Di pagi hari, hujan turun dengan derasnya. Semua penghuni Villa Putri berlarian kesana kemari. Seperti Denok yang bergegas mengangkat jemuran, Limbur yang segera menutup gerbang, dan juga Tama yang segera berlari untuk berteduh sambil membawa peralatan kerjanya yaitu sapu yang ia pakai untuk menyapu halaman.
Namun tak disangka Kirana yang duduk di pinggir kolam kutukannya malah tidak bergerak sama sekali. Ia memejamkan matanya sambil menikmati air hujan yang turun dengan derasnya. Tama menoleh ke arah Kirana. Ia segera mengambil payung yang ada di dekatnya saat berteduh. Tama berlari ke arah Kirana sambil memakai payung.
Kirana yang sedang menikmati air hujan tiba - tiba merasa bahwa air hujan itu berhenti membasahi wajahnya. Ia segera membuka matanya, dan ia pun melihat Tama. Pada saat itu, Tama tersenyum di hadapannya. Tama terlihat begitu tampan ketika memegang payung. Ia nampak seperti tokoh utama pria yang ada di drama korea.
Kirana pun tersadar jika ia sudah terlalu lama menatap wajah Tama. Ia harus segera mengalihkan pandangannya agar Tama tidak merasa terlalu percaya diri.
"Apa yang kau lakukan, sana kembali!", kata Kirana yang memalingkan wajahnya dari Tama.
Tama malah duduk disamping Kirana dan berkata, "Ayo putri, jika terus disini kau akan sakit".
Kirana menoleh ke arah Tama dan menatapnya dengan sinis.
"Bukankah kau senang jika aku sakit? Jika aku sakit, kau akan bebas kabur ke Jakarta untuk mencari pacarmu", kata Kirana.
"Aku,, aku,, justru kalau putri sakit, aku jadi tidak terbiasa, sehari tanpa mendengar omelan putri membuat hidupku sepi".
Kirana tersenyum saat mendengar rayuan Tama. Lalu ia mengusap - usap kepala Tama.
"Budak ku yang malang".
Saat mereka sedang asyik berbincang - bincang, tiba - tiba hand phone milik Tama berbunyi. Ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal, tetapi Kirana menyuruhnya untuk segera mengangkat telponnya.
"Halo, oh Nadia? Iya sayang aku baik - baik saja".
Ternyata telepon itu dari Nadia. Saat mengantar Nadia bersama Devan dan Ara, Tama memang sempat menitipkan nomor teleponnya kepada Ara untuk diberikan pada Nadia. Setelah menerima telepon dari Nadia, Tama menjadi seolah lupa bahwa ia sedang berada disamping Kirana.
Kirana merasa dirinya bagaikan obat nyamuk, meskipun Tama dan Nadia hanya berbicara melalui telepon genggam. Akhirnya Kirana pergi meninggalkan Tama. Tama tersadar ketika ia melihat Kirana yang pergi menjauhinya, dan Tama pun merasa tidak enak. Tama memanggil Kirana namun Kirana terus berjalan pergi.
"Pu.. Putri!", teriak Tama.
"Putri itu siapa sayang?", tanya Nadia.
"Oh itu bos ku"
"Bukannya bos mu namanya kirana?"
"Ah, iya namanya kirana saputri"
Bisa - bisanya Tama punya ide mengganti nama Kirana menjadi Kirana saputri untuk membuat Nadia percaya padanya. Karena di zaman ini negara sudah berubah menjadi negara Republik. Bahkan keturunan kerajaan pun diperlakukan sama dengan rakyat biasa, akan terasa aneh jika Nadia tau bahwa Tama memanggil Kirana dengan sebutan Putri.
Sementara itu Kirana masuk ke kamarnya dengan basah kuyup. Ia segera memanggil denok untuk membuatkannya teh hangat.
"Ya ampun putri kok basah kuyup begini, putri adalah orang yang paling berharga bagi denok, sini denok bantu ganti pakaiannya", kata Denok.
"Hmmm, sepertinya di zaman ini kau tidak perlu melayaniku sampai begini, aku bisa mengganti pakaian sendiri".
"Meskipun zaman sudah berubah, putri tetaplah putri yang agung bagi denok".
Setelah meletakan teh hangat di meja, Denok segera mengambilkan pakaian untuk Kirana. Denok memang pelayan yang setia. Kirana sebetulnya merasa kasian pada Denok dan Limbur. Karena sifat Kirana yang begitu tidak baik, sehingga Denok dan Limbur harus ikut menerima kutukan yang seharusnya hanya untuknya.
Denok memberikan pakaian yang ia siapkan untuk Kirana. Lalu Kirana meminta Denok untuk meletakannya di kasurnya, kemudian Kirana meminta Denok untuk kembali ke kamarnya. Setelah Denok keluar dari kamar Kirana, Kirana melamun dan mengingat hari - harinya bersama dengan Denok dan Limbur di Istana saat mereka belum pindah ke Villa.
Saat itu Kirana, Denok, dan Limbur pergi keluar istana untuk pergi melihat pesta panen. Mereka menyamar seperti bangsawan biasa. Pesta panen itu diadakan di pusat kota. Banyak sekali rakyat yang berkerubung untuk mengambil makanan pada saat upacara selesai dilakukan. Kirana menginginkan makanan itu tetapi ia enggan untuk mengantri. Karena Kirana sedang menyamar menjadi rakyat biasa, tidak ada satupun yang mengenalinya. Terjadilah keributan antara Kirana dengan nona - nona yang lainnya.
Sebagai pengawal yang di utus oleh raja untuk melindungi Putri Kirana, Limbur langsung mencabut pedangnya dan meletakkan pedangnya di leher seorang nona bangsawan yang sedang mencekik Kirana.
"Lepaskan tangan kotormu itu dari leher putri!", teriak Limbur.
"Apa? Putri?"
"Cepat berlutut!", teriak Limbur.
"Ba.. Baik"
Nona bangsawan itu langsung berlutut untuk meminta maaf kepada Kirana.
"Ampuni hamba gusti putri, hamba bersalah dan layak untuk di hukum".
"Hari ini mood ku sedang bagus jadi tidak ingin membunuh, lagi pula makanan ku sudah berserakan".
"Ampun gusti".
"Sebagai hukumanmu, keluarkan seluruh uang yang kau bawa!"
"Ba.. Baik gusti".
Nona bangsawan itu memberikan kantung uangnya kepada Kirana, lalu Kirana melemparkan semua kepingan uang milik nona itu kepada rakyat yang menonton pertengkarannya.
"Ambilah, itu semua untuk kalian!"
"Terima kasih gusti, Semoga Putri panjang umur"
Setelah membuat ulah, akhirnya Kirana, Denok dan Limbur pun pergi meninggalkan acara festival itu.
"Putri tadi keren sekali", puji Denok.
"Iya dong, dia terlalu sombong, harus diberi pelajaran!".
Saat mereka bertiga hendak berjalan menuju istana, ada seorang pendekar pria yang mengenakan topeng muncul dihadapan Kirana. Mereka bertiga begitu terkejut hingga Limbur kembali mencabut pedangnya.
"Tunggu dulu tuan pengawal, saya hanya ingin memberikan sedikit kue ini untuk putri", kata pendekar yang tidak dikenal itu.
"Wah apa itu?", tanya Kirana.
"Tunggu dulu putri, jangan langsung diterima", kata Denok.
"Ini tidak beracun, silahkan nona dayang mencicipinya"
Denok pun mencicipinya dan ternyata kue itu sangat enak. Setelah dikonfirmasi oleh Denok bahwa Kue itu tidak beracun, Kirana pun langsung melahapnya. Saat Kirana hendak bertanya siapa nama pendekar itu, pendekar itu langsung terbang dan pergi dari hadapan Kirana.
***
Kini hari sudah larut, Tama pun sudah terlelap. Tidak disangka ia memiliki mimpi yang berkaitan dengan ingatan Kirana. Ia bermimpi tentang seorang pria bertopeng yang sedang mengamati Kirana dari jauh pada saat Kirana sedang bertengkar dengan nona - nona bangsawan di festival panen. Pria itu tersenyum dan sepertinya ia menyukai Kirana.
Didalam mimpi itu ia mendengar bahwa seseorang sepertinya berbisik pada pria bertopeng itu. "Dia adalah sang putri".
Tama terbangun dari mimpinya. Hatinya merasa dag - dig - dug seperti pria yang baru saja melihat wanita yang di cintainya.
"Aneh kenapa jadi aku yang deg - degan".
Tama mengambil air minum yang ada di meja.
"Pria mana lagi yang ada di masa lalu putri? Jendral? Pangeran? dan sekarang pendekar bertopeng?"
Tama kembali merebahkan badannya di kasur. Menurutnya terlalu banyak pria yang jatuh cinta pada Kirana, tetapi yang telah berkorban hingga meninggal memanglah hanya Jendral John Willem.
"Tapi tetap yang paling unggul adalah jendral, mungkin jendral memang cinta sejati putri"