Chereads / MI VOLAS VIN (I Want You) / Chapter 52 - ALEXANDRO WIJAYA

Chapter 52 - ALEXANDRO WIJAYA

Kediaman keluarga Wijaya digegerkan dengan kedatangan Leonardo pagi ini. Pria itu menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Ayahnya sebelum berangkat ke kantor. Beberapa pelayan langsung kelabaan, berlari ke depan untuk menyambut kedatangan Leonardo.

Melani, ibu Leonardo yang baru menikmati secangkir teh darjeeling ikut tersedak mendengar laporan pelayan tentang kedatangan anak tirinya itu.

"Leonardo datang?" Melani mengeryitkan alisnya, tak biasanya ia datang tanpa undangan makan malam dari sang Ayah.

"Leon datang?" Karina yang juga sedang berkumpul di satu meja bersama dengan Melani langsung menyahut, ia bersitatap sesaat dengan mertuanya. Karina tak bisa menyembunyikan wajah sumringahnya, membuat Melani menaikkan alisnya curiga.

"Ehm .... Ma—maksudku, Apa Leon datang?" Karina tergagap memperbaiki nada suaranya, takut Melani menaruh curiga pada hubungannya dengan sang adik ipar.

Cepat-cepat kedua wanita itu bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju ke ruang keluarga. Leonardo didampingi oleh Kato masuk, beberapa pelayan menyambut kedatangan Leonardo, menerima jas dan juga melepaskan sepatunya, mengganti dengan serandal rumah yang lebih nyaman.

"Di mana Ayah?" tanya Leonardo.

"Tuan Besar ada di taman belakang," jawabnya sopan.

"Baiklah. Kau boleh pergi."

"Saya akan menyuguhkan teh, Tuan Muda."

"Tidak perlu. Aku hanya sebentar."

"Baik, Tuan." Kedua pelayan itu undur diri dari hadapan Leonardo.

Leonardo dalam perjalanan menuju ke taman belakang saat Melani dan Karina tiba-tiba muncul dan menghadang langkahnya.

"Mau apa kemari?" tanya Melani ketus, Karina mengangguk sok mendukung ibunya, padahal aslinya, wanita itu hanya ingin curi-curi pandang melihat wajah tampan Leonardo yang sangat ia rindukan.

"Minggirlah, apa yang ingin aku katakan pada Ayahku bukanlah urusanmu!" Leonardo menatap dingin pada ibunya. Wanita itu mengepalkan tangannya menahan amarah, ingin sekali rasanya menampar wajah tampan itu sama seperti yang dulu sering ia lakukan saat Leonardo masih kecil. Sayang sekali pria itu kini tumbuh menjadi singa yang buas, dan tak segan-segan membalas apa yang orang lain perbuat padanya.

"Tentu saja urusanku, aku Ibumu, istri Ayahmu yang sah!" seru Melani.

"Cih, baru kali ini kau menganggap dirimu Ibuku. Setelah tak bisa lagi menekan dan menyiksaku kau baru menyebut dirimu Ibu? Dasar Gila!" Decih Leonardo sambil tertawa geli.

"Kau!! Kau berani menyebutku gila?" Melani hendak menampar Leonardo tapi Kato menghalanginya, memberikan tubuhnya sebagai tameng Leonardo sehingga wajah Kato lah yang tertampar.

"Aku bukan Leonardo yang dulu, Nyonya! Kini aku punya banyak orang yang rela mati demi diriku." Leonardo menyeringai.

"Bocah sialan," umpat wanita itu.

"Anda sudah mengerti bukan? Jadi menyingkirlah!! Karena bocah sialan ini mau lewat!" Leonardo nekat merangsek melewati Melani dan Karina, Kato mengikutinya dari belakang.

Ah, dia semakin hari semakin keren saja, pikir Karina. Ia malah tersipu dengan perlakuan kasar adik ipar ke mertuanya. Seulas senyum terbit di wajahnya yang cantik.

"Brengsek!! Harusnya dulu aku membunuhnya saja!!" Melani keki dengan kelakuan Leonardo, ia merasa kesal pada keputusannya dulu karena telah membesarkan hewan buas sampai sebesar itu.

Leonardo melangkah menuju taman di belakang rumah utama. Rumput hijau membentang luas lengkap dengan pohon-pohon rindang dan semak hias yang terpangkas rapi. Pada pusat taman ada kolam berisikan ikan-ikan arapaima berukuran hampir seukuran kaki manusia dewasa. Beberapa ekor burung dengan berbagai macam ukuran, warna, dan jenis bertengger cantik memenuhi sangkar-sangkar, mereka berciutan dan saling sahut menyahut.

Alexandro terlihat sibuk dengan kegiatannya memotong carang-carang pada batang pohon bonsai. Memakas sedikit demi sedikit. Hobi yang sedang digandrungi di masa tuanya saat ini. Pria tua itu masih berbalutkan kimono tidur dan celana katun abu-abu panjang. Sebuah tongkat kayu mengkilat yang selalu menemaninya tampak bersandar di dekat meja bonsai.

"Ayah," sapa Leonardo.

"Hal penting apa yang ingin kau bicarakan pada Ayah Leon? Tumben sekali kau kemari?" Alexandro tak menoleh, ia masih sibuk mengurus bonsainya.

"Bisa kita bicara empat mata?" Leonardo melirik ke arah pengawal Alexandro yang berdiri tak jauh dari tempat Ayahnya. Pria itu kira-kira berumur hampir lima puluh tahunan, namun masih terlihat sangat bugar dan gagah. Rambutnya yang memutih tersisir rapi ke belakang, licin karena minyak rambut yang ia pakai.

"Kau bisa meninggalkan kami, Mike!"

Mike menatap sekilas pada Leonardo sebelum mengangguk pada Alexandro dan pergi meninggalkan area taman. Kato juga mengekor Mike, memberi ruang bagi tuannya untuk bercakap.

"Paman Mike terlihat masih begitu sehat dan bugar. Ia tak banyak bicara dan selalu di samping Ayah." Leonardo menatap punggung Mike, mengharapkan Kato juga akan menjadi pengawal setangguh pengawal milik ayahnya itu.

"Mike mengikutiku semenjak ia lulus SMP, saat itu keluarganya hampir mati karena kelaparan. Desanya mengalami paceklik berkepanjangan. Mike menjual tubuhnya menjadi budak agar adiknya bisa tetap hidup. Lantas aku membeli dan melatihnya sampai menjadi pengawal yang kuat dan paling bisa kupercaya. Seperti bonsai ini, potong daun dan dahannya, lilit batangnya, semakin sakit prosesnya hasilnya akan semakin cantik." Alexandro meletakan gunting dan mengambil tongkat, pria itu mulai melangkah mendekati anak bungsunya. Leonardo menggandeng lengan sang ayah, menjaganya agar tidak terjatuh.

"Tak apa, Leon. Aku belum seringkih itu." Alexandro bergerak menuju ke kolam arapaima, ikan-ikan buas itu langsung berkumpul seakan tahu siapa pemilik mereka.

Alexandro tersenyum, ia melemparkan beberapa ekor ikan dan daging. Para monster air tawar ini langsung bersahut-sahutan saling berebut makanan.

"Alih-alih memelihara koi yang cantik, aku memilih Arapaima yang buas. Kau tahu kenapa Leon?" tanya Alexsandro.

"Karena itulah jati diri kita, Ayah. Lagi pula Ayah tak percaya tentang mitos dan keburuntungan," jawab Leonardo. Koi melambangkan keberuntungan.

"Benar, arapaima selalu bergerak perlahan, tenang, dan anggun, namun saat ada mangsa  ia langsung berubah menjadi monster dan secepat kilat melahapnya utuh-utuh. Begitu pula dengan dunia bisnis yang kita geluti, Nak! Kejam, kita harus menjadi monster yang siap melahap lawan kapan pun ada kesempatan, atau kita yang akan dilahap. Tak ada yang namanya keberuntungan dalam bisnis!"

"Leon akan mengingat nasehat, Ayah."

"Aku selalu bangga kepadamu dan kakakmu, Lex. Kalian berdua benar-benar cerminan diriku saat masih muda dulu. Huft .... Merasakan tubuh tua ini semakin hari semakin susah bergerak, rasanya aku ingin segera memilih penerus dan pensiun saja." keluh Alexandro.

"Ayah akan hidup puluhan tahun lagi." Leonardo membantu Ayahnya menapaki anak tangga pendek untuk masuk ke dalam rumah. Mereka duduk berdua di dalam ruang kerja sang Ayah. Alexandro menepuk punggung tangan Leonardo agar melepaskan gandengannya. Wajah Alexandro terlihat tegas namun tatapannya lembut dan berwibawa.

"Apa yang ingin kau bicarakan denganku, Leon?" tanyanya begitu menghenyakkan pantat.

"Leon yakin Ayah sudah tahu tujuan Leon datang kemari." Leonardo duduk dihadapan sang Ayah, ia yakin betul tak ada yang tidak Alexandro tahu. Bahkan saat Lexandro bekerjasama dengan Walikota untuk membunuh Wakil Walikota pun, sudah pasti Ayahnya itu tahu. Mata-matanya sangat banyak, cara mereka mengamati halus, dan tak terdeteksi.

"Kenapa, Leon? Kenapa memilih wanita dari kalangan rendahan yang beda status denganmu? Apa kau tidak takut nilai sahammu menurun karena menikahi wanita sembarangan?  Lagi pula, dia sudah janda, bukan gadis," tanya Ayahnya.

"Tidak, selama aku merahasiakan pernikahanku dari publik, pasar saham tak akan bergejolak. Aku hanya akan menggelar pesta sederhana dengan keluarga besar dan kolega dekat saja." Leonardo keukeh dengan keputusannya untuk menikahi Jasmine. "Hanya orang yang perlu tahu aku menikah yang akan tahu."

"Kenapa tidak mencari wanita dari keluarga kaya yang bisa mendukung bisnismu? Tengoklah kakakmu, Lex. Dia punya Karina." Alexandro mencoba membuka pandangan Leonardo.

"Saat ini aku hanya menginginkan Jasmine. Lagi pula, wanita itu mengandung anakku. Kalau tak percaya, Ayah bisa bertanya pada Ana." Leonardo berbohong —Jasmine telah keguguran— di rumah sakit memang Alexiana adalah mata-mata Alexandro.

Alexandro menatap iris mata putranya, tak ada keraguan di dalam bola mata gelap itu. Tak ada yang Alexadro bisa lakukan, ia sendiri yang telah mendidik anak-anaknya untuk meraih dan memiliki apa saja yang mereka mau.

"Bagaimana dengan persainganmu dengan Lexandro? Apa sungguh kau akan membuang tambang berlian hanya demi seorang wanita?" Alexandro menghela napasnya panjang. Memang benar, ia menyuruh kedua anaknya bersaing secara sehat untuk memperebutkan sebuah tambang berlian. Alexandro tak ingin anak-anaknya bertengkar dikemudian hari bila membagi tambang itu menjadi dua. Jadi, ia membuat sayembara, siapa yang bisa memiliki aset lebih banyaklah yang berhak atas tambang berlian itu.

"Aku akan menang dari Kak Lex walaupun tidak menikah secara bisnis dengan keluarga kaya," jawab Leonardo, lagi-lagi ia sangat yakin dengan ucapannya.

Alexandro mengangguk paham. Ia bangkit, mengambil sebuah kunci dari yang tergantung menjadi bandul kalung. Dengan sedikit tertatih, Alexandro mendekati sebuah pintu yang tersembunyi di balik lemari dan membukanya dengan sensor retina mata. Setelah pintu itu terbuka, nampaklah pintu lain dari kayu usang. Ada gembok yang hanya bisa dibuka dengan kunci di lehernya.

"Masuklah, Leon. Aku tunjukkan rahasia kecil dari keluarga kita." Alexandro mengajak Leonardo masuk.

ooooOoooo

Apa rahasianya??

Kepo ga?

Vote yee... 🥰🥰💋💋