Victoria tidak langsung menerima benda itu. Ia bertanya, "Apa ini?"
"Ini adalah diska lepas yang dicari oleh rekan kerjaku," ungkap Raymond.
Victoria melebarkan matanya. "Jadi kamu sampai disiksa oleh pada preman itu karena benda kecil ini?"
"Ya dan kamu datang menyelamatkanku." Raymond menganggukan kepalanya perlahan. "Aku pikir akan lebih aman jika kamu memegang kopiannya. Aku telah menyimpan yang aslinya di rumahku."
"Memangnya kamu pikir akan aman jika kamu menitipkannya padaku?" tanya Victoria sambil menautkan alisnya. "Aku tidak bisa menjamin jika semuanya akan baik-baik saja. Bagaimana jika mereka datang mencariku? A-aku belum tentu bisa melawan mereka seperti waktu itu. Semua itu hanya kebetulan. Aku bukan titisan Hulk seperti yang kamu pikirkan."
Raymond mendesah sambil tersenyum. "Tidak apa-apa, Victoria. Semuanya akan baik-baik saja. Tak ada yang mengetahui tentang hal ini selain kita berdua saja."
Victoria terpaksa menerima diska lepas berukuran kecil itu. Ia memandang gantungan kunci berbentuk burung kecil yang menempel di ujung diska lepas itu. "Apa kamu yakin ingin aku menyimpannya untukmu?"
"Ya," ucap Raymond tegas. "Kamu adalah wanita terkuat dan terhebat yang pernah aku jumpai dan aku percaya padamu. Meskipun kamu tidak akan menjadi Hulk seperti waktu itu, tapi aku yakin kalau semuanya akan baik-baik saja. Santai saja. Aku masih memiliki file yang asli." Raymond mengangkat alisnya sambil tersenyum.
Victoria merasa beban menerima diska lepas itu. Bagaimana jika ada sesuatu hal yang buruk yang akan menimpanya karena ia menyimpan benda itu? Ia belum tentu mendapatkan keberuntungan yang kedua kalinya.
"Hei dengar, Ray. Aku sendiri tidak pernah tahu jika aku memiliki kekuatan sebesar itu." Victoria menggelengkan kepalanya. "Semua itu datang begitu saja. Aku tidak pernah melakukan bela diri sebelumnya dan jika preman-preman itu datang mencariku, aku tidak tahu harus berbuat apa."
"Tenang saja, Victoria. Aku tidak akan mencelakakanmu. Aku akan melakukan apa pun untuk memastikan bahwa kamu aman."
Victoria mendesah sambil memberengut. Bagaimana bisa Raymond memastikan dirinya aman? Pria itu saja tak dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
Tiba-tiba, Raymond menarik tangan Victoria lalu membalikkannya untuk menatap telapak tangannya. "Tanganmu waktu itu berubah hijau."
Victoria langsung menarik tangannya kembali dan menggosoknya. Entah mengapa, ia merasa canggung saat Raymond menyentuhnya.
Selain Victoria takut jika preman-preman itu muncul lagi, ia pun merasa takut jika tangannya berubah menjadi hijau lagi.
"Apa kamu tidak takut melihatku?"
Raymond menautkan alisnya. "Tidak. Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"
"Itu karena aku sendiri takut pada diriku sendiri. Kemarin itu adalah pertama kalinya aku melawan preman-preman sendirian. Kekuatan itu muncul tiba-tiba di luar kesadaranku."
Raymond tersenyum. "Meskipun kamu berwarna hijau seperti Hulk, aku akan tetap menyukaimu, Victoria."
Jantungnya berdegup dengan kencang. Ia berjanji bahwa hatinya telah menjadi milik Baron selamanya, tapi ia juga meleleh saat Raymond mengucapkan kata-kata indah seperti itu.
"Aku pasti tampak sangat aneh," ujar Victoria sambil menutupi rasa gugupnya.
"Tidak, tidak. Kamu adalah penyelamatku. Jadi, aku tidak pernah menganggapmu aneh."
Victoria mendesah. "Ya, itu semua karena kamu menganggapku sebagai pahlawan. Kalau kamu sebagai orang lain yang melihatku, kamu pasti akan pergi dan menjauhiku."
Raymond menautkan alisnya, tak percaya dengan yang ia dengar. "Victoria, aku tidak pernah berpikiran seperti itu. Aku tidak akan pernah menjauh darimu."
Victoria menatap Raymond dan tidak menemukan kebohongan dari matanya. Akhirnya, ia memasukkan diska lepas itu ke dalam tasnya yang kecil dan menarik retsleting hingga tertutup rapat.
"Dengar, perasaanmu padaku itu tidak nyata. Seandainya aku tidak memiliki kekuatan super, kamu pasti tidak akan pernah menyukaiku." Victoria memasukkan kedua tangannya ke dalam saku kardigannya.
"Kamu salah," ucap Raymond sambil menggelengkan kepalanya. "Aku bahkan menyukaimu sebelum aku tahu bahwa kamu memiliki kekuatan super."
Raymond duduk semakin mendekat padanya, lalu ia menggenggam tangan Victoria. Ia bisa merasakan aliran listrik menyengat tangannya dan kemudian menyebar ke sekujur tubuhnya.
Victoria merasa lemah. Bagaimana bisa sebuah genggaman tangan mampu membuatnya luluh?
Ia jadi kasihan pada dirinya sendiri. Selama ini Victoria selalu saja sendirian tanpa ada cinta seorang pria di hidupnya. Kini dua orang pria datang secara bersamaan dalam hidupnya.
Namun, pria yang satu lagi belum menemuinya lagi hingga sekarang. Ada keraguan di wajahnya saat ia menatap tangan Raymond. Victoria mendongak untuk menatap sepasang mata coklat itu.
"Aku jatuh cinta padamu, Victoria," ungkap Raymond dengan wajah yang serius.
"Itu manis sekali."
Raymond semakin mendekatkan wajahnya, tapi Victoria bergerak mundur. Ia paham maksud dari sikap Raymond. Ia tidak ingin pria itu menciumnya, jadi ia harus memastikan semuanya jelas.
Dengan enggan Raymond melepaskan tangannya. Victoria menatapnya dengan alis yang terangkat.
"Maafkan aku," ucap Raymond sambil menyeringai. "Sepertinya aku terlalu terbawa suasana."
Victoria melihat ke sekeliling mereka. Di sana hanya ada kendaraan yang sesekali lalu lalang di depan mereka. Matahari bersinar terik dan udara cukup panas.
Ia bertanya-tanya dalam hati. Hal apa yang membuat Raymond terbawa suasana? Victoria jadi meragukannya.
"Kita baru saling kenal. Oke?"
"Oke," jawab Raymond sambil mengangguk.
"Aku pikir kita belum sampai pada tahap ciuman itu," ucap Victoria hati-hati. "Aku yakin kalau perasaan cintamu itu terlalu cepat. Jika kamu tahu siapa aku sebenarnya, semakin mengenalku, kamu mungkin tidak akan mau bersama denganku."
Raymond menyipitkan matanya. "Kenapa kamu berkata seperti itu?"
"Entalah. Kita bisa berteman dulu. Omong-omong, aku akan menjaga diska lepasmu," kata Victoria sambil menepuk tasnya.
"Baiklah," ucap Raymond dengan senyum setengah hati.
"Ray, sepertinya aku haus."
Raymond langsung melompat berdiri. "Aku akan membelikanmu minum. Kamu mau minum apa, Victoria?"
"Kamu bisa memanggilku Vicky, kalau kamu mau."
"Itu adalah nama yang sangat keren. Okay, Vicky. Aku akan mentraktirmu minum." Raymond tersenyum lebih lebar seperti seorang anak kecil.
Victoria tidak tahu seperti apa perasaan pria itu sekarang. Semoga saja Raymond tidak tersinggung karena penolakannya.
"Baiklah kalau begitu, aku mau jus jeruk saja."
Mereka berjalan masuk ke dalam mini market. Raymond mengambil dua botol jus jeruk dingin dari kulkas. Setelah membayar di kasir, mereka kemudian minum jus jeruk itu di kursi depan minimarket.
Victoria berusaha untuk tidak canggung di hadapan Raymond. Dia harap apa yang baru saja dikatakannya sudah cukup jelas. Ia ingin berteman dulu dengan Raymond.
Mereka sama-sama menghabiskan jus jeruk itu dan kemudian membuang bungkusnya ke tong sampah.
"Lain kali aku akan membawa sepeda supaya kita bisa naik sepeda bersama," kata Raymond sambil berjalan sementara Victoria menggiring sepedanya.
"Memangnya rumahmu di mana?" tanya Victoria.
"Rumahku di Jalan Kelapa Timur," jawab Raymond sambil menunduk, menatap trotoar.
"Apa pekerjaanmu?"
Raymond menoleh pada Victoria sambil memiringkan kepalanya. "Apa kamu mulai tertarik padaku?"