Victoria terkekeh pelan sambil menautkan alisnya. "Ayolah. Kita kan teman. Seorang teman boleh menanyakan pekerjaan temannya kan."
Ia mulai merasa jika Raymond jadi sedikit lebih agresif atau itu hanya perasaannya saja.
"Aku membuat program komputer," jawab Raymond pada akhirnya.
"Keren. Kamu pasti kaya raya." Victoria mengangguk dengan ekspresi penuh keyakinan.
"Lumayan, tapi aku tidak dapat menunjukkan kepada orang lain jika aku memiliki uang yang banyak," ungkap Raymond sambil mengedikkan bahunya. "Aku tidak ingin orang-orang memperhatikanku. Yang penting, aku bisa makan setiap hari dan memiliki sebuah rumah untuk berlindung. Itu semua sudah cukup bagiku."
"Kamu terlalu merendah," kata Victoria. "Semua orang juga berharap agar mereka bisa makan setiap hari dan memiliki rumah untuk berlindung dan beristirahat. Hanya saja, jika aku punya uang yang lebih, aku mungkin akan melakukan hal-hal yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya."
"Seperti apa misalnya?" tanya Raymond.
"Aku ingin naik gunung dan membuat tenda di puncaknya. Setelah itu, aku ingin melihat matahari terbit di pagi hari. Itu pasti sangat indah. Apa kamu pernah berkemah sebelumnya?"
"Tidak. Aku bukan tipe orang yang suka berpetualang. Selama ini aku menghabiskan waktuku di balik komputer." Raymond mengedikkan bahunya.
"Ya, kamu memang tiper orang yang seperti itu. Apa kamu pernah bosan dengan kehidupanmu?"
"Kadang-kadang aku merasa seperti itu, tapi aku terlambat menyadarinya. Aku telah menghabiskan waktuku yang berharga selama ini untuk bekerja di balik layar komputer. Uangku mungkin banyak, tapi aku tidak begitu menikmati hidup."
Victoria mengangguk perlahan menanggapi pengakuan Raymond yang cukup membuatnya menyadari bahwa kebahagiaan dalam hidup bukan tentang uang yang banyak, tapi ada banyak hal yang lebih dari itu.
"Omong-omong, tadi kamu bilang rumahmu di Kelapa Timur ya." Victoria mengangguk perlahan. "Sepertinya rumah di sana bagus-bagus. Aku pernah berkunjung ke rumah pasien ibuku di sana."
Raymond menoleh padanya. "Benarkah? Apa ibumu seorang dokter?"
"Ya. Dia adalah seorang dokter bedah sementara aku adalah seorang anak bodoh yang nilai pelajaran di sekolahnya kurang baik dan akhirnya, menjadi seorang pelayan restoran."
"Aku tidak percaya jika kamu bodoh. Kamu memperhitungkan setiap gerakanmu saat kamu melawan preman-preman itu," kata Raymond antusias.
"Ray, aku mohon, lupakan tentang kejadian itu, oke?" Victoria membuka tangannya. "Sampai sekarang pun aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukan hal itu."
"Kamu memiliki kekuatan super yang kamu sendiri tidak menyadarinya. Aku tahu kalau kamu adalah seseorang yang istimewa. Seandainya aku memiliki kekuatan super, aku ingin bisa mengalahkan musuh dan monster."
"Maksudmu monster di video game?" ejek Victoria.
"Tidak. Aku serius tentang hal ini. Aku juga ingin memiliki kekuatan yang hebat untuk mengalahkan musuh. Terkadang, kita tidak menyadari bahwa ada monster di sekeliling kita."
Victoria terkekeh. "Tidak ada moster di dunia ini, Ray."
"Kita tidak pernah tahu. Aku selalu merasa bahwa ada makhluk lain yang hidup berdampingan dengan dunia kita, hanya saja kita tidak pernah melihatnya," ujar Raymond serius.
Victoria pernah melihatnya, tapi Baron telah menghilang dan tak pernah kembali. Mungkin Baron hanya berada dalam imajinasinya saja dan dia tidak pernah ada di dunia nyata.
Lalu bagaimana dengan ciuman itu? Apa itu semua juga hanya sekedar halusinasinya saja?
Sehari sebelumnya, Victoria melihat dua orang aneh yang salah satunya mirip dengan Baron, tapi kemudian mereka menghilang dengan cepat. Ia juga bermimpi seseorang sedang membaca buku diarinya. Ia terbangun dan malah bertemu dengan laba-laba.
Victoria sangat membenci laba-laba. Mungkin ia phobia laba-laba. Selama ini ia belajar untuk menghadapi ketakutannya itu. Syukurlah ia berpikir cepat untuk memukul laba-laba itu.
Berbagai kejadian aneh terjadi dalam hidupnya selama beberapa hari ini. Padahal ia hanya ingin menjalani hidup normal. Jika memang Baron hanyalah sekedar halusinasinya saja, mungkin ia harus membuka hatinya untuk Raymond.
Pria itu memang tampan, meski tidak setampan Baron. Raymond tampak nyata di hadapannya. Semua orang bisa melihatnya. Courtney dan Mariah bahkan mendukungnya untuk berkencan dengan Raymond.
Namun, Victoria akan memberi mereka sedikit waktu untuk saling mengenal satu sama lain. Ia pikir itu cukup adil.
Saat mereka sudah tiba di depan rumah Victoria, Raymond menyandarkan tangannya di atas pagar dan menghela napas sambil tersenyum.
"Terima kasih karena sudah mengizinkanku untuk mengantarkanmu pulang," katanya.
Victoria balas tersenyum. "Aku yang seharusnya berterima kasih karena kamu sudah mentraktirku jus jeruk dan mengantarkanku pulang."
"Aku akan menemuimu lagi besok," Raymond berjanji padanya sambil tersenyum manis.
"Baiklah."
Raymond kembali mendekatinya dan mencium pipinya sekali. Sekali lagi senyuman manis itu menghiasi wajahnya. Victoria terkesiap dan tanpa sadar menyentuh pipinya yang memerah.
"Aku menghargai keputusanmu agar kita bisa saling berteman dulu. Tapi tenang saja, aku pasti akan membuatmu jatuh cinta padaku."
"Kamu terlalu percaya diri." Victoria menggelengkan kepalanya.
Raymond terkekeh. "Bukan masalah. Aku terbiasa hidup menghadapi sesuatu yang sulit. Kamu adalah salah satu yang sulit untuk kudapatkan."
"Selamat berjuang kalau begitu," kata Victoria.
"Okay. Ayo masuklah. Selamat malam, Vicky." Raymond melambaikan tangannya.
"Selamat malam, Ray," balas Victoria. Lalu ia membuka pagar dan masuk ke dalam rumahnya.
Kecupan Raymond di pipinya telah membuat Victoria lemah. Seumur hidupnya ia selalu sendirian tanpa kehadiran seorang kekasih. Jika tadi ia langsung menerima Raymond, mungkin mereka telah berciuman dan bergandengan tangan bersama.
Victoria menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia sendirian di rumahnya. Ibunya mengirimnya pesan singkat yang mengatakan bahwa ibunya harus melakukan operasi usus buntu malam ini.
Lalu ia melepaskan kardigannya dan membuka tasnya untuk mengeluarkan diska lepas milik Raymond. Apa sebenarnya isi diska lepas ini?
Victoria berjalan menuju ke kamarnya dan meletakkan diska lepas itu di meja. Ia membuka bajunya dan mandi. Ia kembali mengingat ciuman Baron di bibirnya. Seketika bagian bawah tubuhnya menggelenyar.
Victoria menyentuh tubuhnya sendiri dan merasakan gairah yang tiba-tiba muncul. Ia terkejut dan kemudian mematikan air keran. Selesai mandi, ia pun mengambil handuk dan mengeringkan tubuhnya.
Sambil berbalut handuk, ia berjalan masuk ke kamarnya dan menyalakan laptop. Victoria mengambil piyama kelinci kesukaannya dan kemudian berpakaian. Selesai itu, ia memasukkan diska lepas itu ke dalam laptop.
Victoria duduk di meja belajarnya dan mengklik layar dengan touchpad. Tak ada yang salah dengan mengintip sedikit isi dari diska lepas ini. Jika Raymond mempercayakan benda ini padanya, maka ia berhak untuk tahu isi diska lepas ini yang sebenarnya.
Victoria mengerutkan keningnya saat melihat foldernya yang berisi foto-foto dirinya yang sedang bekerja di cafe. Selama ini, Raymond mengambil fotonya diam-diam.
Itu sangat tidak sopan. Victoria ingin marah, tapi ia mengurungkan niatnya saat melihat hasil fotonya yang ternyata cukup bagus.
Di salah satu foto itu, ada wajah dirinya yang sedang tersenyum pada seorang pelanggan. Rambutnya tampak bersinar kuning keemasan terkena cahaya matahari. Foto itu tampak seperti sebuah lukisan yang dipajang di ruangan.
Dengan kata lain, ia tampak cantik di foto itu. Raymond mengaguminya dari jauh. Haruskah ia merasa senang atau takut?
Raymond bukanlah seorang psikopat, bukan? Sebaiknya mulai saat ini ia harus berhati-hati pada pria itu, kecuali ia membiarkan dirinya jatuh cinta pada Raymond.
Lalu ada sebuah foto surat. Victoria mengkliknya.
"Jika kamu telah membuka diska lepas ini, aku harap kamu membaca surat ini. Maafkan aku karena telah mengambil fotomu tanpa izin. Aku selalu memperhatikanmu dari jauh. Sejak pertama kali aku melihatmu, aku telah jatuh cinta padamu. Sayang sekali aku tidak punya nyali untuk mendekatimu. Hingga pada akhirnya aku masuk ke dalam café dan kamu menyapaku.
"Aku pikir aku telah kehilangan akal sehatku karena berani berbicara langsung denganmu. Lalu setelah itu kamu datang untuk menyelamatkan nyawaku. Harus kuakui jika perasaanku padamu semakin dalam.
"Selama beberapa hari ini aku terus menerus memikirkan tentangmu. Lalu apa yang terjadi jika aku menyatakan cintaku padamu? Semoga kamu tidak terkejut dan malah membenciku. Aku hanyalah seorang pria kesepian yang selalu menantikan cinta darimu. With love, Raymond."
Victoria terkekeh sambil mengernyitkan dahinya. "Apa-apaan ini?"
Lalu ada sebuah folder lain. Ia mengklik folder itu dan muncul tulisan di layar yang meminta password. Mungkin ini adalah programnya, pikir Victoria.
Ia mematikan laptop dan kemudian menyimpan diska lepas itu di dalam laci lemarinya. Ia turun ke dapur untuk mencari makanan ketika ia mendengar sebuah suara misterius dari balik pintu yang menuju ke garasi.
Victoria menghentikan langkahnya dan terdiam untuk mendengarkan lebih saksama. Suara itu jadi semakin jelas.