolar.
"Oh, tentu saja," ucap Victoria sambil menerima uang itu.
Tangan mereka sempat bersentuhan sejenak dan hal itu membuat Victoria merasa seperti tersengat aliran listrik yang sangat kuat. Pesona dari pria itu telah mengacaukan segala sesuatu di dalam tubuhnya.
Victoria memasukkan jus buah ke dalam keranjang sambil melirik sedikit ke arah pria itu.
Baron tersenyum padanya dan berkata, "Terima kasih."
Suaranya terdengar begitu dalam dan seksi. Victoria langsung membayangkan pria tampan dengan kuda hitamnya yang gagah. Pasti akan sangat luar biasa jika memiliki kekasih yang mengendarai kuda.
Sekarang, Victoria yang justru tampak seperti yang terlalu banyak menonton film fantasi. Ia mungkin harus mengurangi jam menonton Hotflin kesukaannya.
Mereka berdiri bersebelahan dan bahu mereka saling bersentuhan. Victoria bisa menghirup aroma Baron. Pria itu beraroma bunga, tapi Victoria tidak tahu jenis bunga apa. Tiba-tiba, jantungnya berdetak sangat cepat.
"Apa yang kamu lakukan? Ayo maju," kata Baron, membuyarkan lamunan liarnya.
Victoria tersentak, antrian di depannya sudah kosong. Sang petugas kasir menunggunya untuk maju ke depan. Akhirnya, setelah selesai membayar, Victoria menyerahkan jus buah itu pada Baron.
Baron memasukkan jus buah itu ke dalam sebuah kantung yang sangat kecil.
"Aku pikir sepertinya botol jus itu tidak akan muat …."
Baru saja Victoria berkata seperti itu, ternyata botol itu masuk begitu saja ke dalam sana.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi?" Victoria membelalakkan matanya.
"Sihir."
"Jadi kamu seorang pesulap?" tanya Victoria sambil menatapnya takjub.
Baron tampak sedang berpikir. "Mungkin. Aku tidak pernah menyebut diriku seperti itu. Sebenarnya aku yang ingin bertanya padamu, apa kamu seorang penyihir?"
"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Aku tidak memiliki rambut putih jelek, memakai topi kerucut, dan naik sapu terbang kan." Victoria tertawa mendengar omongannya sendiri.