"Kita sepakat untuk membicarakan hal itu nanti," kata Victoria.
Courtney memutar bola matanya. "Okay. Omong-omong, aku telah sekian lama menjadi sahabatmu dan baru kali ini aku melihatmu begitu bersinar. Lanjutkan, Sayangku. Aku akan dengan senang hati mendengarkan ceritamu."
"Terima kasih, Courtney."
Bersinar. Apakah selama ini ia terlihat redup hingga tak ada satu pria pun yang menyukainya? Ya, mungkin saja.
Victoria menarik napas dan bersikap senatural mungkin. Lalu ia menunggu di depan konter kopi. Mariah baru saja membuat tiga cangkir kopi. Victoria menaruh gelas kopi itu di baki.
Mariah sedang membuat secangkir cappucino untuk Raymond. Ia tersenyum manis pada Victoria. "Ini dia. Cappucino untuk Tuan Tampan."
"Namanya Raymond," ucap Victoria sambil memutar bola mata.
"Dan ia memang tampan. Ayo, serahkan kopi ini pada si tampan. Kamu pasti bisa."
"Tentu saja, aku bisa."
Victoria membayangkan Mariah memukul pantatnya seperti kuda agar ia berlari menuju ke arah Raymond. Ia membagikan tiga cangkir kopi untuk meja lainnya dan sengaja menjadikan cangkir cappucino yang terakhir.
Ia berjalan menuju ke meja Raymond dan menaruh cangkir itu di meja. "Selamat menikmati cappucino."
"Terima kasih, Victoria. Bisakah kita berbicara berdua?"
"Aku sedang bekerja," jawab Victoria tegas.
Raymond mendesah. "Ya, aku tahu. Maksudku, apa kita bisa berbicara di luar jam kerja? Ada sesuatu hal yang ingin kubicarakan denganmu."
Victoria memandang ke sekelilingnya untuk memastikan pembicaraan mereka tidak ada yang menguping. "Uhm …, pukul empat di depan minimarket, oke?"
Senyum pun mengembang di wajah Raymond. "Oke! Sampai bertemu nanti, Victoria."
Lalu Victoria mengangguk dan berjalan meninggalkan pria itu sendirian.
Victoria mengumpat dalam hati. Betapa bodohnya ia karena memberi pria itu harapan. Raymond memang tampaknya menyukainya. Ia juga sempat menyukai pria itu pada awalnya, hanya saja hati Victoria telah sepenuhnya menjadi milik pria misterius bernama Baron.
Victoria sendiri tidak yakin akan bertemu lagi dengan Baron atau tidak. Ia hanya bisa berharap Baron menepati janjinya.
Itu hanya sekedar sebuah ciuman, tegurnya pada dirinya sendiri. Namun, ia tidak dapat menepis kenangan itu dari kepalanya. Tidak ada salahnya jika sore ini ia bertemu dengan Raymond. Ia juga penasaran dengan apa yang akan Raymond katakan padanya.
Selesai pulang kerja pada pukul tiga lewat tiga puluh sore, Victoria bersiap-siap untuk mengganti pakaiannya dan segera saja Courtney menyusulnya dari belakang.
"Hei, Vicky! Aku memikirkan tentangmu sepanjang hari ini," ujarnya dengan tatapan penuh arti.
"Benarkah? Untuk apa?" Victoria terkekeh.
"Kamu telah membuatku penasaran," tunjuk Courtney. "Ayo cepat ceritakan padaku!"
"Aku bingung harus memulainya dari mana." Victoria mengedikkan bahunya.
Courtney mendesah sambil menggeram. Ia pasti kesal sekali. "Kamu bisa menceritakan seperti apa awalnya kamu bertemu si pria misterius itu?" Courtney bertanya sambil melepas kancing seragamnya.
"Jadi, aku bertemunya di supermarket. Pria itu muncul tiba-tiba dan membuatku terkejut. Aku yakin bahwa aku pernah melihatnya di café, tapi dia tidak mau mengakuinya. Dia selalu bertanya bagaimana aku bisa melihatnya. Itu aneh."
"Apa maksudnya?" Courtney telah melepaskan seragamnya dan kemudian mengambil kaus dari loker dan memakainya.
"Aku pun tidak mengerti. Dia bilang tidak ada orang lain yang dapat melihatnya selain aku. Aku berpikir mungkin selama ini orang-orang selalu mengabaikannya dan tidak ada yang peduli padanya. Hanya aku yang peduli padanya dan mau mengajaknya bicara. Entahlah. Sebenarnya, dia yang mengajakku bicara terlebih dahulu." Victoria mengangkat bahunya.
"Kemudian kami minum kopi di sebuah café dekat supermarket. Setelah itu dia mengantarkanku pulang." Victoria sengaja melewatkan cerita saat Baron mengangkatnya ke udara bersama sepedanya. Itu terdengar sangat tidak masuk akal.
"Lalu setelah kami tiba di rumahku, dia menciumku." Victoria menyentuh bibirnya secara tidak sadar.
"Pipimu merona." Courtney terkekeh. "Dengar, aku pikir pria itu terdengar agak aneh. Jika orang-orang tidak ada yang peduli padanya, kenapa kamu harus peduli?"
"Itu karena … itu karena aku menyukai pria itu."
"Yang benar saja. Apa karena dia tampan?"
"Ya."
"Atau karena dia terlihat keren?"
"Ya."
"Apa dia memiliki otot yang bagus?" Courtney melebarkan matanya
"Sangat."
"Tunggu sebentar. Apa kalian sudah tidur bersama?" Mata Courtney berubah menyipit.
"Tidak!" sergah Victoria. "Aku tidak pernah tidur dengan pria mana pun!"
Tiba-tiba, Victoria menyesal sambil menutup mulutnya. Seharusnya ia tidak perlu mengaku hal memalukan seperti itu pada Courtney. Hal itu hanya membuatnya tampak menyedihkan karena selama ini tak ada satu pria pun yang benar-benar tertarik padanya.
Victoria tidak berpengalaman dengan para pria. Jadi, ya, ia memang tidak pernah tidur dengan pria mana pun juga.
Courtney menatapnya dengan sedih. "Benarkah?"
"Ya, itu benar."
"Hmmm, kamu pasti akan mengalaminya dengan pria yang mencintaimu dengan setulus hati. Kamu berhak mendapatkan pria yang baik karena kamu adalah sahabatku yang sangat baik."
"Terima kasih, Courtney." Victoria menekan bahu Courtney. "Sepertinya aku harus pergi. Raymond menungguku."
Courtney mengangkat alisnya. "Raymond? Kamu gila. Aku pikir kamu memilih pria misterius itu."
Victoria mendesah dan kemudian mengangkat alisnya. "Dia bilang ingin mengatakan sesuatu padaku. Aku sudah berjanji akan bertemu dengannya pada pukul empat."
"Semoga beruntung kalau begitu. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Vicky," ucap Courtney yang terdengar tulus.
"Aku mendoakan yang terbaik juga untukmu." Victoria tersenyum manis pada sahabatnya.
Lalu Victoria dan Courtney pun berpelukan sambil menepuk bahu. Setelah itu, Victoria bergegas mengenakan kardigannya dan berjalan keluar untuk mengambil sepedanya.
Minimarket itu tidak terlalu jauh dari café. Sebenarnya ia bisa saja berjalan kaki ke sana, tapi Victoria harus membawa sepedanya.
Di depan sana tampak Raymond sedang duduk di kursi depan minimarket. Ia sedang menunduk menatap ponselnya. Lalu Victoria memarkirkan sepedanya di tempat khusus parkir sepeda.
Raymond mendongak dan menatapnya. Senyumnya mengembang indah di wajahnya yang tampan. Victoria duduk di sebelahnya dan tersenyum malu-malu.
"Hai," sapa Raymond.
"Hai, Ray. Ada apa mencariku?"
"Aku ingin menyerahkan ini padamu," ucap Raymond sambil mengeluarkan sebuah diska lepas dari saku jaketnya dan menyerahkannya padanya.