Chereads / Baron, The Greatest Animagus (Indonesia) / Chapter 34 - 34. Courtney Yang Penasaran

Chapter 34 - 34. Courtney Yang Penasaran

Keesokan harinya, Victoria datang terlambat ke tempat kerjanya. Mark, sang supervisor di café, menatap tajam padanya.

"Kamu telat," katanya.

"Ya, aku minta maaf, Pak," ucap Victoria tanpa penyesalan.

Victoria berjalan cepat menuju ke loker dan mengganti pakaiannya dengan seragam kerja. Café tampak ramai di pagi hari seperti biasa. Ada banyak orang-orang yang sarapan di tempat itu.

Orang-orang berkata bahwa kopi buatan barista di tempat ini sangatlah enak dan harum. Victoria bangga pada hasil kerja keras Mariah yang telah membuatkan kopi spesial yang sangat enak.

"Apa kamu sempat berkencan dengan Raymond?" tanya Courtney saat mereka sedang membersihkan meja yang kotor.

"Tidak. Aku tidak sempat bertemu lagi dengannya. Lagi pula aku tidak tahu di mana rumahnya," ujar Victoria.

"Bukankah kamu sudah pernah memberikan nomor teleponmu padanya? Kalian pasti sering saling mengirimkan pesan singkat, bukan?"

"Tidak. Aku tidak jadi memberikan nomor teleponku padanya." Victoria menggelengkan kepalanya. Ia telah selesai mengelap meja dan kemudian pergi menuju ke dapur.

"Hei, tunggu, Vicky." Courtney menyusulnya ke dapur.

"Ada apa, Courtney?" tanya Victoria yang mulai merasa tidak nyaman dengan pertanyaannya seputar Raymond.

"Setidaknya kalian sudah berciuman, bukan?"

Victoria menyipitkan matanya. "Itu tidak akan pernah terjadi."

"Oh, ayolah. Kamu membuatku kecewa." Courtney memberengut.

"Nikmati saja kekecewaanmu, Sayang. Aku tidak akan berkencan dengan pria mana pun," kata Victoria sambil menaruh piring berisi pasta di atas nampan.

Itu sama sekali tidak benar. Victoria baru menyadari bahwa ia tidak ingin menjadi sendiri setelah ia berciuman dengan Baron. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan untuk bertemu lagi dengan pria itu.

Ia telah kehilangan Baron untuk beberapa waktu yang cukup meresahkan. Victoria ingin bertemu lagi dengan pria itu, tapi ia tidak bisa melakukannya. Sayang sekali, pria itu tidak meninggalkan nomor ponselnya.

"Benarkah itu? Apa kamu senang berkencan dengan perempuan?" tanya Courtney sambil terperangah.

"Tentu saja, tidak!" sergah Victoria. "Aku bukan tipe seperti itu. Untuk saat ini, aku hanya ingin bekerja dengan baik dan memiliki kegiatan yang positif."

"Berkencan itu positif," Courtney mengangguk pelan. "Berciuman dengan pria tampan jauh lebih positif lagi."

Victoria tersenyum. "Yaaa, kamu benar. Aku harap aku juga bisa berciuman lagi dengan pria tampan."

Victoria berjalan cepat menuju ke meja nomor lima sambil membawa pesanan dari dapur, meninggalkan Courtney yang sedang melongo memandangnya. Ia menaruh piring pasta itu di meja nomor lima dan kemudian pergi untuk melayani pengunjung yang lain.

Ia sengaja membuat tanda tanya besar di hadapan wajah Courtney supaya sahabatnya itu penasaran dan bingung. Mariah memperhatikannya dari balik konter sambil tersenyum lebar.

Setelah mencatat pesanan, Victoria kembali ke dapur untuk menjepit kertas pesanannya dan membunyikan bel.

Courtney datang menghampirinya. "Kamu membuatku penasaran, Vicky. Ayo katakan padaku. Pria mana yang telah menciummu?"

Victoria tersenyum. "Dia tidak berasal dari sini."

"Jadi, pria itu bukan Raymond? Apa dia tampan? Atau seksi? Katakan padaku." Courtney mendesak Victoria.

"Yang pasti, dia bukan Raymond. Dia memang sangat tampan dan keren. Kami hanya baru bertemu sekali dan aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang pria itu hingga sekarang." Victoria mengakuinya tanpa ragu.

Courtney tersenyum sambil menyipitkan matanya. Ia menyandarkan bokongnya di tembok sambil melipat tangannya di dada. "Kamu memang nakal. Aku pikir kamu akan berhasil menggoda Raymond. Ternyata, kamu berkencan dengan pria lain. Ceritakan padaku, bagaimana kamu bisa berciuman dengan pria itu? Tunggu, apa dia punya nama?"

"Namanya Baron. Kejadiannya begitu cepat. Saat itu aku—"

"Pesanan meja nomor sebelas!" seru Sean sambil menekan bel dua kali. "Ayolah, Ladies. Saatnya untuk bekerja! Berhenti bergosip! Ayo, kerja, kerja!"

"Kamu harus menceritakan segalanya padaku. Segalanya," imbuh Courtney.

"Baiklah. Aku akan menceritakannya setelah pulang kerja." Victoria berjanji pada Courtney.

Victoria mengambil pesanan itu dan mengantarkannya ke meja nomor sebelas. Tiba-tiba, ia melihat ada seseorang yang sebenarnya tidak begitu ia harapkan kehadirannya.

Pria itu menatapnya. Victoria pun mendesah dan menghampiri pria itu.

"Hai, Ray. Kamu mau memesan sesuatu?" tanya Victoria sambil balas menatap matanya.

"Hai, Victoria. Aku merindukanmu."

Ketika Victoria mendengar suara Raymond, ia merasa hatinya bergetar. Rasanya sudah berhari-hari ia tidak melihat wajah Raymond. Ia masih tampak tampan seperti sebelumnya.

Matanya berwarna coklat hangat seperti cokelat yang meleleh. Rambutnya tampak rapi. Victoria hampir lupa seperti apa wajah Raymond. Namun, ia masih belum bisa melupakan Baron.

"Mungkin maksudmu, kamu merindukan kopi di tempat ini. Benar begitu bukan?" ralat Victoria sambil menyunggingkan senyum miring.

Raymond terkekeh. "Sebenarnya aku datang ke sini bukan untuk segelas kopi."

"Aku harus meminta maaf kalau begitu. Untuk menu sarapan pagi ini hanya ada kopi, roti, dan pasta."

"Kamu bekerja terlalu serius," ujar Raymond.

"Aku selalu bekerja dengan serius. Ada kamera CCTV di mana-mana dan aku tidak mungkin menjadi seorang pemalas."

Raymond mengangkat alisnya. "Oke. Kalau begitu, aku memesan secangkir kopi panas dan sandwich."

"Cappucino atau kopi hitam?" tanya Victoria seperti yang selalu ia lakukan pada semua pelanggan.

"Menurutmu, mana yang paling enak?" tanya Raymond sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Bagaimana dengan cappucino?"

"Ide bagus." Raymond mengangguk setuju.

Victoria pun menulis pesanannya di kertas. "Ada yang lain?"

"Tidak, terima kasih."

Raymond mengamati Victoria sebentar sebelum ia pergi dari sana. Hal itu membuat Victoria tidak nyaman.

Victoria pernah membantunya beberapa hari terakhir ini dan kemudian, pria itu pernah mencium pipinya. Namun, ia hanya menganggap hal itu hanya sekedar ciuman persahabatan.

Yah, itu semua haknya untuk datang ke kafe. Victoria tidak bisa menolaknya. Mungkin, mereka bisa menjadi teman yang baik.

Aku merindukanmu.

Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya. Ia ingin pergi dari semua situasi ini, tapi ia tidak bisa melakukannya. Raymond hanyalah seorang teman, bahkan tidak lebih dari itu.

Victoria menjepit kertas orderan dan kemudian menekan bel. Courtney tiba-tiba meraih tangannya. "Dia ada di sini! Pria tampan itu!"

"Ya, benar," jawab Victoria datar.

"Jadi, siapa pemenangnya? Apakah kamu akan memilih Raymond atau pria lain?"